Sebagai seorang putra mahkota Kekaisaran Tang, sudah selayaknya Tang Xie Fu meneruskan estafet kepemimpinan dari ibunya, Ratu Tang Xie Juan.
Namun takdir tidak berpihak kepadanya. Pada hari ulang tahun dan penobatannya sebagai seorang kaisar, terjadi kudeta yang dipimpin oleh seorang jenderal istana. Keluarga besarnya tewas, ibunya dieksekusi mati, dan kultivasinya dihancurkan.
Dengan cara apa Tang Xie Fu membalaskan dendamnya?
Ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muzu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anggrek Kristal
“Ha-ha!” Spontan saja Xie Fu tertawa. “Untuk apa aku bersusah payah membawanya ke sini jika aku harus membunuhnya?”
“Apa kau menyukainya?” Tabib Chu menatapnya lebih tajam. Pertanyaan yang dilontarkannya terasa begitu menohok ke relung jiwa sang pemuda.
Seketika ruangan terasa lebih dingin. Xie Fu pejamkan kedua matanya lalu menggeleng perlahan. Kemudian seulas senyum terukir dari wajahnya begitu kedua matanya kembali terbuka.
“Bukan hal penting untuk dibicarakan,” tuturnya acuh tak acuh.
Tatapan tajam Tabib Chu berubah menjadi tatapan datar, tetapi raut wajahnya masih tidak berubah, dingin dan penuh misteri.
“Kalau kau tidak ingin membunuhnya, kau harus memusnahkan kultivasinya.” Kembali Tabib Chu menyinggungnya.
Xie Fu mulai menaruh curiga mendengar kalimat yang mengandung desakan secara halus. Pikirannya membuka tirai kejanggalan yang sebelumnya ia abaikan. Sosok pria paruh baya yang duduk berseberangan dengan dirinya itu terasa begitu misterius. Pertemuan dengan dirinya pun bisa jadi sudah direncanakan oleh sang tabib.
“Apa tujuanmu sebenarnya, Tabib Chu? Dan siapa kau sebenarnya? Caramu menatapku menunjukkan dirimu orang yang sangat mengenali diriku.” Xie Fu membuka suara dan langsung menudingnya.
“Aku kagum padamu, Yang Mulia,” puji Tabib Chu yang kemudian berdiri dan mendekatinya. Sikapnya berubah cepat. Tidak ada lagi kesan misterius dari pembawaannya yang dingin. Kini ia tampak begitu bersahabat.
Xie Fu ikut berdiri dan keduanya saling berhadapan dalam jarak setengah zhang. Lalu, tiba-tiba saja Tabib Chu berlutut di hadapan Xie Fu seraya mengepalkan kedua tangan. Tentu saja hal itu membuat Xie Fu menatap heran padanya.
“Mohon Yang Mulia menjatuhkan hukuman mati kepada hamba yang telah melarikan diri dari istana setelah kejatuhan Dinasti Tang!” ujarnya memohon.
Tersentak Xie Fu dibuatnya. Ia berusaha mengingat-ingat siapa sebenarnya Tabib Chu ini? Sebagai seorang pangeran, tentunya Xie Fu banyak mengenali wajah para pejabat istana, tetapi pria ini …? Ia sama sekali tidak mengenalnya. Kemungkinan lainnya, Tabib Chu ini merupakan salah seorang pejabat pribadi ibunya yang memang jarang terlihat di aula istana.
“Maaf membuat Yang Mulia kesulitan mengingat diri hamba yang hina ini. Hamba sebenarnya Chu Longwei, tabib pribadi Yang Mulia Ratu,” ujar Tabib Chu mengungkapkan jati dirinya.
Terasa masuk akal, tetapi Xie Fu masih belum yakin. Ia yang paling dekat dengan ibunya tentu mengenali orang-orang yang selalu ada di samping ibunya selain dirinya.
“Chu Longwei yang kukenal sudah berusia tua. Bagaimana kau bisa terlihat begitu muda dan … wajahmu sangat berbeda?”
Sebelum Tabib Chu menjawabnya, Xie Fu terlebih dulu memintanya untuk berdiri.
“Terima kasih, Yang Mulia, tetapi maaf, hamba tidak bisa mengatakannya. Namun, alasan di balik perubahan wajah yang hamba lakukan, tidak lain untuk terbebas dari hukuman mati.”
“Itu artinya tidak hanya keluarga besarku saja yang dihukum mati?” Xie Fu menatapnya serius.
“Betul, Yang Mulia. Semua pejabat yang menolak tunduk pada Jenderal Li langsung dihukum mati. Bahkan, para pelayan istana yang setia kepada Kekaisaran Tang pun turut dihukum.”
