NovelToon NovelToon
SERENA (Aku Ingin Bahagia)

SERENA (Aku Ingin Bahagia)

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Anak Yatim Piatu / Diam-Diam Cinta / Mengubah Takdir / Guru Jahat
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Nita03

Doa Serena setiap waktunya hanya ingin bahagia, apakah Serena akan merasakan kebahagiaan yang dia impikan? atau malah hidupnya selalu di bawah tekanan dan di banjiri air mata setiap harinya?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita03, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Halaman Tiga Puluh Lima

***

Sore menjelang malam, matahari sudah merunduk di ufuk barat saat Hafiz keluar dari parkiran kantor. Lampu-lampu jalan mulai menyala satu per satu, menggantikan cahaya alami yang mulai memudar. Sepanjang perjalanan, pikirannya penuh oleh percakapan terakhirnya dengan Serena.

Ia merasa lega, meski luka-luka kecil masih terasa di dada. Tapi setidaknya kini semuanya lebih jelas. Serena tidak membencinya. Serena hanya takut. Dan Hafiz bertekad, ia akan terus memperjuangkan perempuan itu.

Namun sebelum itu, ada satu hal yang harus ia lakukan.

Hafiz membelokkan mobilnya ke arah barat daya Jakarta, menuju kawasan elit tempat rumah orang tuanya berdiri megah. Ia sudah jarang ke sana sejak pertengkaran terakhir dengan sang ibu. Tapi malam ini, ia ingin menyelesaikan sesuatu.

Atau setidaknya, berusaha.

Mobilnya berhenti tepat di depan pagar besar rumah keluarga Fadlan. Seorang satpam membukakan gerbang dan memberi salam sopan.

“Selamat malam, Den Hafiz.”

Hafiz mengangguk dan melangkah masuk. Ia bisa merasakan aroma nostalgia menyergap hidungnya begitu masuk ke dalam rumah. Bau kayu manis dan mentega panggang... seperti aroma dapur masa kecilnya.

Namun langkahnya terhenti saat matanya menangkap sosok perempuan di dapur terbuka dekat ruang makan.

Airin.

Gadis itu berdiri dengan celemek bermotif bunga terikat manis di pinggang rampingnya. Rambutnya diikat ke belakang, dan ia tampak sibuk mengaduk adonan cokelat dalam baskom besar.

Di sampingnya, duduklah Bu Farhana dengan ekspresi wajah bahagia dan penuh rasa bangga. Tangannya sesekali menunjuk resep yang dibuka di tablet di atas meja dapur. Mereka tampak... terlalu akrab.

Hafiz berdiri mematung di ambang pintu dapur. Hatinya langsung menegang, dan sesal mulai merambat dari ujung kaki hingga ke dada.

“Hafiz!” sapa Bu Farhana sambil tersenyum. “Akhirnya kamu datang juga, Nak. Mama pikir kamu nggak akan ke sini.”

Airin juga menoleh, bibirnya langsung tersenyum manis.

“Hai, Hafiz,” sapanya lembut, sambil mengibaskan tangan yang sedikit belepotan adonan. “Mau brownies buatan aku? Katanya kamu suka yang cokelat banget, kan?”

Hafiz hanya mengangguk tipis. Ia tidak menjawab sapaan itu. Tatapannya hanya berpindah antara ibunya dan Airin, dan dadanya semakin panas.

“Mama sedang ajarin Airin bikin brownies kesukaan kamu. Ternyata dia cepat belajar. Kayaknya bisa jadi calon istri idaman, ya?” kata Bu Farhana sambil tersenyum bangga, dengan nada tak menyembunyikan maksudnya.

Hafiz menghela nafas pelan, mencoba menahan emosi. Ia melangkah masuk perlahan, duduk di kursi ruang makan tanpa banyak kata.

“Airin dari tadi bantuin Mama di dapur. Dia anak yang baik. Pantas Mama suka. Gimana, kamu jadi keluar sama dia besok?” Bu Farhana menambahkan dengan suara terlalu ceria.

Airin hanya tersenyum tanpa menyela, jelas menikmati perhatian yang diberikan.

