 
                            Hujan deras malam itu mengguyur perkampungan kecil di pinggiran kota. Lampu jalan yang redup hanya mampu menerangi genangan air di jalanan becek, sementara suara kendaraan yang melintas sesekali memecah sunyi. Di balik dinding rumah sederhana beratap seng berkarat, seorang gadis remaja duduk memeluk lututnya.
Alendra Safira Adelia.
Murid kebanggaan sekolahnya, panutan bagi teman-temannya, gadis berprestasi yang selalu dielu-elukan guru. Semua orang mengenalnya sebagai bintang yang bersinar terang di tengah gelap. Tapi hanya dia yang tahu, bintang itu kini nyaris padam.
Tangannya gemetar menggenggam secarik kertas—hasil tes yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Tulisan kecil itu menghantam seluruh dunia yang telah ia bangun: positif.
Air mata jatuh membasahi pipinya. Piala-piala yang tersusun rapi di rak kamar seakan menatapnya sinis, menertawakan bagaimana semua prestasi yang ia perjuangkan kini terasa tak berarti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Kepedulian
Rayven duduk di kursi pengemudi, jemarinya mengetuk-ngetuk setir mobil dengan ritme tak beraturan. Parkiran sekolah sudah hampir kosong, hanya tersisa beberapa kendaraan guru dan petugas kebersihan. Angin sore meniup lembut dari jendela yang sedikit terbuka, tapi justru membuat hatinya semakin gelisah.
“Mana sih, udah gue tunggu lama kok gak dateng-dateng,” gumamnya pelan, nada suaranya terdengar resah.
Baru saja ia hendak menyalakan mesin mobil, terdengar tok-tok-tok di kaca jendela. Rayven menoleh cepat, dan di sana berdiri Alendra—mengenakan seragam sekolah, rambutnya sedikit berantakan karena angin.
Refleks, Rayven menurunkan kaca mobil dan memberi isyarat agar Alendra masuk. Gadis itu sempat ragu sejenak, tapi akhirnya menarik napas dan membuka pintu sisi penumpang.
Begitu duduk, Alendra menatap Rayven dengan senyum sopan. “Gue mau ambil paper bag tadi. Maaf ya, kalau nitipnya kelamaan.”
Rayven hanya menggeleng ringan. “Nggak apa-apa. Santai aja.”
Ia mengambil paper bag dari kursi belakang dan menyerahkannya. “Nih.”
Alendra menerimanya hati-hati, seolah takut isinya pecah. “Makasih ya.”
Rayven diam sejenak sebelum akhirnya membuka mulut. “Tapi, sebelum lo pergi…”
Ia menatap Alendra dengan sorot mata yang tenang namun serius. “Kita kenalan dulu, biar nggak awkward. Kenalin, gue Rayven.”
Ia mengulurkan tangan. Gerakannya sederhana, tapi bagi Rayven, itu bukan hal biasa. Ia bukan tipe orang yang gampang membuka diri, apalagi memulai obrolan dengan orang lain—terlebih dengan seseorang seperti Alendra.
Alendra sempat terkejut, tapi segera menyambut tangan Rayven dengan lembut. “Gue Alendra. Salam kenal juga.”
Senyumnya kecil, tapi tulus.
Rayven menatap gadis itu beberapa detik lebih lama dari seharusnya, lalu berdeham pelan dan menarik kembali tangannya. “Udah kan? Kalau gitu… lo mau langsung pergi?”
“Iya. Udah ditungguin bos gue, gue kerja sore ini.” Alendra menatap jam di pergelangan tangannya, lalu membuka pintu mobil pelan. Tapi belum sempat keluar, suara Rayven menahannya.
“Kalau gue anterin lo gimana?”
Alendra menoleh, sedikit bingung. “Maksud lo?”
“Maksud gue…” Rayven menatap lurus ke depan, mencoba terdengar santai meski jantungnya berdebar, “…gue anterin lo ke tempat kerja. Lagian udah sore, gue khawatir aja lo kecapean.”
Alendra menatapnya lama, mencoba membaca ekspresi di wajah cowok itu. “Nggak usah, Rayven. Gue biasa kok, gue bisa naik sepeda. Lagian tempat kerja gue deket, cuma sepuluh menit dari sini.”
Rayven menatapnya balik, kali ini sedikit mencondongkan tubuh. “Gue nggak tanya lo bisa atau enggak, Len. Gue nawarin.”
