Ganendra pernah hampir menikah. Hubungannya dengan Rania kandas bukan karena cinta yang pudar, tapi karena ia dihina dan ditolak mentah-mentah oleh calon mertuanya yang menganggapnya tak pantas karena hanya pegawai toko dengan gaji pas-pasan. Harga dirinya diinjak, cintanya ditertawakan, dan ia ditinggalkan tanpa penjelasan. Luka itu masih membekas sampai takdir mempertemukannya kembali dengan Rania masa lalunya tetapi dia yang sudah menjalin hubungan dengan Livia dibuat dilema.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 21
Sesampainya di butik mewah yang terletak di pusat kota, pegawai butik langsung membungkuk memberi salam hormat. Mereka sudah mengenali wajah Livia Danuarta Lo pewaris RD Grup yang baru saja kembali ke pucuk pimpinan perusahaan.
“Selamat sore, Ibu Livia. Kami sudah siapkan beberapa koleksi terbaik untuk Anda,” ucap seorang staf ramah sambil mempersilakan mereka masuk.
Tapi Livia langsung mengangkat tangannya ringan. “Hari ini bukan buat aku. Tapi untuk dia,” katanya sambil menoleh ke arah Ganendra.
Pegawai butik tampak sedikit bingung. Livia melangkah lebih dulu, lalu menunjuk ke arah Ganendra yang berdiri kikuk di belakangnya.
“Dia ini bodyguard sekaligus asisten pribadiku. Mulai sekarang penampilannya harus disesuaikan. Aku nggak mau ada yang meremehkan orang yang berdiri di sampingku,” ucap Livia dengan nada tenang namun tegas.
Ganendra jelas merasa tak nyaman. Ia ingin menolak, tapi tatapan Livia tak memberi ruang untuk membantah.
Beberapa pegawai butik langsung bergerak cepat, mengarahkan Ganendra ke ruang ganti. Kemeja-kemeja berpotongan tajam, jas semi-formal dan sepatu kulit klasik dipilihkan satu per satu.
Livia menyilangkan tangan, berdiri menilai dari kejauhan.
Setelah beberapa kali ganti, Ganendra keluar dengan setelan kemeja hitam polos, celana slim-fit abu-abu gelap, dan sepatu hitam mengilap. Tubuh tegapnya semakin menonjol dengan pakaian yang pas badan.
Livia tersenyum simpul, matanya menyapu Ganendra dari kepala hingga kaki.
“Hmm... kamu bisa juga ternyata kelihatan berkelas.”
Ganendra menunduk canggung. “Apa nggak terlalu mencolok, Bu?”
“Justru itu yang aku mau. Aku CEO, kamu asistenku. Orang harus lihat kamu dengan pandangan berbeda sekarang. Kamu bukan supir lagi,” bisik Livia, suaranya rendah namun penuh tekanan lembut.
Ganendra tak mampu membalas. Tapi di balik wajah tenangnya, jantungnya berdetak jauh lebih cepat dari biasanya.
Livia terdiam sejenak matanya terpaku pada sosok Ganendra yang baru keluar dari ruang ganti dengan setelan rapi yang membingkai tubuhnya dengan sempurna.
Lengan bajunya sedikit menggembung menyesuaikan bentuk otot bisepnya, dan kemeja hitam itu seperti menegaskan setiap lekuk bahu dan dada bidangnya.
Celana yang pas badan membuatnya terlihat lebih tegap dari biasanya. Rambutnya yang semula agak acak kini disisir rapi ke belakang oleh salah satu staf salon sebelum mereka ke butik tadi.
Livia nyaris lupa cara bernapas sejenak. Ia bahkan harus menelan air liur secara perlahan, mencoba mengendalikan diri. Matanya berkedip sekali, tapi fokusnya tetap belum beralih dari Ganendra.
“Duh... Gan,” lirihnya dalam hati. “Kamu tuh bodyguard atau model majalah?”
Ganendra yang merasa dipandangi hanya berdiri kikuk, sesekali membetulkan letak jam tangannya, berusaha menyembunyikan kegugupan yang sama. Ia tahu Livia memperhatikannya terlalu jelas untuk diabaikan.
“Kenapa, Bu?” tanyanya lirih, suaranya agak serak.
Livia buru-buru mengalihkan pandangan. Ia melangkah pelan mendekat, tangannya terlipat di dada. Tapi dari dekat, aroma maskulin dari tubuh Ganendra malah makin menusuk kesadarannya.
“Hmm... kamu kayaknya bakal bikin banyak karyawan cewek susah fokus kerja,” gumamnya setengah bercanda, tapi ada nada tulus di balik kata-katanya.
Ganendra nyengir malu. “Saya cuma nurut aja, Bu.”
Livia mengangguk pelan, tapi dalam hati pikirannya melayang ke arah yang lebih dalam. Pria muda yang dulu cuma duduk di balik kemudi, kini berdiri sejajar di sampingnya dan entah sejak kapan keberadaannya jadi terlalu membekas.