Namun Hafiz tak menjawab. Ia hanya memandang kosong ke arah meja. Hatinya menyesal. Harusnya tadi ia langsung pulang ke apartemen. Seharusnya ia tidak mencoba berdamai malam ini.

“Ma, aku capek. Aku nggak lapar,” katanya pelan, kemudian bangkit berdiri.

“Hafiz, kamu baru sampai!” protes Bu Farhana. “Mama dan Airin capek-capek bikin ini, masa kamu nggak mau coba?”

“Ma, aku datang ke sini bukan untuk makan brownies. Aku cuma mau bilang, tolong berhenti paksa aku.”

Bu Farhana terdiam. Airin pun menunduk sejenak, ekspresi wajahnya berubah sedikit canggung.

“Aku tahu Mama suka Airin. Tapi aku juga punya hak atas hidupku sendiri. Aku sudah cukup dewasa untuk memilih sendiri siapa yang ingin aku temani sampai tua nanti.”

“Hafiz—”

“Aku nggak mau menyakiti siapa-siapa. Tapi yang Mama lakukan sekarang justru bikin semuanya makin rumit.”

Bu Farhana bangkit dari kursinya, menatap Hafiz dengan ekspresi kaku.

“Kamu pikir Mama nggak tahu kamu dekat dengan perempuan tak jelas itu? Serena? Anak dari keluarga kacau itu? Mama nggak bisa tinggal diam melihat kamu hancur hanya karena perempuan yang bahkan tidak disetujui lingkungan kita!”

Hafiz mengatupkan rahangnya, menahan emosi.

“Mama tidak pernah mencoba mengenalnya. Mama langsung menghakimi. Dan itu yang membuat aku kecewa.”

Ia melirik Airin sekilas. “Maaf Airin, aku tahu kamu mungkin berharap... Tapi aku nggak bisa pura-pura menyukai seseorang hanya untuk menyenangkan Mama.”

Hafiz membalik badan dan melangkah keluar, meninggalkan keheningan menusuk di dapur keluarga itu.

Ia keluar rumah tanpa berpamitan lagi. Sesal dan kemarahan membaur dalam dirinya. Mobilnya melaju cepat keluar dari kompleks itu, seolah hendak menjauh dari semua tekanan yang terus menyesakkan.

Di dalam hatinya, hanya satu nama yang terus muncul, Serena.

Perempuan yang bahkan dalam diam pun, mampu membuatnya merasa hidup.

.

Langit malam Jakarta mulai menggelap sepenuhnya saat Hafiz menyetir mobilnya keluar dari kompleks rumah orang tuanya. Emosinya masih bergejolak, namun ia memaksakan diri untuk tetap tenang. Radio di mobil ia biarkan menyala, tapi suaranya nyaris tak terdengar karena pikirannya terlalu riuh.

Namun belum jauh mobil itu melaju, ponselnya bergetar di konsol tengah. Sebuah panggilan masuk, dari kontak yang jarang muncul di layar.

Om Andre.

Hafiz mengerutkan alis dan segera mengangkat panggilan itu melalui sistem handsfree di mobil.

“Halo, Om?” sapanya, mencoba terdengar normal.

Suara pria paruh baya di seberang sana terdengar serius. “Hafiz, kamu lagi di mana sekarang?”

“Baru keluar dari rumah Mama. Mau balik ke apartemen, Om. Kenapa?”

“Ayahmu nggak bisa dihubungi ya?”

Hafiz menarik napas, mencoba menyembunyikan kekesalannya. “Nggak tahu, dari tadi juga ponselnya mati.”

“Hm... pantas. Dengar, Hafiz. Opa Darman ada di rumah Om sekarang. Beliau baru datang sore tadi langsung dari bandara, dan tiba-tiba minta Om untuk menghubungi kamu.”

Hafiz langsung menegakkan tubuhnya, sorot matanya fokus ke jalan. “Opa? Opa Darman? Maksudnya... Opa datang dari Edinburgh?”

“Iya. Tiba-tiba muncul di rumah Om, bilang dia kangen cucunya satu itu. Tapi kayaknya bukan cuma kangen. Wajahnya serius sekali, dan dia ingin bicara langsung sama kamu.”

