NovelToon NovelToon
Revano

Revano

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Sari Rusida

"Revano! Papa minta kamu menghadap sekarang!"

Sang empu yang dipanggil namanya masih setia melangkahkan kakinya keluar dari gedung megah bak istana dengan santai.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sari Rusida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

28

Angin malam berhembus semilir. Suasana yang lumayan dingin, cocok untuk kaum sendiri masuk ke dalam kamarnya, mengunci pintu, menarik selimut terlelap di alam bawah sadarnya.

Di dua tempat berbeda, tapi masih kota yang sama. Dua gadis itu terlihat menatap ke angkasa, tempat di mana ribuan bintang terlihat di sana. Salah satu dari keduanya menatap kosong, seakan bintang itu tidak ada.

Risya berbaring di rerumputan tepi danau. Danau yang beberapa malam terakhir menemani sunyinya, sendirian. Menatap bintang adalah hobi barunya. Langit terlihat bersahabat beberapa malam ini, tapi sepertinya tidak untuk malam ini.

Beberapa kilometer dari posisi Risya, gadis satu lagi tengah menatap kosong langit di atasnya. Halaman rumahnya luas, terdapat taman kecil yang menjadi tempat bermainnya dengan sahabatnya saat berkunjung. Itu tempat favorit mereka.

Dita memeluk lututnya, mendongak ke atas. Cukup lama ia menatap kosong langit yang cukup mendung itu, tapi masih menampakkan bintang yang lumayan banyak. Namun, sayang. Bintang-bintang itu tidak berarti karena sang empu menatap kosong ke arahnya.

Hari ini menjadi hari terburuk bagi keduanya, masih ditambah dengan kenyataan yang mereka dapat esok harinya. Satu diantara mereka sudah mendapat kabar buruk dari orang tersayangnya, satu lagi akan mendapat kabarnya malam ini, dibawah ribuan bintang yang tidak ditemani bulan.

"Dita, masuk, Sayang. Di luar dingin." Perempuan yang melahirkan Dita itu memegang pundak putrinya.

Dita berhenti memandang langit, beralih memandang rumput yang ia pijak. "Dita mau sendiri, Ma."

Ada yang nyeri di dalam sana. Sosok ibu itu merasakan kesedihan putrinya. Sepulang dari Kalimantan beberapa waktu lalu, wajah putri semata wayangnya ini nampak berseri. Saat ditanya, dia menjawab dengan malu-malu, tapi rona bahagia tercetak jelas di wajah cantiknya. Putrinya telah jatuh cinta.

"Dita ketemu pangeran di sana, Ma," ucap Dita kala itu. Wajahnya masih jelas teringat, berseri bahagia.

"Oh ya? Siapa itu?" Nanda --Mama Dita-- bertanya, wajahnya ikut merasakan bahagia. Saat itu ia belum mengetahui perjodohan yang suaminya rencanakan.

"Sekarang udah jadi pacar Dita, Ma." Wajah putrinya kembali merona. Lampu kamar yang menjadi tempat curhat Dita kala itu sangat menampakkan kesan bahagia Dita yang tidak terkira.

Nanda menyeka ujung matanya. Kebahagiaan putrinya hilang dengan cepat. Kabar perjodohan itu tidak pernah terbayangkan oleh Nanda, apalagi Dita.

"Mama buatkan susu, ya? Ingat, besok ada tamu yang akan datang ke sini. Kamu nggak boleh capek-capek," ucap Nanda sambil mengusap kepala Dita, kemudian beranjak.

Dita yang sedari tadi menunduk langsung mendongak, kembali menatap bintang. Kesedihannya bukan hanya tentang berita perjodohannya itu. Tapi tadi, saat ia bertemu kekasihnya.

Masih terngiang ucapan kekasihnya itu. Dengan wajah datar, tatapan dingin, tentu sangat tidak pernah ia duga.

"Aku mau putus."

Singkat saja untuk memporak-porandakan hati Dita. Tiga kata itu sudah cukup. Hati Dita sudah hancur, berkeping-keping.

Niat awal ingin berbagi kisah, berharap Reno membantunya. Setidaknya dengan memperjuangkan hubungan mereka. Dita salah. Bahkan, sebelum dia berucap, tiga kata itu sudah meluncur lebih dulu.

"Sakit, Reno. Bahkan aku tidak pernah berpikir untuk berucap begitu, meskipun akhirnya kita tidak bisa bersama," Dita bergumam. Setetes bulir bening keluar, diikuti tetesan berikutnya.