Livia melangkah pelan ke arah Ganendra yang masih berdiri di depan cermin butik. Tanpa banyak kata, ia menatap pemuda itu dalam-dalam.
Ada tatapan yang tak bisa dijelaskan antara kagum, sayang dan bingung harus meletakkan perasaan itu di mana.
Lalu, seperti digerakkan oleh sesuatu yang tak bisa ia tahan, Livia maju satu langkah, mendekat, dan tanpa sadar bahkan bagai reflek ia mengecup pipi Ganendra singkat.
Hanya sekilas lembut. Tapi cukup untuk membuat jantung keduanya seakan berhenti berdetak sejenak.
Ganendra membeku di tempat. Ia tak berani bergerak, hanya bisa menatap lurus ke depan dengan mata melebar. Sementara Livia mundur satu langkah, menyadari apa yang baru saja ia lakukan.
“Aku…” Livia terdiam, menunduk, suaranya hampir seperti bisikan. “Maaf, aku nggak tahu kenapa tadi begitu.”
Ganendra masih tak menjawab. Wajahnya mulai memerah, bukan karena marah tapi karena gugup yang campur aduk dengan kebingungan. Pipinya yang tadi disentuh bibir Livia masih terasa hangat.
“Livia...” katanya pelan, akhirnya.
Livia mengangkat wajah, menatap matanya. “Kamu boleh marah kalau kamu nggak nyaman. Tapi aku nggak bisa pura-pura nggak ngerasa apa-apa lagi, Gan.”
Terjadi keheningan hingga suara denting halus dari gantungan baju dan langkah pelayan butik yang menjauh jadi satu-satunya pengisi ruang sunyi di antara mereka.
Ganendra menarik napas dalam. “Saya bukan siapa-siapa, Bu…”
“Tapi kamu bukan sekadar supir buatku, Gan,” potong Livia cepat, nadanya mulai bergetar.
Ia menggigit bibirnya, seolah ingin menahan sesuatu yang selama ini terus ia pendam. Dan di hadapan pria muda itu, Livia untuk pertama kalinya terlihat benar-benar jujur bukan sebagai CEO, bukan sebagai cucu dari Tuan Besar, tapi sebagai seorang wanita biasa yang jatuh cinta.
Livia menarik napas dalam-dalam. Tangannya menggenggam jemarinya sendiri, gemetar, tapi tekad di matanya tak bisa disangkal.
“Aku tahu ini nggak seharusnya,” ucapnya pelan tapi tegas. “Tapi aku capek pura-pura kuat. Capek sok jaga jarak. Aku suka kamu, Gan. Bukan cuma karena kamu baik, atau setia, atau karena kamu satu-satunya orang yang tetap berdiri di sampingku waktu aku dijatuhin semua orang.”
Ia menatap Ganendra, dalam, seolah menantang pemuda itu untuk menertawakannya, tapi yang ia dapat hanya kebisuan dan tatapan nanar dari pria yang lebih muda tujuh tahun darinya.
“Aku jatuh cinta sama kamu, Ganendra...” lanjutnya lirih. “Bukan sebagai bos. Tapi sebagai perempuan.”
Ganendra menunduk, rahangnya menegang. Hatinya seperti disayat. Bukan karena tak merasa yang sama, tapi justru karena ia merasa terlalu banyak terlalu dalam untuk bisa diungkapkan.
“Mbak…”
“Livia,” potongnya cepat, dengan mata berkaca-kaca. “Jangan panggil aku 'Bu'. Bukan sekarang.”
Ganendra mengangkat wajahnya. Matanya bertemu dengan mata Livia mata yang selama ini hanya ia lihat sebagai atasan, kini memancarkan sesuatu yang jauh lebih dalam.
Perasaan itu nyata, terasa di udara. Tapi juga menyesakkan.
“Mbak Livia kalau aku jujur,” suara Ganendra bergetar, “aku juga udah lama nggak bisa bohong soal ini. Tapi aku takut kamu bakal nyesel.”
Livia menggeleng pelan. “Yang aku sesalin justru karena selama ini aku tahan perasaanku sendiri. Kamu pikir aku nggak takut jatuh cinta sama supir pribadi? Sama asisten sendiri? Tapi rasa ini datang dan dia tumbuh, meski aku larang berkali-kali.”
Ia tertawa getir, lalu menatap Ganendra dengan mata lembut. “Kita bisa pura-pura nggak pernah ada perasaan. Tapi apa kamu yakin bisa terus lihat aku tiap hari, dan nggak merasa apa-apa?”
Ganendra terdiam lama. Lalu akhirnya menjawab pelan, “Nggak bisa.”
Mereka saling diam. Tapi dalam diam itu, dunia seperti mengerucut hanya pada mereka berdua. Tak ada jabatan. Tak ada status. Tak ada jarak usia. Hanya dua orang yang saling jatuh cinta, di waktu dan tempat yang tak biasa.