Setelah sepuluh tahun berumah tangga, akhirnya Sri Lestari, atau biasa di panggil Tari, bisa pisah juga dari rumah orang tuanya.
Sekarang, dia memilih membangun rumah sendiri, yang tak jauh dari rumah kedua orang tuanya
Namun, siapa sangka, keputusan Tari pisah rumah, malah membuat masalah lain. Dia menjadi bahan olok-olokan dari tetangganya.
Tetangga yang dulunya dikenal baik, ternyata malah menjadikannya samsak untuk bahan gosip.
Yuk, ikuti kisah Khalisa serta tetangganya ...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hamil
Andin menatap jauh keluar jendela, dia bukan iri karena mertuanya mendapatkan gelang emas. Karena dia sendiri juga mendapatkannya. Akan tetapi, dia sedang menahan rindu pada sosok yang baru saja menghilang di matanya.
Padahal, rasa rindu itu masih ada, tapi pekerjaan ialah tuntutan untuk Amar pergi.
"Gak usah galau dan iri gitu, anak lelaki memang harus berbakti pada emaknya," cetus Rohani kala menatap menantunya melamun. "Coba deh, kamu ikut pengajian, agar hatimu tercerahkan ..." nasehat Rohani tersenyum sinis.
"Besok kan mak? Aku akan pergi jika emak pergi," ujar Andin melirik sekilas ke mertuanya.
"Dih," Rohani berdecak kesal.
Di rumah sebelah, tepatnya di kediaman Tari. Pagi ini, kepalanya terasa berat. Dia bahkan enggan untuk bangun dari kasurnya.
Daffa yang sudah menginjak bangku sma hanya bisa memasak bubur untuk ibunya sarapan.
Selebihnya, dia hanya bisa minta tolong sama neneknya untuk menjaga ibunya. Karena nanti pun, dia harus mengikuti beberapa kegiatan ekstra kurikuler di sekolahnya.
"Kita ke puskesmas aja?" tanya Sari, menatap anaknya yang terlihat pucat sekali.
"Gak usah lah, bu, sepertinya aku kelelahan, karena kemarin mambantu bu Saudah petik cabai," lirih Tari, seraya memejamkan matanya.
"Kan berulang kali ibu katakan, jangan terlalu memaksakan diri. Karena kesehatan jauh lebih penting dari segalanya," ujar Sari seraya memijit pelan dahi anak semata wayangnya.
Sari bangkit, dia berjalan ke meja hias. Lalu mengambil balsem, untuk di oleskan ke dahi Tari.
Akan tetapi, begitu tutup balsem di buka, Tari memberikan efek lain. Dia bangun dan berlari tergopoh-gopoh untuk ke kamar mandi. Lalu memuntahkan semua bubur yang tadi, disiapkan Daffa tadi.
"Sepertinya kamu masuk angin," ungkap Sari memijit tengkuk Tari.
"Sepertinya," sahut Tari lemah. "Ibu simpankan saja balsemnya, aku gak kuat nyiumnya. Seperti mau mual," keluh Tari.
Masih dengan memijit tengkuk Tari, terdengar ketukan di barengi salam dari arah luar sana.
Dengan perintah dari Tari, Sari pun menuju depan untuk membukakan, pintu.
"Oo Rohani, masuk," ujar Sari mempersilakan Rohani.
"Tumben kamu disini, Tari mana?" tanya Rohani menyelonong masuk. Dia bahkan mengintip kamar Tari.
"Di kamar mandi, lagi kurang sehat. Makanya aku disini, menemaninya," sahut Sari.
"Kayak anak kecil aja harus di temani, masak apa hari ini?" Rohani membuka tudung saju, kala ia berada di dapur. "Kok kosong?" sambungnya.
"Ya, di mataku, Tari selalu menjadi anak kecil, lagi pula, gak sopan kan, membuka tudung saji di rumah orang lain," Sari menutup kembali tudung saji, yang sebelumnya dibuka Rohani.
Rohani memutar mata malas, kala melihat tanggapan Sari.
Kemudian Rohani kembali ke depan, dia mengambil remote tv dan menyalakannya.
"Di rumah aku merasa suntuk, karena Andin tidak bisa di ajak ngobrol. Gak kayak Tari, nyambung," Rohani membuka suara, kala melihat Sari mengikutinya.
Sari hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia enggan menanggapi Rohani.
Kemudian, dia kembali memasuki kamar Tari, untuk melihat keadaan anaknya.
Akan tetapi siapa sangka, Rohani malah ikut masuk ke kamar Tari.