Reno. Lelaki yang baru ditemuinya semenjak di Surabaya. Setelah perpisahan keduanya di Kalimantan, mereka baru kembali bertemu saat itu.

Reno datang pada Dita hanya untuk pergi.

***

Revano menginjakkan kakinya di hamparan rumput luas. Tempat yang beberapa malam ini ia kunjungi diam-diam. Demi bisa memantau Risya dari jarak jauh tentunya.

Gadis itu masih seperti malam-malam sebelumnya. Tidur di tepi danau dengan tangan sebagai bantalan. Tatapannya masih sama, ke arah bintang. Senyumnya mengembang tipis, tapi tidak bisa Revano lihat.

Malam ini akan berbeda. Revano tidak lagi memantau Risya diam-diam. Dia akan menemui Risya, setelah cukup lama mereka tidak lagi bersama, berdua.

Malam ini, ada tugas baru yang ia kerjakan. Tugas terakhir dari Bagas, bukan Putra. Tugas yang sepertinya tidak terduga, karena Bagas bela-belain datang ke Surabaya hanya untuk menyampaikan tugas itu. Tidak sampai bertemu Mama atau adiknya, karena Bagas langsung beranjak ke Kalimantan setelah itu.

Sempat terpikir dibenak Revano, sepenting apa tugasnya kali ini? Kenapa Bagas harus datang ke Surabaya hanya untuk menyampaikannya? Kenapa bukan Putra?

Masih terekam jelas ucapan Bagas. Nada yang berbeda dari biasanya, datar, dingin, dan menatap Revano dengan tatapan permusuhan.

"Berhenti jadi bodyguard Risya, dan pergi jauh dari kehidupan kami." Bagas meletakkan amplop berisi uang ke tangan Revano, wajahnya sangar.

Kening Revano berkerut saat itu. Dia bingung. Benarkah ini tugasnya? Pergi dari kehidupan mereka?

"Terimakasih untuk rencana penghancurannya. Perusahaan kami tidak memerlukan pengkhianat seperti anda."

Makin bertambah kebingungan Revano. Anda? Kenapa Bagas bersikap seperti itu? Memanggil Revano dengan sebutan anda?

"Kami memang tidak sepindar anda, sangat jauh dari anda. Tapi percayalah, kami bisa berdiri tanpa bantuan apapun dari anda. Dana investasi yang bertambah besar karena bunga itu akan segera kami lunasi. Tapi, ingat! Kalian tidak akan membuat kami hancur hanya karena dana tersebut harus kembali dengan nominal lebih besar."

"Ada apa, Bang Bagas?" Revano akhirnya buka suara. Panggilannya masih sama, seperti yang Putra minta saat di Kalimantan dulu.

Bagas berdecak sinis. "Berhentilah bersandiwara. Kami sudah mengakui kebodohan kami, tapi bukan berarti kami akan kembali terkecoh dengan sandiwara yang anda lakukan."

Revano bertambah bingung. "Coba katakan dengan jelas, ada apa?"

Brakk!

Map dilempar dengan keras di atas meja. Bagaslah pelakunya. Tanpa berucap Revano mengambilnya.

"Demi menghormati almarhum Kakek Riswan, kami tidak akan mengibarkan bendera perang. Tuan Revano Adi Pratama yang terhormat, anda sudah berhasil mengecoh kami dengan berpura-pura kabur dari keluarga besar anda hingga kami bersimpati dengan anda."

"Tugas anda sebagai bodyguard adik saya sudah selesai. Tugas anda untuk menghancurkan perusahaan kami juga saya anggap sudah selesai. Pergilah menjauh dari kami semua, anggap kita adalah orang asing yang tidak sengaja berjumpa."

Bagas berdiri dari duduknya. Berniat segera pergi. Saat itu, Bagas akan segera kembali ke Kalimantan.

"Aku tidak tahu. Aku tidak ikut andil dalam rencana Papa," ucap Revano membuat langkah Bagas terhenti.

Senyum miring tercetak jelas di wajah Bagas. Dia berbalik, menatap Revano sinis. "Akhirnya anda mengakui sebagai putra dari Tuan Pratama. Penjelasan anda tidak perlu, saya permisi."

"Aku benar-benar tidak ikut andil! Aku dijebak untuk menandatangani surat ini!" ucap Revano dengan nada marah.

"Kalian memang sangat licik." Bagas berdecak sinis, lagi. "Saya beri waktu malam ini untuk berpamitan pada Risya. Besok, saya tidak ingin dengar dari anak buah saya, anda masih memperlihatkan wajah anda di halaman rumah kami."

