Karena pengaruh obat, Atharya sampai menjadikan gadis desa sebagai pelampiasan nafsunya. Tanpa di sadari dia telah menghancurkan masa depan seorang gadis cantik, yaitu Hulya Ramadhani.
Akan kah Hulya ihklas menerima ini semua? Apakah Atharya akan bertanggung jawab?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desty Cynthia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ingatan Hulya Kembali
Di saat Atharya sedang tidak ada di rumah, tiba tiba Hulya mengalami sakit kepala yang luar biasa. Matanya kunang kunang, pandangannya buram. Hulya memegang kepalanya yang sakit.
"Ya Allah... Sakit argh...!"
Hulya menjerit kesakitan, ia mencoba meraih apa saja yang ada di dekatnya hingga barang barang yang ia raih jatuh. Suara itu terdengar dari luar karena cukup keras.
"Non.. Non Hulya." Bibi teriak dari luar kamar Hulya.
"Pak Agus... Cepat dobrak! Bibi takut non Hulya_"
"Sebentar bi, saya cari alat dulu pintu ini susah buat di dobrak." pak Agus segera ke gudang belakang mencari alat berat untuk membuka pintu kamar Hulya.
Bibi juga mengabari Atharya namun tak ada jawaban. Akhirnya bibi menghubungi orang tua Atharya.
"Iya tuan, pak Agus lagi cari alatnya. Baik tuan!"
Bibi terus menggedor gedor pintu kamar Hulya namun yang terdengar hanya jeritan dan benda jatuh.
-
-
"Argh... Sakit... Kepala ku... !" Hulya terus meringis dan menjerit, tubuhnya sudah berkeringat dingin. Lalu tiba tiba muncul kepingan kepingan ingatan masa lalunya.
"Ini kenapa kepalaku argh.....!"
Ingatan ketika pertama bertemu Athar, ketika menikah, semua memory itu muncul. Hingga akhirnya Hulya pingsan.
Di luar kamar Hulya, bibi dan pak Agus dibantu oleh pelayan yang lainnya berusaha membuka pintu kamar itu. "Biar saya lewat jendela." ucap mbok Siti.
"Iya ayo cepat."
Mbok Siti berlari menuju jendela kamar Hulya. Ia mengintip dari celah gorden yang sedikit terbuka. "Ya Allah non, bi Sum non Hulya pingsan." Teriak mbok Siti.
Bibi dan yang lainnya segera keluar menuju jendela kamar Hulya. "Den Athar bikin rumah ini pakai bahan apa sih? Mana keras keras kacanya juga." Gerutu pak Agus.
"Cari apa pun benda keras buat pecahin kacanya cepat."
Semuanya mengikuti perintah bi Sumi. Pak Agus berlari membawa kursi di meja bar. Pak Agus menyuruh semuanya minggir. Dia melempar kursi itu kencang hingga kaca kamar Hulya pecah.
Pak Agus dan bi Sumi masuk, bi Siti membuka kunci kamar dari dalam. "Kita bawa ke rumah sakit sekarang. Telepon tuan besar cepat."
-
-
-
Sedangkan Athar masih sibuk di kantor hingga ia tak membuka ponselnya. Ray berlari menghampirinya, ia mendapat kabar dari papih Alarich soal Hulya.
"Apa? Kita pulang sekarang." Athar bergegas pulang bersama Ray. Pekerjaannya ia serahkan pada sekertarisnya.
Ray juga bilang jika pelayan di rumah Athar sempat memecahkan jendela kamarnya untuk menyelamatkan Hulya.
Athar sama sekali tidak masalah justru ia sangat mencemaskan istrinya. Tadinya ia akan membawanya ke kantor namun Hulya sakit kepala. Hulya lebih memilih istirahat di rumah.
Sesampainya di rumah sakit, Athar berlari menghampiri bi Sumi dan pak Agus. Orang tuanya pun baru datang.
"Gimana Hulya, bi?"
"Dokter belum keluar den. Bibi juga cemas. Maaf ya den jendelanya bibi pecahin. Aden bisa potong gaji bibi." Lirih bi Sumi.
"Enggak apa-apa bi. Justru kami terima kasih sama bibi dan pak Agus. Mungkin kalau enggak dipecahin, nanti Hulya enggak ketolong." Ucap mamih Aleesya.
Athar dan papih Alarich juga menenangkan bi Sumi yang sudah setia bekerja pada keluarga mereka selama bertahun tahun lamanya.
Dokter itu pun keluar menemui Athar dan yang lainnya. "Gimana istri saya dok?" Tanya Athar cemas.