"Kenapa sampai sakit sih Tari? Apa karena mesin cuciku lebih mahal?" cerecos Rohani begitu melihat Tari yang terbaring lemah.
Tari hanya melirik Rohani sekilas. Perempuan itu, menaikan lengan baju dasternya sampai ke siku. Memperlihatkan gelang barunya.
"Oo, ini gelang yang diberikan Amar, bagus ya," sambungnya tanpa ditanya.
"Bu, aku mau istirahat, ibu di luar aja, gak apa-apa," ujar Tari dengan lemah.
Tari bermaksud mengusir Rohani secara halus. Karena keberadaan wanita itu sungguh mengganggunya.
...****************...
Dua bulan telah berlalu, pagi ini, bukan, lebih tepatbya subuh ini, Andin memberanikan diri untuk cek kehamilannya menggunakan tespek, yang sebelumnya di beli kemarin sore, di apotik terdekat.
Sudah dua bulan dia tidak mengalami yang namanya datang bulan. Akan tetapi dia ragu untuk mencek-nya. Takut, kecewa akan hasil yang didapatkannya.
Masih dengan memejamkan mata, Andin mengintip untuk melihat hasilnya.
Matanya membelalak keget, rasa senang bercampur bahagia. Bahkan dia merasa euforia.
Buru-buru Andin keluar dari kamar mandi, setelah sebelumnya dia telah mengambil air wudu.
Dengan tangan gemetar, di memotret tespek yang memperlihatkan garis dua samar, untuk di kirimkan pada Amar.
Baru setelahnya, dia melakukan ibadah, seraya mengucapkan rasa terima kasih pada Rabb-nya.
Sebelumnya, Andin sempat khawatir. Karena telah beberapa bulan dia menikah dengan Amar, dia tak kunjung hamil.
Apalagi, kala itu dia sempat mendengarkan perbincangan mertuanya yang rindu akan kehadiran sang cucu. Beruntung kala itu, Rohani tidak menjelekkannya. Karena lawan bicaranya terlebih dahulu menyalahkan Amar yang jarang pulang untuk menemui Andin.
"Sayang, aku pulang ya," Amar membalas pesan Andin cepat.
Karena sebelumnya panggilan darinya tidak di jawab.
Andin sendiri masih larut dalam doanya.Tangis bahagia masih menemaninya. Dia bahkan sempat melupakan tentang ponselnya.
"Terima kasih, karena telah memilihku untuk menjadi orang tua mu. Berjuanglah, sayang, agar kita bisa melihat satu sama lain," Andin mengelus perutnya yang masih rata.
"Hati-hati, aku dan anak kita menunggumu," balas Andin dengan mata yang masih meneteskan air mata bahagia.
Sore harinya, Amar tiba di rumahnya. Dia membawakan aneka buah-buahan untuk Andin. Termasuk mangga muda, buah yang paling diminati oleh sebagian ibu-ibu hamil.
"Kok pulang lagi?" Rohani yang sedang mencabut rumput di halamannya bertanya heran.
"Rindu Andin," sahut Amar sekilas.
"Memang agak lain istrimu itu, masak suami cari duit di suruh pulang melulu," cibir Rohani.
"Masalahnya, bukan Andin yang menyuruhku pulang mak, tapi aku yang merinduinya," bela Amar.
"Ini juga, kenapa belinya banyak gini sih? Memangnya siapa yang makan? Kamu sanggup menghabiskannya?" beruntun Rohani, melihat plastik-plastik yang bergantungan di sepeda motor Amar.
"Nanti dibagikan untuk bi Nurma, juga Juli," sahut Amar sekenanya.
Dan tidak mau menanggapi emaknya terlalu lama, Amar masuk ke dalam untuk menemui sang kekasih tercinta.
Andin yang berada di dapur, terkejut kala sebuah tangan melingkar di perutnya.
"Terima kasih sayang," bisik Amar seraya mengecup pelan leher jenjang istrinya.
Amar memutarkan tubuh Andin, agar berhadapan dengannya.
"Aku lanjut cuci piring dulu ya," pinta Andin memperlihatkan tangannya yang penuh busa.
"Istirahatlah, biar aku yang lanjutkan," perintah Amar.
"Tapi ,,,"
"Eh, istri baik, tidak membantah suami," ujar Amar seraya mengelus pipi Andin.
Mengalah, itulah, yang bisa Andin lakukan. Dan sekarang, dia memilih mengupas jeruk, yang dibawakan Amar.
"Astaga Andin, apa yang kamu lakukan?" hardik Rohani dari pintu dapur.