NovelToon NovelToon
Wifi Couple

Wifi Couple

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Enemy to Lovers / Idola sekolah
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Auraliv

Albar tak bisa terpisahkan dengan Icha. Karena baginya, gadis itu adalah sumber wifinya.

"Di zaman modern ini, nggak ada manusia yang bisa hidup tanpa wifi. Jadi begitulah hubungan kita!" Albar.

"Gila ya lo! Pergi sana!" Icha.

Icha berusaha keras menghindar Albar yang tak pernah menyerah mengejar cintanya. Bagaimana kelanjutan cerita mereka?

*Update setiap hari.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Auraliv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35 - Perpisahan

Hari itu akhirnya tiba. Aula sekolah dipenuhi dengan wajah-wajah ceria para siswa berseragam rapi, toga biru menutupi pundak mereka. Musik seremonial mengalun, orang tua dan guru tersenyum bangga. Semua tampak bahagia—kecuali Icha.

Dari kursinya di barisan tengah, Icha terus melirik ke arah panggung. Albar duduk di sisi lain, bersama teman-teman bandnya. Tatapannya lurus ke depan, ekspresinya datar, seolah sengaja menghindari mata Icha.

Jadi ini rasanya? Hari yang harusnya bahagia, tapi malah sesakit ini…

Saat upacara usai, semua siswa sibuk berfoto. Suasana penuh tawa, pelukan, dan janji-janji pertemanan. Namun, di tengah keramaian itu, Icha justru merasa semakin terasing.

Ia tahu, tak bisa menunda lagi. Jika hari ini ia tidak bicara dengan Albar, semuanya hanya akan menggantung.

“Icha.”

Suara itu membuat jantungnya melompat. Albar berdiri di belakangnya, masih memakai toga, rambut agak berantakan karena topi wisuda. Ia tersenyum tipis, tapi matanya jelas menyimpan bEban.

“Kita perlu ngobrol,” lanjutnya.

Icha mengangguk pelan. Tanpa berkata apa-apa, mereka berjalan keluar aula, menuju taman sekolah yang sepi.

Beberapa menit, keduanya hanya diam. Angin sore berhembus pelan, meniupkan daun-daun kering di bawah kaki mereka.

...***...

Sejak hari kelulusan itu, waktu seolah berjalan lebih cepat dari biasanya. Kalender di dinding kamar Icha terasa seperti menghitung mundur setiap hari. Dua minggu lagi, ia akan terbang meninggalkan tanah air—meninggalkan keluarga, teman-teman, dan… Albar.

Setiap pagi, begitu membuka mata, Icha selalu bertanya pada dirinya sendiri: Benarkah aku siap pergi? Benarkah aku tega meninggalkan dia?

Hubungannya dengan Albar sejak hari kelulusan berubah. Mereka tak lagi berdebat soal masa depan, tak juga banyak membicarakan kepergian Icha. Tapi justru karena itu, suasananya makin menyesakkan.

Albar tetap sering menemuinya. Kadang datang ke rumah dengan alasan mengembalikan buku, kadang sekadar mengajak jalan sore. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang berani mengucapkan kata “perpisahan.”

Hari itu, mereka duduk di taman dekat rumah Icha. Langit sore berwarna jingga, dan suara anak-anak kecil yang bermain di ayunan terdengar sayup-sayup.

“Cha,” kata Albar tiba-tiba, memecah keheningan. “Gue bikin lagu baru.”

Icha menoleh. “Tentang apa?”

Albar tersenyum miring. “Tentang wifi.”

Icha mendesah, setengah kesal, setengah ingin tertawa. “Serius banget sih lo. Masih aja pake istilah itu.”

“Tapi itu yang paling gampang buat gue jelasin.” Tatapan Albar melembut. “Lo tuh kayak wifi terbaik yang pernah gue temuin. Cepet, stabil, bikin hidup gue nggak buffering. Dan sekarang lo mau cabut, gue takut sinyal gue ilang.”

Icha menggigit bibir, menunduk. Hatinya bergetar mendengar itu. “Bar, jangan bikin ini makin susah, dong.”

