"Aku terbangun di dunia asing. Tanpa ingatan, tanpa petunjuk, tapi semua orang memanggilku Aqinfa—seolah aku memang gadis itu."
Namun, semakin lama aku tinggal di tubuh ini, semakin jelas satu hal: ada sesuatu yang disembunyikan.
Wajah-wajah yang tampak ramah, bisikan rahasia yang terdengar di malam hari, dan tatapan pria itu—Ziqi—seolah mengenal siapa aku sebenarnya... atau siapa aku seharusnya menjadi.
Di antara ingatan yang bukan milikku dan dunia yang terasa asing, aku—yang dulu hanya Louyi, gadis sederhana yang mendambakan hidup damai—dipaksa memilih:
Menggali kebenaran yang bisa menghancurkanku, atau hidup nyaman dalam kebohongan yang menyelamatkanku.
Siapa Aqinfa? Dan… siapa sebenarnya aku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amethysti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Introgasi tetua akademu seomu
Dua hari setelah kesadarannya kembali, Aqinfa diperbolehkan keluar dari ruang perawatan. Meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih, semangatnya tak bisa dibendung. Langit pagi di Akademi Seomu terlihat lebih cerah dari biasanya, dan udara yang mengalir terasa seolah menyambutnya kembali dari dunia lain.
Axia dan Seril menyambutnya di pelataran taman dalam akademi, membawakan jubah hangat dan roti kukus. Aqinfa tertawa melihat wajah ceria mereka, meski matanya masih sedikit sayu.
“Aku merasa seperti bayi phoenix yang baru menetas,” canda Aqinfa, membenahi rambutnya yang masih kusut.
“Kau lebih mirip ayam kecil yang baru jatuh dari pohon,” balas Seril.
Mereka tertawa bersama, namun tawa itu tak berlangsung lama. Weyi muncul dari arah aula utama, wajahnya serius.
“Para tetua memanggilmu, Aqinfa. Mereka ingin mendengar penjelasanmu tentang apa yang kau lihat... di dalam kabut itu.”
Aqinfa mengangguk pelan. Ia sudah menduga ini akan terjadi. Namun hatinya belum siap. Karena kabut itu... bukan hanya menelan tubuhnya, tapi juga membisikkan sesuatu yang tak bisa ia lupakan. Sesuatu yang... terlalu akrab.
Di ruangan tertutup, empat tetua duduk berjejer. Wajah mereka tenang namun penuh tanya. Di tengah ruangan, Aqinfa berdiri tegak, jubah putihnya menjuntai seperti kabut itu sendiri.
“Ceritakan apa yang kau lihat,” ujar salah satu tetua, suaranya dalam dan bergetar oleh rasa penasaran.
Aqinfa menarik napas panjang. Udara terasa berat. Kenangan dari dalam kabut kembali menghantamnya, seperti bisikan lembut yang meresap ke dalam tulang.
“Aku tidak bisa menjelaskan semuanya... tapi ada sosok dalam kabut itu. Ia memanggilku. Mengatakan sesuatu tentang... asal mula kekuatanku.”
Para tetua saling melirik. Wajah mereka menyimpan kecemasan, namun tetap tenang.
“Sosok itu bukan roh biasa. Rasanya... seperti bagian dari diriku sendiri. Ia... tahu hal-hal yang belum kuketahui sendiri.”
Tiba-tiba, suara berdesing tajam menyerang telinganya. Aqinfa terhuyung. Matanya memutih sesaat. Ruangan menghilang dari pandangannya, digantikan oleh kegelapan pekat dan suara yang menggaung jelas di benaknya:
"Engkau tidak dapat mengingkari takdirmu sendiri, Aqinfa."
Suara itu dalam dan bergema, bukan hanya di telinga, tapi di jiwanya. Ia mencengkeram sisi jubahnya, tubuhnya bergetar.
Para tetua berdiri, waspada. Namun sebelum mereka sempat mendekat, pintu terbuka. Ziqi masuk ke ruangan dengan langkah cepat, wajahnya tegas namun sorot matanya cemas.
“Sudah cukup,” ujarnya. Ia berdiri di samping Aqinfa dan menopangnya perlahan.
Tetua utama mengangguk. “Kami tidak akan memaksa. Tapi jika suatu saat kau siap... kami akan mendengarnya.”
Malam harinya, Aqinfa duduk di taman belakang, menatap danau kecil yang memantulkan bulan. Angin membawa aroma lembut bunga-bunga malam. Namun hatinya tetap gelisah.
Ziqi muncul dari balik pepohonan, duduk di sampingnya tanpa bicara.
“Aku pikir... semuanya akan selesai setelah aku sadar,” gumam Aqinfa. “Tapi ternyata, kabut itu membawa sesuatu bersamaku. Sesuatu yang masih belum sepenuhnya kuterima.”
Ziqi menoleh. “Aku tahu. Kau belum sepenuhnya membaik”
Aqinfa menatapnya, mata mereka bertemu. “Apa kau masih akan tetap di sampingku, meski aku belum kembali membaik sepenuhnya?”
Ziqi tidak langsung menjawab. Ia menghela napas, lalu menjawab lirih, “Selama kau masih mau melangkah ke depan... aku tak akan pergi.”
Aqinfa tersenyum. Senyum itu tak sempurna, tapi mengandung harapan. Di kejauhan, bayangan kabut tipis kembali melayang di balik hutan. Ia tahu, belum semua selesai. Tapi setidaknya, ia tak lagi sendiri.
Dan di hatinya... gema suara itu belum benar-benar hilang.