Bagas kembali berjalan. Tapi, kembali berbalik lagi. "Lebih dari baik jika anda langsung pergi. Adik saya tidak akan meninggal hanya karena kehilangan anda. Ada seseorang yang jelas lebih pantas dan terhormat dari anda."

Bagas benar-benar hilang dari pandangan Revano.

Di danau ini, Revano mengusap wajah kasar. Malam ini mungkin menjadi malam terakhirnya berdua kembali dengan Risya. Ada sesak di dalam sana, menuntut sesuatu.

Dalam diamnya, Revano langsung saja berbaring di sebelah Risya, melakukan apa yang Risya lakukan. Berbaring dengan kedua tangan sebagai bantalan.

"Epan?" Risya yang terkejut reflek langsung duduk, menoleh ke arah Revano.

Revano tersenyum lebar. Lihatlah wajah terkejut Risya, sangat menggemaskan. Revano menarik tangan Risya membuatnya kembali berbaring di sebelah Revano.

"Kamu ngapain ada di sini?" Memang di luar pikiran Risya. Akhir-akhir ini ia lebih disibukkan dengan Dimas. Ia jarang sekali berkomunikasi dengan Revano, walau pun setiap hari bertemu. Ia takut kembali dikhianati oleh hatinya.

"Mau nemenin kamu."

Tanpa diduga lagi. Risya kira, Revano akan terdiam, mengacuhkan pertanyaan Risya yang mungkin terdengar konyol.

"Tumben." Hanya itu tanggapan Risya. Ia kembali berbaring seperti semua, menatap bintang.

Revano tersenyum, melirik Risya.

"Setiap malam kamu ke sini terus, nggak bosen memang?" tanya Revano.

Bukan tanpa alasan Revano bertanya. Risya memang sering datang ke sini, bukan hanya malam tapi juga sore hari. Jika malam menatap bintang di pinggir danau, jika sorenya menatap matahari terbenam di bawah pohon besar, duduk di kursi.

Revano selalu mengawasi pergerakan Risya, walaupun Risya sedang bersama Dimas. Apalagi sedang sendiri, Revano pasti sangat tahu.

"Di sini bagus." Berbeda dari biasanya, Risya menjawab pendek.

Revano manggut-manggut, masih tersenyum.

"Kamu tahu kenapa langitnya malam ini setengah mendung, setengah lagi cerah, bahkan dipenuhi bintang?" Revano bertanya, menghalau kesunyian agar tidak lama.

Risya menggeleng, menoleh pada Revano.

Revano tersenyum, menjelaskan pada Risya, "Sebelah sana yang mendung, ibaratkan langitnya sedang sedih." Revano menunjuk bagian langit yang terlihat mendung.

"Sebelah sini yang cerah, dipenuhi bintang, ibaratkan langit sedang bahagia." Tangan satunya lagi menunjuk hamparan bintang di hadapan mereka. Kepala Revano sekarang tanpa alas.

Risya manggut-manggut.

"Pertama-tama, kamu merasa langitnya hebat nggak?" tanya Revano, memancing Risya bersuara.

Risya menggeleng. "Apanya yang hebat?"

Revano kembali tersenyum, lebih lebar. "Langit hebat banget menurut aku. Tahu kenapa?"

Risya kembali menggeleng, tidak bersuara.

"Karena dia bisa sedih dan senang di waktu bersamaan. Pertanyaan yang di awal tadi diganti, kenapa langit bisa senang dan sedih di waktu bersamaan?" tanya Revano.

Risya kembali menggeleng. "Mungkin karena langitnya hebat."

Revano mengangguk. "Bener banget. Langitnya hebat bisa sedih dan senang di waktu bersamaan. Kenapa begitu?"

Risya menggeleng, tidak tahu.

"Karena langitnya pandai mengendalikan perasaan. Antara perasaan senang, sedih, langitnya pinter banget sembunyiinnya. Tujuan langit berbintang itu, agar dia terlihat bahagia di atas kesedihannya," ucap Revano.

Risya menggeleng, tidak mengerti.

Revano terkekeh, Risya yang melihatnya sedikit terkesiap. Revano tampan sekali saat tertawa renyah seperti itu.

"Kita ibaratkan perasaan manusia. Perasaan kamu misalnya. Kamu lagi sedih nih, kan. Tapi, karena nggak mau lihat orang lain khawatir, kamu pasti terus terlihat ceria. Buat apa? Buat sembunyikan kesedihan kamu tentunya."