Albar terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Gue nggak bisa pura-pura kuat terus, Cha. Tapi gue juga nggak mau jadi beban buat lo.”

Icha menatapnya, matanya berkaca-kaca. “Kamu nggak pernah jadi beban buat aku.”

Malam itu, Icha pulang dengan perasaan campur aduk. Ia masuk ke kamar dan mendapati Dinda sudah duduk di ranjangnya, memainkan boneka kecil milik Icha.

“Dari Albar lagi?” tanya Dinda sambil mengangkat alis.

Icha mengangguk. “Hmm.”

“Cha, lo yakin sanggup? Maksud gue, ninggalin dia dalam kondisi begini?”

Pertanyaan itu membuat Icha terdiam lama. “Aku nggak tahu, Din. Aku sayang banget sama dia. Tapi aku juga nggak mau nyia-nyiain kesempatan ini.”

Dinda menatapnya penuh iba. “Kadang cinta itu butuh pengorbanan. Entah lo yang berkorban, atau dia. Tapi jangan sampai lo nyakitin diri sendiri karena nggak jujur sama perasaan.”

Ucapan itu menusuk dalam hati Icha. Ia rebah di kasur, menatap langit-langit kamar, dan membiarkan air matanya jatuh.

Hari-hari berikutnya, Icha semakin sibuk dengan persiapan. Surat-surat, paspor, koper—semuanya menumpuk. Namun, di sela-sela kesibukan itu, ia selalu menyisihkan waktu untuk Albar.

Mereka menonton film di rumah, berjalan di taman kota, bahkan sekadar duduk diam berdua di warung mie ayam langganan.

Lucunya, semakin dekat hari keberangkatan, semakin sering Albar melontarkan candaan tentang wifi.

“Cha, lo tahu nggak? Kalau lo di luar negeri, gue harus beli paket roaming biar tetep nyambung sama lo.”

“Cha, jangan lupa kasih password kalau gue nyari sinyal lo dari sini.”

Kadang Icha tertawa, kadang menangis diam-diam. Ia tahu candaan itu hanyalah tameng. Albar sedang berusaha keras menutupi ketakutannya.

Namun, tidak semua orang bisa menutupi perasaan seperti itu.

Suatu malam, saat mereka sedang duduk di motor Albar usai beli gorengan, cowok itu tiba-tiba berkata lirih, “Cha, kalau suatu hari nanti lo nemuin cowok lain di sana, gue harus gimana?”

Pertanyaan itu membuat Icha terhenyak.

Ia memandang wajah Albar yang diterangi lampu jalan, menatap dalam ke matanya. “Bar, jangan ngomong kayak gitu. Aku nggak pergi buat nyari pengganti. Aku pergi buat nyari masa depan.”

Albar tersenyum pahit. “Iya, gue ngerti. Tapi tetep aja, rasanya kayak wifi gue lagi diambil orang lain.”

Icha hanya bisa meraih tangannya, menggenggam erat. “Nggak ada yang bisa gantiin kamu, Bar.”

Dan malam itu, tanpa mereka sadari, genggaman itu menjadi cara mereka berjanji: meski jarak memisahkan, hati mereka masih terhubung.

Hari keberangkatan semakin dekat.

Dan semakin dekat, hati Icha semakin gundah. Ia sadar, waktu kebersamaannya dengan Albar tinggal hitungan hari.

Di satu sisi, ia ingin memanfaatkan setiap detik untuk tersenyum bersama. Tapi di sisi lain, bayangan perpisahan membuat setiap senyuman terasa berat.

Malam terakhir sebelum keberangkatan, Icha menatap koper besar di sudut kamar. Ia tahu, besok semuanya akan berubah.

Air matanya jatuh lagi, dan dalam hati ia berbisik, Albar, apa kita benar-benar bisa bertahan setelah ini?

1
Sari Kumala
bucin ini
Kristina Sinambela
keren
Kristina Sinambela
keren ceritanya
Kristina Sinambela
bagus seru
Kristina Sinambela
keren
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!