"Pasien mengalami guncangan. Sepertinya pasien terlalu keras untuk mengingat apa yang ada di otaknya. Pasien akan segera kami pindahkan."
Athar menunggu istrinya dibawa keluar. Ketika Hulya di bawa oleh perawat, tangan Athar menggenggam tangan istrinya.
Orang tuanya mengikuti anaknya ke kamar rawat. Sampai di sana pun Athar tak melepaskan tangannya.
"Sayang... Bangun sayang ini aku." Ucap Athar, ia menciumi seluruh wajah Hulya. Orang tuanya mendekatinya dan mengelus lembut kepala menantunya itu.
Hulya melenguh dan perlahan membuka matanya. Ia menatap sekelilingnya. Dan pandangannya tertuju pada suaminya. Tangannya terangkat membelai wajah Atharya dan menariknya ke pelukannya.
"Mas, aku ingat semuanya mas. Aku ingat...!" Tangis Hulya pecah saat itu juga. Mamih Aleesya mengusap ngusap punggung kedua anaknya itu.
"Alhamdulillah nak.. Mamih senang kamu sembuh."
Athar ikut menangis, ia bahagia istrinya sudah bisa mengingat dirinya. Hulya melepaskan pelukannya dan menatap mertuanya.
"Mamih, papih, Hulya minta maaf. Mungkin selama sakit Hulya kurang ajar sama mamih dan papih." Lirih Hulya.
Mamih Aleesya memeluk menantunya erat. Ia paham jika itu bukan kemauan Hulya. Semua itu karena penyakit yang Hulya derita. Papih Alarich juga tidak marah sama sekali. Justru ia kasihan dengan apa yang Hulya alami.
"Apa aku udah melahirkan mas? Perut aku kenapa rata mas? Aku masih hamil kan mas?" Tanya Hulya.
GLEG
Baik Athar maupun orang tuanya seketika mematung. Mereka bingung bagaimana menjelaskannya.
"Jawab mas." Lirih Hulya.
Dengan keberanian Athar jujur akan keadaan Hulya. "Anak kita sudah di surga sayang. Mereka di kubur di belakang rumah." Ucap Athar dengan isak tangisnya.
Seperti di hantam batu besar, hati Hulya bagai tercabik cabik. Ia meraung dan menangis histeris. Athar berusaha terus mendekapnya meskipun tangan istrinya terus memukulinya.
"Kembalikan anak ku mas.. Kamu bohong kan mas? Dimana anak anak ku mas jawab mas? Kamu sembunyiin dimana mas? Mereka masih hidup... Mereka enggak mungkin ninggalin aku mas hiks hiks hiks." Suara Hulya begitu menyayat hati. Tangan Hulya terus memukuli dada suaminya.
"Sayang...maafin aku.. Aku yang enggak becus menjaga kamu." Lirih Athar.
Bibi dan pak Agus yang mengintip ikut menangis. Begitu pun orang tua mereka dan Ray yang ada di sana ikut merasakan sakitnya kehilangan.
Hulya mendorong Athar keras hingga tersungkur. Ia mengambil p*sau yang tertancap di atas buah. Tangan Hulya menodongkan benda tajam itu pada suaminya. Matanya memerah dan bibirnya bergetar.
"Sayang istighfar.. Ini aku, kita bisa mu_"
"DIAM! DIMANA ANAK ANAK KU? MAS SEMBUNYIKAN DIMANA? MEREKA MASIH HIDUP!" Hulya berteriak.
Papih Alarich dan Athar saling memberi kode untuk bisa menangkap Hulya. Mamih Aleesya cukup syok melihat menantunya yang amat sangat terguncang.
"Nak ini mamih sayang."
Ray berlari keluar memanggil dokter karena kondisi Hulya yang semakin terguncang. Papih Alarich member kode pada Ray agar menangkap Hulya dari belakang. Athar juga mengalihkan perhatian istrinya agar luluh.
"Sekarang Ray!" Teriak Athar.
Ray memegang tangan Hulya dan menjatuhkan p*sau itu lalu menendangnya jauh, Athar mendekap tubuh istrinya itu dengan kencang agar tak berontak. Papih Alarich ikut memegang tangan menantunya.
"Cepat dok!"
Dokter itu menyuntikkan obat penenang pada Hulya. Lama kelamaan mata Hulya terpejam dan pingsan di pelukan suaminya.
Athar segera membawa Hulya ke kasur. Dokter itu memeriksa Hulya lagi. "Kami akan melakukan terapi. Pasien mengalami trauma yang berat sehingga ia mengalami guncangan kejiwaan." Ucap dokter.
"Lakukan yang terbaik dok." Ucap mamih Aleesya.