Hafiz terdiam sesaat. Opa Darman—ayah dari Pak Fadlan—memang sudah lama tak kembali ke Indonesia sejak memutuskan untuk menetap di Edinburgh bersama istrinya, Nenek Eliza. Keduanya memilih pensiun dan menghindari keramaian dunia bisnis yang dulu begitu mereka kuasai. Hafiz masih mengingat bagaimana Opa dulu sangat dekat dengannya saat kecil, selalu membelanya diantara kerasnya didikan sang ayah.

“Aku kesana sekarang, Om,” jawab Hafiz cepat.

Panggilan berakhir. Hafiz langsung memutar balik mobilnya, meninggalkan jalan menuju apartemen dan melaju ke arah utara—ke kawasan Cempaka Putih, tempat rumah besar bergaya kolonial milik Om Andre berdiri sejak dulu.

Selama perjalanan, pikirannya berputar lebih kencang. Kedatangan Opa Darman bukan hal biasa. Opa selalu tenang dan terencana, dan jika beliau sampai datang tanpa pemberitahuan lebih dulu, artinya ada sesuatu yang penting.

Dan... kenapa harus bertemu Hafiz duluan? Bukan anaknya sendiri?

Hafiz memijak pedal gas sedikit lebih dalam. Di tengah segala kekacauan akhir-akhir ini—perjodohan yang dipaksakan, tekanan keluarga, Serena yang dijauhi, dan Airin yang tak henti hadir di hidupnya—ia merasa kedatangan Opa seperti angin lain yang entah akan membawa badai... atau ketenangan.

Tak sampai tiga puluh menit, Hafiz sampai di rumah Om Andre. Rumah besar itu terlihat hangat dengan lampu-lampu kuning keemasan menyala di seluruh bagian depan. Seorang petugas rumah tangga menyambutnya dan langsung membawanya ke ruang tamu.

Dan di sana... duduk seorang lelaki tua dengan rambut memutih, namun postur tubuhnya masih tegap. Sorot matanya tajam namun penuh wibawa. Janggutnya yang rapi menambah kesan bijaksana.

“Opa...” Hafiz nyaris tak percaya.

Opa Darman berdiri, senyumnya langsung mengembang. “Hafiz... cucu favorit Opa. Akhirnya kamu datang juga.”

Hafiz segera menghampiri dan memeluk pria tua itu. Ada kehangatan yang langsung mengalir ke dalam hatinya. Pelukan itu—sederhana, namun mampu menenangkan badai yang sejak tadi merajam pikirannya.

“Maaf, aku terlambat, Pa. Aku... nggak tahu Opa datang,” ucap Hafiz, sedikit tercekat.

“Tak masalah. Opa memang sengaja tidak bilang siapa-siapa. Opa hanya ingin bicara dulu dengan kamu... sebelum semuanya terlalu rumit.”

Hafiz melepaskan pelukan dan menatap wajah Opa dengan heran.

“Rumit? Maksud Opa?”

Opa Darman menepuk bahunya. “Nanti akan Opa jelaskan. Tapi sebelumnya... bagaimana keadaanmu, Hafiz? Kamu kelihatan lelah. Apakah benar kamu sedang dalam masalah besar?”

Hafiz menarik napas panjang. Ia tahu... malam ini tidak akan menjadi malam biasa. Dan ia bersyukur... karena sepertinya, untuk pertama kalinya dalam beberapa pekan terakhir, ada seseorang yang ingin mendengarkan—tanpa menghakimi.

Dan itu cukup... untuk membuat Hafiz akhirnya bisa bicara.

1
Yuliana Tunru
akjir x ada yg dukung hafiz ..nikah z dgn serena trus ikut opa mu keluar negri biarkan papa dan.mamamu.yg urus perudahaan dan airin
Yuliana Tunru
airin jikapun akhir x hafiz kau miliii tp kau hanya punya raga tanpa nyawa akan sia2 airin jgn jd obsesi gitu
Yuni Ngsih
Duh Author ada orang yg ky gtu pdhal masih klwrga ,hrsnya membimbingnya bkn memarahinya cerita kamu bafu nongol bikin ku marah & kezel Thor ,kmu sih yg bikin ceritra bgs banget jd yg baca kbw emozi ....he....lanjut tetap semangat
Nita: terima kasih kak, udah mampir.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!