Enam bulan pernikahan Anindia, badai besar datang menerpa biduk rumah tangganya. Kakak sang suami meninggalkan wasiat sebelum meninggal. Wasiat untuk menjaga anak dan juga istrinya dengan baik. Karena istri dari kakak sang suami adalah menantu kesayangan keluarga suaminya, wasiat itu mereka artikan dengan cara untuk menikahkan suami Nindi dengan si kakak ipar.
Apa yang akan terjadi dengan rumah tangga Nindi karena wasiat ini? Akankah Nindi rela membiarkan suaminya menikah lagi karena wasiat tersebut? Atau, malah memilih untuk melepaskan si suami? Ayok! Ikuti kisah Nindi di sini. Di, Wasiat yang Menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#35
Hana malah tertawa karena mendengar ucapan mamanya barusan. "Mama bicara apa sih? Kenapa aku harus cemburu sih, Ma? Yang satu suami aku, dan yang satu lagi kakak ipar ku. Mana mungkin aku akan cemburu."
"Aku sangat percaya sama mereka. Apalagi kak Desi. Aku sangat yakin kalau dia tidak akan pernah berbuat hal gila yang bisa membuat kita kecewa. Kita kenal dia sudah sangat lama, bukan? Mama juga tahu dia seperti apa. Jadi, jangan berpikiran hal yang aneh-aneh deh, Ma."
Nisa ingin langsung membuat firasat buruk yang ada dalam hatinya setelah mendengar ucapan Hana. Sayangnya, hati adalah hal yang sulit untuk di kawal. Firasat buruk yang dia rasakan, tetap saja menganggu hati juga pikirannya.
*
"Gimana kabarnya, Pak Roslan? Udah lebih baik?" Sadan berucap sambil meletakkan barang bawaan ke atas nakas.
Setelah ayah Nindi masuk rumah sakit kemarin, Sadan baru pulang tadi subuh. Namun, pagi harinya, pria itu malah sudah memperlihatkan wajahnya kembali. Datang tidak pula dengan tangan kosong. Lengkap dengan makanan, juga pakaian untuk Nindi.
Senyum manis ayah Nindi perlihatkan.
"Aku sudah sangat baik. Terima kasih banyak, Sadan. Kamu sudah banyak membantu."
"Bukan masalah, Pak. Hanya melakukan apa yang bisa aku lakukan saja."
"Nindi, sebaiknya kamu sarapan. Terus, ganti pakaian mu dengan yang baru saja aku bawakan. Lalu, kamu bisa istirahat. Ayah kamu, biar aku yang jaga."
"Tapi, Sadan-- "
"Nindi. Kamu gak mau lihat ayah mu sakit lagi, bukan? Jadi, kamu juga harus menjaga kesehatan. Karena jika kamu sakit, ayah mu pasti akan bertambah sakit."
Roslan langsung membenarkan apa yang Sadan katakan. "Sadan benar, Anin. Kamu harus istirahat. Ayah juga sudah lebih baik. Jadi, tidak perlu terlalu cemas memikirkan ayah ya."
"Tapi, ayah-- "
"Ya ampun, jangan bawel deh. Ayo! Saran sana. Terus, ganti tuh bajunya. Lalu, istirahat."
Tingkah konyol ternyata bisa hilang ketika dia ingin serius. Begitulah Sadan yang sudah Nindi kenal semakin dekat. Pria itu bisa sangat serius ketika dia menunjukkan perhatiannya. Sungguh, Sadan cukup mampu mengubah karakter dengan sangat baik.
"Ayo, Nona!"
Nindi langsung bangun dari duduknya. Dia lepaskan napas berat sejenak. "Hm ... baiklah. Kamu yang bawel, kenapa malah ngatain aku. Padahal, tadi malam, yang gak tidur itu kamu perasaan deh. Sedang aku, tadi malam juga kamu paksakan buat istirahat."
Ayah Nindi langsung melihat Sadan. "Jadi, tadi malam, kamu juga gak tidur?"
Sadan pun langsung bersikap tidak nyaman. Garuk-garuk tengkuk yang sama sekali tidak terasa gatal sedikitpun. "Se ... dikit, pak. Tapi, aku sudah terbiasa kok. Karena aku punya riwayat insomnia. Jadi, memang sudah jadi kebiasaan buat aku kalo begadang semalaman."
Sontak, Nindi langsung menatap lekat wajah Sadan. "Insomnia? Serius?"
"Hm, iya. Aku punya riwayat gangguan tidur sejak remaja. Sampai sekarang, juga masih belum sembuh."
"Ah, kenapa malah bahas insomnia aku sih? Ya Tuhan. Ayo, Nindi! Sarapan. Terus, ganti bajunya. Setelahnya, bisa istirahat." Sadan berusaha mengalihkan perhatian dengan cepat.