Nada suaranya tetap datar, tapi ada sesuatu di baliknya—entah perhatian, entah rasa bersalah, bahkan mungkin campuran keduanya.
Alendra menunduk, menggenggam paper bag di pangkuannya. “Gue ngerti maksud lo baik, tapi beneran deh, gue gak mau nyusahin lo.”
Rayven menyandarkan punggungnya ke jok mobil, menatap Alendra yang sudah menolak tanpa ragu.
Cewek itu memang punya cara bicara yang lembut tapi tegas—dan anehnya, justru itu yang bikin Rayven diam lama.
“Lo yakin?” tanya Rayven lagi dengan nada datar, tapi matanya jelas menatap serius.
“Yakin. Lagian, tempat gue kerja nggak jauh kok dari sini,” jawab Alendra sambil tersenyum kecil, berusaha sopan meski sebenarnya gugup karena tatapan cowok di depannya terlalu menusuk.
Suasana di dalam mobil jadi senyap beberapa detik. Hanya terdengar suara jam digital mobil Rayven berdetak perlahan dan detak langkah beberapa siswa yang lewat di luar.
Rayven menatap paper bag yang tadi ia taruh di kursi belakang. “Gue beliin susu itu buat lo. Katanya ibu hamil butuh banyak nutrisi.”
Nada bicaranya pelan, tapi terdengar tulus.
Alendra sempat menunduk, bibirnya sedikit bergetar sebelum menjawab, “Makasih ya, Rayven. Gue nggak nyangka lo bakal sampai segininya.”
Rayven mengangkat bahu. “Cuma mau tanggung jawab aja.”
Lalu ia menatap jalanan lewat kaca depan. “Lo nggak perlu mikirin apa-apa. Gue cuma... pengen lo nggak kenapa-kenapa.”
Alendra menatapnya sekilas, dalam hatinya sedikit bergetar. Ia tahu Rayven sedang berusaha memperbaiki semuanya, meski caranya masih kaku dan dingin seperti biasa.
“Gue tahu, tapi... lo nggak harus repot-repot gitu. Gue baik-baik aja kok,” balas Alendra, suaranya lembut tapi tegas.
Rayven memejamkan mata sebentar, lalu membuka kembali. “Lo selalu bilang baik-baik aja, tapi lo nggak sadar lo tuh rapuh banget.”
Tatapan dinginnya menurun jadi lebih dalam, lebih manusiawi. “Gue nggak bisa pura-pura cuek.”
Alendra diam, menatap jari-jarinya yang saling meremas di atas pangkuan. Dalam hati, ia tahu kata-kata Rayven itu jujur. Ada rasa bersalah besar yang nggak bisa cowok itu sembunyikan.
Beberapa detik berlalu sebelum Alendra mencoba tersenyum lagi. “Gue pulang dulu ya. Makasih banyak buat susunya, Rayven.”
Rayven hanya mengangguk. “Hati-hati di jalan.”
Tapi saat Alendra baru membuka pintu, Rayven menambahkan lirih, “Kapan-kapan... lo bolehin gue ngobrol lebih lama, nggak?”
Alendra sempat terdiam, lalu menatapnya dengan mata lembut. “Lihat nanti aja ya.”
Setelah itu, ia keluar dari mobil dan menutup pintu dengan pelan.
Rayven menatap punggung Alendra yang berjalan menjauh sambil mendorong sepedanya, bayangan gadis itu perlahan hilang di balik gerbang sekolah. Ia menunduk, menarik napas panjang, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama—ia merasa ada sesuatu yang berat tapi juga menenangkan di dadanya.
---
Sementara itu, di markas Ravenclaw—Kenzo terlihat mondar-mandir sambil membawa handphone. “Gue serius! Gue liat sendiri tadi pagi Rayven nongkrong di kelas!” serunya.
Darren langsung memutar bola matanya. “Lo ngelucu? Sejak kapan Rayven betah duduk di kursi sekolah lebih dari lima menit?”
Julian ikut menimpali, “Kayaknya dia salah minum obat deh.”
Aksa yang dari tadi duduk santai di sofa cuma melirik sebentar. “Atau... mungkin ada sesuatu.”
“Sesuatunya tuh apa?” tanya Darren dengan alis terangkat.
Aksa menghela napas. “Kalau sampai Rayven yang dingin gitu tiba-tiba berubah, kemungkinan besar cuma satu—cewek.”
Suasana langsung hening sepersekian detik sebelum Axel tertawa keras. “Lo becanda, kan? Rayven tuh kalau disodorin nomor cewek aja bisa pergi ke luar negeri.”