Risya mengangguk, dia memang sedang seperti itu. Tapi menyembunyikannya bukan dengan terlihat ceria, tapi terlihat tidak sedih, tidak juga ceria. Bagaimana mendefinisikannya ya?

"Mungkin langit juga seperti itu. Malam ini ada kesedihan yang disembunyikan langit. Tapi langit tetap memberikan keceriaannya dengan masih memperlihatkan bintang-bintang di angkasa."

Revano tersenyum kecut. Bukan hanya langit yang menyembunyikan kesedihan, sejujurnya ia juga. Tapi kembali di sebelum-sebelumnya, Revano tidak mau mendefinisikan rasa itu.

"Kamu harus seperti itu, Sya."

Risya menoleh. Panggilan itu kembali terdengar dari bibir Revano. Jantung Risya berdetak lebih cepat, hawa panas tiba-tiba menelungsup di tubuhnya. Perutnya seperti dihinggapi ribuan kupu-kupu.

"Kamu harus bahagia meskipun aku tidak bisa lagi memastikannya. Beberapa hari terakhir, aku melihat senyum kamu kembali mengembang. Bukan aku alasan senyum itu terbit, tapi Dimas. Aku senang liatnya," ucap Revano.

Risya menggigit bibir bawahnya. 'Itu palsu, Pan. Bagiku senyumku yang kamu lihat itu tidak lebih dari fatamorgana. Senyum itu ada, tapi sebenarnya tidak ada.'

"Sya, langit yang cerah bisa saja menurunkan hujan yang deras. Jika itu terjadi, berarti langit terlalu lama menampung kesedihannya. Langit ada masanya untuk menangis dan menjerit."

Revano menghela nafas. Memilih duduk, dan menekuk lutut. Risya mengikuti, melakukan hal yang sama.

Revano menghadap Risya. "Selama satu bulan terkahir aku sudah mengenalimu, Sya. Selama itu, kamu terlihat tidak pernah menyimpan dendam, kesedihan."

Mata Risya terasa memanas.

"Sya, jika ada sesuatu yang kamu rasakan seperti sedih, marah, kamu luapkan. Jangan diam saja, Sya. Kesedihan itu bisa menganak sungai, dan berakhir dengan pelampiasan. Sebelum terlalu besar, kamu harus segera meluapkannya," ucap Revano dengan mata berkaca.

"Mungkin aku tidak bisa melihatmu meluapkannya, Sya."

Isakan Risya mulai terdengar, sangat kecil karena Risya berusaha menahannya.

"Aku tidak bisa seperti ini lagi, Sya. Aku harus pergi."

Seketika itu Risya mendongak. "Maksud kamu apa?"

Revano menoleh pada Risya. Mata keduanya berkaca.

"Ini malam terakhir kita seperti ini ...."

"Kenapa? Papa ngasih tugas kamu yang lain?" Risya bertanya dengan cepat. Tidak. Ia tidak bisa ditinggal Revano. Ia lebih milih menerima Dimas, asalkan Revano tetap berada di sekitarnya.

Revano menggeleng. "Aku sudah bukan bodyguard kamu. Besok aku harus pergi. Kamu benar, orangtuaku sudah datang. Aku diminta pulang dan ..." Revano mencoba beralibi.

Tangis Risya terdengar. "Kenapa harus berhenti?" Risya tahu lanjutan ucapan Revano yang sengaja digantung.

Nyeri sekali rasanya Revano melihat Risya terisak di sebelahnya. Ingin sekali ia merengkuh tubuh yang bergetar itu. Tapi ia sadar, ia siapa?

"Ada ... ada hati yang harus aku jaga, Sya." Revano melengos, membuang muka. Untuk pertama kalinya, air matanya keluar, menangisi perempuan.

Risya berdiri dari duduknya, lari dari hadapan Revano. Tidak bisa, tidak boleh. Revano tidak boleh pergi.

Malam ini. Revano datang pada Risya untuk pergi, di bawah ribuan bintang yang tidak ditemani bulan.

•••••

Bersambung

Like komen biar aku semangat

1
Roxanne MA
keren thor aku suka
Roxanne MA
lucu banget jadi cemburuan gini
Roxanne MA
bagus banget ceritanya ka
Nami/Namiko
Emosinya terasa begitu dalam dan nyata. 😢❤️
Gohan
Bikin baper, deh!
Pacar_piliks
iihh suka sama narasi yang diselipin humor kayak gini
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!