Di sisi lain, Afi sedang duduk termenung di ruangan kerjanya. Pagi-pagi sekali, pria itu sudah ada di tempat kerja. Entah apa yang sedang ada dalam pikiran Hanafi saat ini. Yang jelas, semua masalah itu tidak akan jauh dari mantan istrinya.
Ketukan di pintu mengalihkan perhatian Afi.
Gegas dia benarkan posisi duduknya. Setelahnya, barulah pria itu mempersilahkan seseorang yang ada di luar untuk masuk.
"Masuk!"
Pintu terbuka, tangan kanan kepercayaan Afi muncul. "Pak, saya punya kabar yang bapak inginkan."
Afi yang awalnya duduk, langsung bangun. Wajahnya terlihat sedikit tidak sabaran. "Katakan, apa yang kamu tahu! Katakan sekarang juga!"
"Mantan istri bapak-- "
"Tidak perlu kamu sebutkan kata-kata itu. Sebutkan saja namanya. Apakah itu sulit?"
"Maaf, pak. Tidak. Saya akan sebutkan namanya langsung."
"Mmm ... katakan!"
Pria itu langsung mengulang dari awal lagi. "Mbak Nindi saat ini ada di rumah sakit cahaya harapan, Pak."
"Apa!" Wajah kaget Hanafi langsung terlihat. "Anin di rumah sakit? Apa yang terjadi?"
"Kemarin, ayahnya mbak Nindi masuk rumah sakit, Pak Hanafi. Jadi, gara-gara itu pula mbak Nindi harus bergegas meninggalkan pesta. Karena dia harus segera ke rumah sakit setelah menerima kabar."
"Ayah. Jadi, semua karena ayahnya masuk rumah sakit. Lalu, pria yang ada di sekitar dia, juga ikut?"
"Iya, pak. Pria itu terus menemani mbak Nindi sejak kemarin."
Hembusan napas berat langsung terdengar dari bibir Hanafi. Sepertinya, hati Afi cukup kesal karena kabar itu.
"Baiklah. Kamu bisa pergi."
"Baik, pak."
Namun, baru juga pria itu memutar tubuh, suara Hanafi langsung terdengar. "Tunggu!"
"Ya, Pak."
"Tolong, siapkan untuk aku beberapa-- ah, tidak perlu. Biar aku siapkan sendiri saja. Ayahnya di rawat di rumah sakit mana tadi?"
"Cahaya Harapan, Pak."
"Oke. Kamu bisa pergi."
"Baik, Pak."
Hanafi bergegas meraih jas yang ada di kursi. "Cahaya Harapan." Afi bergumam pelan sebelum meninggalkan ruangan kerjanya.
*
Tatapan mata tajam langsung menyambut Hana ketika dia baru saja tiba ke ruang makan. Mama mertuanya sedang menatapnya dengan tatapan tajam yang langsung membuat si wanita jadi tidak nyaman.
"Pagi, Ma. Pa."
"Kamu bangun jam berapa sih biasanya?" Ketus si mertua.
"Biasa ... aku bangun jam enam kok, Ma. Hari ini, aku sedikit kecapean makanya-- "
"Udah-udah. Gak perlu kamu jelaskan lagi. Langsung sarapan aja sekarang. Setelah selesai, bantuin si bibi buat beres-beres."
Wajah Hana langsung terlihat kebingungan. "Beres-beres?"
"Iya. Kenapa? Ada yang salah?"
"Ah, ti-- tidak. Aku pikir .... "
"Apa yang kamu pikir. Nikah dengan anakku, kamu bisa jadi nyonya kaya? Hello ... ini rumah butuh dibereskan. Ada pelayan juga harus bantu berberes. Kamu bukan putri raja yang gak perlu melakukan apapun, tau?"
Hana hanya bisa diam saja sekarang. Sungguh, hatinya sedikit sakit. Ucapan mertuanya cukup membuat tensinya naik. Ditambah pula dengan sang suami yang hanya diam saja. Padahal, mereka baru menikah kemarin. Baru datang kemarin sore. Eh ... sudah berubah jadi pembantu pagi harinya. Sungguh menyedihkan.
Sementara itu, Hanafi sudah pula tiba ke rumah sakit yang ingin dia datangi. Tentu saja dia datang tidak dengan tangan kosong. Dia sudah menyiapkan beberapa makanan kesukaan Nindi dan juga beberapa makanan yang bisa ayah Nindi makan.
"Semoga mereka suka," ucap Hanafi saat berada di depan rumah sakit.
Hembusan napas berat langsung dia lepaskan. Cukup menantang sebenarnya. Cukup membuat hati Afi merasa gugup. Karena dia yakin, kedatangannya ini tidak akan berjalan semulus telur rebus. Pasti akan ada halangan yang menghadang. Tapi, walau begitu, dia tetap akan menghadapinya.
"Hanafi!"
Desi tipe perempuan tidak tahu malu 🤣🤣🤣
serunya waktu ketahuan 🤣🤣🤣