NovelToon NovelToon
EXONE Sang EXECUTOR

EXONE Sang EXECUTOR

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Dunia Lain
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Aegis zero

Seorang penembak jitu tewas kerena usia tua,dia mendapatkan dirinya bereinkarnasi kedunia sihir dan pedang sebagai anak terlantar, dan saat dia mengetahui bahwa dunia yang dia tinggali tersebut dipenuhi para penguasa kotor/korup membuat dia bertujuan untuk mengeksekusi para penguasa itu satu demi satu. Dan akan dikenal sebagai EXONE(executor one) / (executor utama) yang hanya mengeksekusi para penguasa korup bahkan raja pun dieksekusi... Dia dan rekannya merevolusi dunia.



Silahkan beri support dan masukan,pendapat dan saran anda sangat bermanfaat bagi saya.
~Terimakasih~

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aegis zero, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

plan king

Neptune, yang telah berhari-hari tersesat di hutan, akhirnya melihat bayangan sebuah kota di kejauhan. Tubuhnya lunglai, napasnya memburu.

“Haa... haa... akhirnya keluar dari hutan brengsek itu…” gerutunya dengan suara parau. “Aku tidak akan memaafkan kalian, Exone sialan…”

Dengan langkah gontai, ia memasuki kota dan menghampiri salah satu warga.

“Hei, tempat apa ini? Apa nama kota ini?” tanyanya tajam.

“Ini Kota Azura,” jawab warga itu ramah.

“Azura? Belum pernah dengar.”

“Oh, sebelumnya kota ini bernama Tazer. Setelah mantan penguasa dibunuh oleh Exone, kami berdiskusi dan memutuskan untuk mengganti nama kota menjadi Azura, yang berarti kebebasan. Kami tak ingin terikat lagi dengan nama lama... sekarang kami benar-benar bebas.”

Neptune mengerutkan dahi. “Tazer...? Seingatku itu kota yang dilanda kekeringan parah, kan? Dan Exone yang melakukan semua ini?!”

“Benar, Tuan. Mereka yang membuat tanah ini subur kembali. Mereka membangun rumah, saluran air, pertanian... semua berkat Exone.”

“Ciri-ciri mereka?”

“Dua anak. Laki-laki berambut hitam, tinggi sekitar 160 cm, dan perempuan berambut biru, tingginya kira-kira 155 cm. Keduanya memakai jubah hitam.”

“Tujuan mereka selanjutnya?”

“Katanya mereka akan menuju Kota Puari.”

“Begitu, ya...” Neptune melirik ke kejauhan. “Aku mau lihat mansion mantan penguasa dulu.”

Ia berjalan memasuki lorong besar di mansion tua itu. Begitu melangkah lebih dalam, hawa di sekitarnya berubah drastis. Suhu turun mendadak, dan kabut es mulai menyelimuti dinding.

“Apa?!” Neptune mengepalkan tangannya. “Beraninya kalian... menghina rajaku seperti ini!” gumamnya, penuh amarah. “Tidak akan kubiarkan kalian mati dengan tenang... Exone!”

Ia segera meninggalkan kota itu, matanya dipenuhi amarah.

Beberapa warga yang menyaksikan kepergian Neptune mulai berbisik satu sama lain.

“Orang itu... sepertinya kuat.”

“Iya, jelas dia yang mengejar Exone. Ayo kita laporkan ke penguasa.”

Mereka segera menuju mansion baru yang dibangun untuk Pirlo, penguasa baru kota. Mansion lama dibiarkan berdiri sebagai saksi sejarah: tempat di mana Exone pertama kali mendeklarasikan perang terhadap raja.

Di hadapan Pirlo, para warga menjelaskan apa yang terjadi. Mendengar kabar itu, Pirlo segera mengambil alat komunikasi jarak jauh yang sebelumnya diberikan oleh Arya.

“Halo, ini Pirlo. Apakah kedengaran?”

“Ya, kedengaran,” jawab suara Arya dari seberang. “Ada apa, Pirlo?”

“Baru saja ada pria mencurigakan datang ke kota. Dia menanyakan siapa yang membebaskan kota ini dan ciri-ciri kalian. Warga menduga dia mengejar kalian.”

“Bagus. Berarti sesuai rencana. Kami akan menunggunya di Kota Puari.”

“Ciri-cirinya,” lanjut Pirlo, “katanya pria itu berambut putih, tinggi sekitar 175 cm. Dan... setelah dia masuk ke mansion lama, lorongnya tiba-tiba membeku.”