“Ya makanya gue bilang kemungkinan,” jawab Aksa datar.
Kenzo, yang paling penasaran, langsung mencondongkan badan ke depan. “Tapi lo sadar nggak, dia akhir-akhir ini sering ngilang sendiri. Biasanya kan dia paling ribut ngajakin kita ke markas atau ke lapangan basket."
Julian menambahkan, “Iya, terus semalam dia juga nggak nongol pas kita latihan. Gue kira dia sibuk di rumah.”
Darren menatap mereka satu per satu. “Kalian sadar nggak? Kayaknya kita beneran kehilangan panglima nih."
Axel mendengus. “Kalau bener dia berubah gara-gara cewek, gue pengen tau siapa tuh cewek yang bisa nge-luluhin Rayven Aurelio.”
---
Sementara di tempat lain, Alendra tiba di tempat kerjanya—sebuah café kecil di pinggir jalan. Ia menaruh sepedanya di belakang, lalu menyapa rekan kerjanya yang sudah datang duluan.
“Len, kok tumben telat?” tanya Risa, teman satu shift-nya.
“Tadi ada urusan bentar,” jawab Alendra sambil tersenyum tipis. Ia tidak mungkin menceritakan bahwa ‘urusan bentar’ itu adalah bertemu Rayven.
Saat café mulai ramai oleh pelanggan, Alendra mencoba fokus bekerja. Tapi pikiran tentang Rayven terus berputar di kepalanya—tatapan dingin cowok itu, cara ia bicara, sampai nada suaranya waktu bilang “Gue nggak bisa pura-pura cuek lagi.”
Ia tahu Rayven menyesal, tapi di sisi lain, ada bagian dari dirinya yang masih takut. Takut kalau semua perhatian itu hanya sementara. Takut kalau ia kembali terluka.
Namun dalam hati kecilnya, ada secuil harapan—bahwa mungkin Rayven benar-benar berubah.
---
Malam harinya, saat café mulai sepi, Rayven muncul di depan pintu.
Alendra yang sedang mengelap meja langsung membeku begitu melihatnya.
Rayven mengenakan hoodie hitam dan celana jeans, tapi yang membuat Alendra tertegun adalah tangan cowok itu membawa tas kecil berisi sesuatu.
“Lo lagi ngapain di sini?” tanya Alendra pelan, berusaha tidak menarik perhatian rekan kerjanya.
Rayven menatapnya sebentar sebelum berkata pelan, “Gue cuma mau ngasih ini.” Ia menyerahkan tas kecil itu. “Bukan apa-apa, cuma vitamin dan cemilan. Gue baca di internet ibu hamil harus sering makan ringan biar nggak mual.”
Alendra terdiam. “Rayven... lo nggak harus segitunya. Gue bisa urus diri gue sendiri.”
“Tapi gue pengen bantu,” ucap Rayven cepat, kali ini dengan nada serius. “Gue nggak minta lo balas apa pun. Gue cuma nggak mau lo ngerasa sendirian.”
Tatapan mata mereka bertemu. Ada keheningan yang aneh—bukan canggung, tapi lembut.
Untuk pertama kalinya, Alendra melihat sisi lain Rayven yang selama ini tersembunyi di balik sikap dingin dan acuhnya.
Setelah beberapa detik, ia mengangguk kecil. “Makasih, Rayven.”
Rayven hanya mengangguk, lalu mundur satu langkah. “Kalau gitu, gue balik dulu. Lo hati-hati, ya.”
Alendra mengangguk, menatap punggung cowok itu yang perlahan menjauh dari pintu café.
Begitu Rayven benar-benar pergi, Alendra baru menyadari kalau jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.
Ia menggenggam tas kecil itu, lalu tersenyum samar.
Entah kenapa, ada perasaan hangat yang sulit dijelaskan—seolah untuk pertama kalinya, dunia yang sempat runtuh perlahan-lahan mulai pulih lagi.
Dan di sisi lain, di parkiran depan café, Rayven menatap langit malam yang diterangi bintang.
Ia menarik napas panjang, lalu bergumam pelan,
“Gue nggak tau bakal sesulit ini, tapi... gue bakal terus coba.”
Kali ini, bukan sekadar tanggung jawab—tapi sesuatu yang perlahan tumbuh di hatinya, sesuatu yang membuat Rayven Aurelio Evander Mahendra, si cowok paling dingin di sekolah, akhirnya mau belajar apa itu peduli.
 
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                    