Ellena dijual ibu tirinya kepada seseorang sebagai pengantin yang diperkenalkan di muka umum, agar istri sah tetap aman.
Namun, di hari pengantin ia diculik sesuai dugaan pria itu, dan disanalah awal penderitaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kinamira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Ellena membuka jendela dan melihat keluar. Pandangannya menemukan beberapa orang tergeletak tak sadarkan diri di halaman.
"Ada serangan," gumamnya.
"Apa karena ini Felix dan Lovie pergi meninggalkan aku sendirian? Artinya, inilah rencana Felix yang dikatakan sebelumnya? Tapi, kenapa dia mau aku dibawa pergi?" batinnya.
Belum sempat ia berpikir menjawab. Pintu kamarnya terbuka, membuat Ellena menoleh. Matanya membulat melihat Maxim berdiri di ambang pintu dengan senyum smirknya.
Tubuh Ellena gemetar, nafasnya naik turun, membayangkan bagaimana kejamnya Maxim memperlakukannya dulu.
Maxim melangkah mendekat menatap dengan sorot mata dinginnya. Perlahan mulutnya terbuka, dan ia berucap. "Sepertinya beberapa hari ini, kau terlihat senang ya."
Bibir Ellena bergetar, "aku, aku bu—." Ia tidak berani melanjutkan ucapannya.
Teringat ia pernah kedapatan mengumpati Lovie, hingga Felix memarahinya habis-habisan, membuatnya berpikir di sana mungkin alat penyadap suara.
Ia kembali mengatup rapat mulutnya.
Maxim semakin mendekat. Sedangkan Ellena tubuhnya terasa membeku. Kakinya tidak bisa digerakkan, hingga ia hanya bisa diam gemetaran di tempatnya.
Hingga kini Ellena sudah berada dalam jangkauan Maxim. Pria itu mengangkat tangannya, mengusap lembut pipi Ellena.
"Felix benar-benar mencintaimu ya. Dia senang, memamerkan kebahagiaan kalian," ucapnya.
Usapan tangan Maxim turun ke leher berakhir dengan memberikan cekikan yang kuat.
"Emm!" Ellena tersentak. Ia berusaha menahan tangan Maxim agar tidak menekan semakin kuat.
"Dia seolah mengejekku. Karena berhasil mendapatkanmu kembali," sahutnya dengan penuh penekanan.
Di saat bersamaan. Earphone di telinga yang masih tersambung dengan asistennya mengeluarkan suara. "Tuan segera keluar, Felix Willson kembali dengan sepuluh mobil di belakangnya. Kecepatan tinggi, sekitar lima menit akan sampai di sana!"
Tanpa mengatakan apapun Maxim menarik Ellena dalam gendongan. Dengan posisi setengah duduk di lengan Maxim, dada Ellena sejajar dengan kepala Maxim.
Ellena terkejut, belum sempat merespon, Maxim membuka jendela, tanpa ragu keluar dan segera berlari cepat diantara genteng.
"Akh!" jerit Ellena ketakutan. Ia memeluk erat leher Maxim, menutup mata, dan berharap Maxim tidak menjatuhkannya.
"Tuan helikopter sudah siap menjemput. Dalam sepuluh menit akan sampai."
Di susul dengan ucapan lainnya. "Tuan lari ke bagian barat, orang kita sudah menunggu dan anda bisa melompat di sana."
Maxim tidak berucap, namun segera berbelok berjalan ke arah barat. Gerakan kakinya cepat, seiring semakin terdengarnya suara mobil yang melaju.
"Aku harus berhasil!" sahut Maxim dengan penuh semangat.
"Tuan mereka sudah sampai, waspadalah!" Saat itu juga suara pistol meledak berurutan membuat Maxim semakin mempercepat langkahnya.
"Akh!" jerit Ellena semakin mempererat pelukannya.
"Diamlah!" bentak Maxim, nyaris kehilangan keseimbangan, akibat suara jeritan yang menusuk telinga.
"Aku takut," sahut Ellena tidak berani membuka mata. "Kenapa kita harus lewat sini sih? Tidak bisakah, kita lewat pintu dengan baik-baik?" Cerocohnya tiba-tiba.
Dalam keadaan yang mengancam nyawa itu, membuatnya berani tiba-tiba berani bicara.
"Bodoh! Kalau lewat sana jelas kita tertangkap!" umpat Maxim, malah menanggapi.
"Tapi, kalau jatuh di sini, kita akan mati," balas Ellena.
Maxim masih menanggapi. "CK, aku tidak akan membiarkanmu mati dengan mudah!" dengkusnya, di akhiri dengan lompatan.
"Akh! Kita jatuh!" suara jeritan Ellena semakin menggema. Merasakan dirinya akan terjatuh. Ia semakin memegang kuat leher Maxim.
Hanya beberapa detik, namun serasa membuat jantung lepas dari tempatnya. Detik kemudian, Ellena merasakan tubuhnya jatuh di tempat yang nyaman.
Ia membuka mata dan melihat dirinya yang berada di atas kain jenis karet. Setiap sudutnya dipegang beberapa orang.
"Tuan anda lari saja. Kami akan halangi mereka," sahut salah satu diantara mereka."
"Tidak perlu, semuanya lari!" seru Maxim kembali mengangkat Ellena ke gendongannya. Lalu menekan earphonenya.
"Liam sekarang!" serunya sembari mengambil langkah cepat menjauh dari sana, diikuti oleh orang-orangnya.
Beberapa detik kemudian. Suara ledakan yang berurutan terdengar dari dalam rumah.
Ellena mengangkat kepalanya, melihat rumah Felix mulai terbakar dan hancur.
Dari halaman rumah ia melihat Felix yang diam menatapnya di antara kepulan asap itu.
Meski dalam keadaan malam, serta adanya asap, namun ia sempat melihat, Felix mengulum senyum.
"Apa rencanamu Felix?" batinnya tanpa sadar mencengkram kuat pundak Maxim.
"Kenapa kau selalu melibatkanku? Dan terus berpura-pura mengejar?" batinnya.
Di depan sebuah helikopter sudah menunggu. Ellena memejamkan mata melihat anak buah Maxim mulai menembak ke arah Felix yang mengejar.
Perlahan Ellena menurunkan kepalanya, sedikit menopang di atas kepala Maxim. "Aku tidak bisa bicara, selama adikku masih bisa diambilnya. Tapi, kalau aku tetap diam saja, Maxim pasti akan menyiksaku lagi," batinnya tanpa bisa dikendalikan, menjatuhkan air matanya.
Maxim, merasakan setiap pergerakan Ellena yang membuatnya merasa kebingungan. "Apa-apaan wanita ini."
aku pembaca setia mu😁
nah ini baru elena nya ngelawan, jgan diem aja sm maxim atau felix klo lgi di ancam...
update lgi thor....
bikin penasaran nih😁
knapa maxim gk peka sih klo elena hamil anaknya ?? jangan felix terus dong yg menang , kasiah maxim😑