“Haha... membeku, ya? Berarti provokasi kita berhasil,” Arya terkekeh ringan.

“Kalian yakin akan baik-baik saja?”

“Tenang saja. Kami akan membunuhnya.”

“Kalau begitu, semoga berhasil. Sampai jumpa.”

“Sampai jumpa.”

Arya menurunkan alat komunikasinya.

“Dina, kamu yakin masih mau melawan dia sendirian?”

“Tentu saja,” jawab Dina santai. “Aku kuat.”

“Baiklah. Tapi ada saran dariku—jangan hanya mengandalkan kekuatan kasar. Kamu bisa menyalurkan sihirmu ke dagger, kan?”

“Iya... selama ini aku hanya melawan penjaga. Hanya sekali aku menyalurkan sihir ke dagger-ku.”

“Lawan kita kali ini fleksibel. Dia bisa bertarung jarak dekat, jauh, dan punya area serangan luas. Jangan meremehkannya.”

“Siap.”

Mereka kini berada di hutan sebelum Kota Puari. Sudah lima hari berlalu, namun sosok pria berambut putih itu tak kunjung muncul.

“Sudah lima hari kita menunggu di sini, tapi kenapa tak ada tanda-tanda?” tanya Dina, kesal. “Ini satu-satunya jalur dari Azura ke Puari, kan?”

“Iya... mungkin dia kembali? Atau nyasar?” Arya mengangkat bahu.

“Bagaimana kalau kita jemput dia?” usul Dina.

“Setuju. Menunggu itu membosankan.”

Mereka pun kembali berjalan ke arah Kota Azura. Di tengah jalan, Dina melihat seseorang.

“Hei, Ar... itu pria berambut putih, tinggi. Apakah itu dia? Tapi kenapa masih di sini setelah lima hari?!”

“Dia bodoh ya?” Arya mengernyit.

“Melihat dia makan akar pohon karena kelaparan... aku jadi nggak semangat membunuhnya,” ujar Dina lesu.

“Ya, aku juga kasihan.”

Tiba-tiba, pria itu menyadari keberadaan mereka.

“Siapa di sana?!” teriaknya waspada.

“Waduh, ketahuan,” bisik Dina.

“Kalian... Exone, ya?! Brengsek kalian! Karena kalian aku tersesat di hutan!” teriak Neptune, penuh amarah.

Dina menanggapinya santai. “Kalau kau buta arah, kenapa pergi sendirian?”

“Diam! Aku tidak akan memaafkan kalian! Apalagi kalian menghina rajaku!” Neptune mengangkat tangannya. “Glacier Lance!”

Seketika, tombak es meluncur ke arah mereka.

“Awas!” Arya bergerak cepat, menarik Dina.

“Whoa! Mendadak menyerang begitu!” seru Dina.

“Kamu yakin bisa sendiri?”

“Tenang. Biar aku yang hadapi. Kamu cukup menonton.”

“Baiklah. Semoga berhasil.”

Neptune menggeram. “Hanya anak cewek yang maju? Kalian meremehkanku?!”

Dina tersenyum tipis. “Arya jauh lebih kuat dariku. Tapi aku cukup untuk menghadapi orang sepertimu.”

“Frost Fang!”

Taring-taring es menyembur dari tanah, namun Dina sudah lebih dulu melayang ke udara.

“Wind Step!” Dengan angin menopangnya, ia menghindar. “Wind Slash!”

Neptune membentangkan tangannya. “Ice Aegis!” Perisai es muncul, menahan tebasan. “Blizzard Domain! Frozen Nova!”

Ledakan es menyebar bersama badai salju. Dina terhempas sesaat, tapi segera kembali berdiri.

“Sepertinya harus gunakan api, ya?” Ucapnya. “Wind Step!”

Ia meluncur ke depan dengan kecepatan tinggi.

“Blazing Fang!”

Tusukan dagger-nya menembus pertahanan es Neptune dan melelehkan sebagian besar serangan.

Neptune tersentak. “Apa-apaan itu?! Hampir saja! Kau menembus Ice Aegis?!”

“Belum seberapa. Crimson Cross!”

Tebasan menyilang api menghancurkan lapisan pelindung Neptune.

“Cih... kau kuat juga! Cryo!”

Hujan es turun deras.

“Tidak masalah. Wind Step!” Dina menghindar dan membalas. “Infernal Waltz!”

Tubuhnya menari cepat, dikelilingi api. Serangan itu mengoyak semua es di sekitarnya.

“Frozen Nova! Argh, masih tidak kena?! Frozen Nova!”

“Phoenix Lacerate!”

Serangan beruntun Dina membentuk siluet burung api, meledak saat menghantam tubuh Neptune.

“Arghhh!!” jeritnya. “Arctic Judgement!”

Golem es bangkit, namun dalam sekejap…

“Infernal Waltz!” Dina menghancurkan golem itu.

“Dan... selamat tinggal.” Ia melesat. “Phoenix Lacerate!”

Serangan itu menghantam tepat sasaran, dan tubuh Neptune meledak dalam kobaran api.

“Pyuh... melelahkan juga,” gumam Dina.

Arya menghampirinya sambil bertepuk tangan. “Kerja bagus, Dina.”

“Terima kasih, Ar. Bisa sembuhin lukaku?”

“Tentu.” Arya menyalurkan sihir. “Heal.”

“Terima kasih banyak. Tapi hutan ini sekarang berantakan...”

“Hm... kalau esnya mencair dan apinya dipadamkan, hutan ini mungkin bisa pulih.” Arya mengangkat tangannya. “Water! Water!”

Begitu api padam, mereka melanjutkan perjalanan menuju Kota Puari.

---

Sementara itu, di ruangan Seven Eclipse…

Suasana mencekam. Seluruh anggota berkumpul di hadapan singgasana batu hitam tempat Noctis duduk dengan tenang, tangannya menggenggam sepotong kristal berwarna kebiruan yang kini telah retak.

Noctis menatapnya datar. “Sinyal dari Neptune… terputus.”

Venus tersenyum miring sambil menyilangkan kaki. “Ara~ ara… berarti Neptune-chan sudah mati, ya?”

Saturn terkekeh pelan, suara tawanya berat dan menyiratkan kegembiraan. “Kuhaha! Exone makin menarik saja.”

Jupiter, yang sedari tadi duduk diam, menunduk perlahan. “Jadi… Neptune-kun sudah benar-benar mati.”

Mercury tetap diam, matanya tajam menatap kosong ke depan. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

Di antara mereka, Gamma menunduk dalam-dalam. Dalam hatinya, ia menyembunyikan perasaan lega. *(Berarti… Kak Arya dan Kak Dina berhasil. Syukurlah…)*

Noctis menoleh ke sisi kanan. “Siapa selanjutnya? Kita tak bisa terus membiarkan mereka bergerak semaunya.”

Saturn berdiri dari duduknya, tubuh kekarnya seperti batu hidup yang bergerak.

“Aku yang akan maju,” katanya mantap.

Noctis mengangguk pelan. “Baik. Jangan buat kesalahan.”

Saturn tertawa rendah, lalu berbalik dan meninggalkan ruangan tanpa berkata apa pun lagi.

---

Malam itu, Gamma segera mengaktifkan alat komunikasinya dari kamarnya.

“Halo, Kak.”

Suara Arya terdengar dari ujung seberang. “Ya, halo. Ada apa, Gamma?”

“Sesuai informasi, selanjutnya yang akan dikirim adalah Saturn. Seperti yang pernah kulaporkan sebelumnya, dia pengguna elemen tanah dengan kekuatan fisik yang luar biasa. Hampir tidak bisa ditembus serangannya.”

“Hm… Saturn, ya…”

“Tapi, Kak… Ada satu hal yang mencurigakan.”

“Apa itu?”

“Bagaimana bisa Seven Eclipse langsung tahu kematian Neptune padahal belum genap satu hari dan jarak dari lokasi pertarungan ke ibukota sangat jauh?”

Arya terdiam sejenak. “Menarik. Jadi bagaimana mereka tahu?”

“Karena setiap anggota Seven Eclipse ditanamkan pelacak sinyal—bukan untuk lokasi, tapi untuk memastikan apakah mereka masih hidup atau tidak. Saat sinyal mati, itu tandanya mereka gugur, dan langsung diketahui oleh Noctis—ajudan Raja.”

“Jadi kamu juga dipasangkan alat itu?”

“Ya… Tapi hanya untuk status hidup atau mati. Lokasi tidak terdeteksi.”

Arya mengangguk pelan, meski Gamma tidak bisa melihatnya. “Baiklah… Jangan lupa, kamu tetap jangan mencurigakan. Jangan pakai skill menghilang, bersikaplah seolah kamu adalah bagian dari mereka.”

“Baik, Kak.”

“Dina sedang tidur, dia kelelahan setelah bertarung melawan Neptune.”

“Yang melawan Neptune… Kak Dina?”

“Ya. Dia bertarung sendiri dan menang.”

“Hebat sekali, Kak Dina…”

Arya tersenyum kecil. “Tentu saja hebat. Tapi kamu juga hebat, Gamma.”

“Hehehe… Makasih, Kak. Aku pamit dulu ya. Sampai jumpa, dan… sampaikan salamku ke Kak Dina.”

“Sampai jumpa. Jaga dirimu, jangan terburu-buru.”

“Siap!”

---

Di ruangan pribadi Raja Sekius di dalam istana Belmera...

Noctis berdiri dengan kepala tertunduk, melapor dengan tenang. “Neptune telah dikalahkan.”

Sekius tidak menunjukkan ekspresi terkejut sedikit pun. Justru sebuah senyum menyeringai di wajahnya.

“Exone… hanyalah anak kecil,” gumamnya, menggerakkan bidak catur di depannya. “Anak kecil yang menantang kerajaan. Menarik…”

Ia menatap Noctis. “Lanjutkan tahap selanjutnya. Gunakan rencana yang kususun kemarin.”

Noctis menerima sebuah gulungan kertas dan membungkuk dalam. “Sesuai kehendakmu, Yang Mulia.”

Ia lalu pergi, membawa kertas tersebut. Tapi… isi dari kertas itu? Masih menjadi misteri.

---

Keesokan paginya, di sebuah rumah singgah dekat hutan arah Kota Puari...

Arya sedang mempersiapkan senjata ketika Dina bangun dengan wajah sedikit kusut.

“Pagi, Ar. Ada kabar?”

“Kabar buruk dan baik. Kabar buruknya, kita akan dikejar lagi. Kabar baiknya… yang mengejar kita sekarang adalah Saturn.”

“Saturn? Kalau tidak salah dia si otot dari Seven Eclipse, ya?”

“Benar. Si pengguna elemen tanah. Kuat, kokoh, keras kepala.”

Dina menguap sambil mengikat rambutnya. “Terus… siapa yang lawan dia? Kita berdua? Atau kamu sendiri?”

“Kamu dulu gimana?”

“Yaaa… kamu aja lah,” sahutnya malas. “Melawan orang otak otot itu nggak menyenangkan. Cuma buang tenaga.”

Arya terkekeh. “Haha, iya juga. Melawan orang yang cuma andalkan brute force itu—”

Ia melirik ke arah Dina dengan senyum nakal.

Dina memicingkan mata. “Apa? Kenapa kamu melirikku saat ngomong gitu? Kamu bilang aku juga otak otot?!”

“Enggak kok! Mataku gerak sendiri!” balas Arya sambil tertawa.

“Sialan kau! Itu lebih menyakitkan!”

Beberapa jam kemudian…

Dina sedang mengunyah roti kering ketika terdengar bunyi bip dari alat komunikasi mereka.

*Beep beep…*

Arya meraih alatnya dan mengaktifkan. “Siapa ini? Kenapa pagi-pagi…”

“Ka-kak! Gawat!” suara panik Gamma terdengar dari alat.

“Gamma?! Ada apa?!”

“Raja… mengeluarkan poster buronan tentang kalian! Tentang Exone!”

“Apa?!”

“Iya, Kak! Aku melihatnya sendiri! Mereka sudah menyebar di seluruh ibukota!”

Arya terdiam sesaat. “Mencurigakan…”

“Maksudmu?” tanya Gamma.

Dina juga terlihat bingung. “Kok bisa mencurigakan?”

“Pikirkan saja. Kita selalu mengeksekusi penguasa korup, membebaskan rakyat, dan memberi kehidupan baru. Rakyat mulai menganggap kita pahlawan. Tapi… jika Raja langsung menyebar poster buronan, citra dia akan anjlok. Rakyat pasti membenci tindakannya.”

“Iya juga…” gumam Dina.

“Bukannya itu malah memperburuk citranya?” tanya Gamma lagi.

“Pasti ada alasan lain di balik ini. Gamma, tolong cari tahu apakah ada rencana tersembunyi di balik keputusan Raja ini. Tapi ingat, jangan memaksakan diri.”

“Baik, Kak. Akan kulakukan semampuku. Sampai jumpa!”

“Sampai jumpa, Gamma.”

---

Di istana…

Sekius menatap papan catur di depannya. Jemarinya mendorong satu bidak maju ke tengah.

“nah… mari kita mulai.”

---

1
luisuriel azuara
Karakternya hidup banget!
Nandaal: terimakasih banyak
total 1 replies
Ani
Gak sabar pengin baca kelanjutan karya mu, thor!
Nandaal: terimakasih banyak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!