Sejenak Xie Fu mengalihkan pandangan ke arah Ji Ruyan yang terbaring. Seketika itu ia teringat akan maksud dari Tabib Chu yang mengharapkan kematian atas diri sang gadis. Setelah mengembuskan napas, Xie Fu kembali berbicara untuk meminta penjelasan. “Apakah Tabib Chu memiliki masalah dengan temanku ini?”
“Hamba tidak memiliki masalah dengannya. Hamba hanya berusaha melindungi Yang Mulia dari gadis itu,” jelas Tabib Chu.
“Begitukah? Tapi aku tidak merasa terancam olehnya.”
“Yang Mulia harus tahu, tubuh api gadis ini menjadi incaran para iblis dan para kultivator jalur sesat. Bersamanya akan membuat Yang Mulia ikut terseret dalam masalah.”
“Apa Tabib Chu meremehkanku?”
“Maaf, Yang Mulia. Hamba tidak bermaksud meremehkan Yang Mulia.”
“Ha-ha! Aku tahu kau melakukannya semata-mata karena kepedulianmu padaku. Untuk itu aku berterima kasih padamu, Tabib Chu. Tetapi aku tidak akan pernah membunuhnya hanya karena alasan itu.”
Tercekat hati Tabib Chu hingga membuat wajahnya tertunduk malu.
Keheningan menyelinap di antara kedua pria yang sama-sama membisu, tetapi tidak demikian dengan isi kepala keduanya yang justru menjadi ramai. Hingga suara sang pangeran kembali mengambil alih keadaan terbalik itu. “Apa Tabib Chu memiliki saran selain membunuhnya ataupun menghilangkan kultivasinya?”
Perlahan wajah Tabib Chu terangkat bersama dengan kerutan yang terbentuk di keningnya yang memang sudah memiliki kerutan halus. Tak lama kemudian, ia pun berkata, “Memang ada cara lainnya, tetapi itu sama saja dengan upaya bunuh diri.”
“Katakan saja, Tabib Chu!” Tidak ada ketakutan yang tergambar dari mimik wajah sang pangeran. Hal itu membuat Tabib Chu merasa percaya diri untuk mengatakannya.
“Gadis itu harus menyerap esensi dari anggrek kristal,” sahutnya dengan nada tegas.
“Di mana aku bisa mendapatkan bunga itu?”
“Itu bukan sejenis bunga, melainkan mahkota jiwa naga hitam,” kata sang tabib, “dan itu berada di Gunung Kelopak Darah.”
“Aku akan ke sana sekarang,” kata Xie Fu dengan semangat yang menggebu.
“Sampai sekarang tidak ada yang berhasil mendapatkannya. Kekuatan naga hitam itu berada di luar jangkauan para kultivator. Hamba harap Yang Mulia tidak memaksakan diri untuk mendapatkannya,” ujar Tabib Chu mengingatkan.
Xie Fu mengangguk paham dan beberapa pesan lainnya disampaikan pula oleh sang tabib sebagai bekal perjalanannya.
Setelah semua hal telah dipersiapkan, Xie Fu berpamitan kepada sang tabib, “Tabib Chu, aku titip Ji Ruyan padamu.”
***
Langit masih diselimuti malam ketika Xie Fu meninggalkan Kota Kuno. Ia melangkah diiringi desir angin yang melenguh seperti lolongan arwah ke arah utara dari wilayah Kekaisaran Fei. Sebelumnya Tabib Chu telah mengingatkannya, jalan menuju Gunung Kelopak Darah bukanlah perjalanan yang mudah. Perjalanan itu merupakan ujian jiwa bagi siapa pun yang bertujuan untuk mendapatkan anggrek kristal. Tidak sedikit para kultivator yang menjadi gila setelah gagal mendapatkannya. Bahkan, itu hanya sebagian kecil dari mereka yang berhasil selamat dari kematian.
Meskipun demikian, hal itu tidak membuat Xie Fu mengurungkan niatnya untuk mendapatkan anggrek kristal. Semangat yang menggebu di jiwanya pun tidak surut dan justru menambah keyakinan yang tidak dapat dibendung oleh ancaman apa pun.
Xie Fu terus melangkah cepat di pekatnya langit malam tanpa hambatan berarti. Itu dikarenakan oleh pupil matanya yang berubah dalam kegelapan. Begitu memasuki wilayah Gunung Kelopak Darah, tiba-tiba saja simbol di kening Xie Fu bercahaya. Kepekaan tubuhnya terhadap ancaman mulai bereaksi. Ia merasakan keberadaan makhluk-makhluk penjaga naga sedang mengintainya di balik kegelapan.
Sampai di sebuah lembah yang sunyi di bawah kaki Gunung Kelopak Darah, makhluk-makhluk penjaga naga itu mulai mendekatinya. Seketika Xie Fu menghentikan langkah dan mewaspadai setiap gerakan yang dirasakannya.
Ting, ting, ting!
Terdengar suara denting dari puncak gunung. Xie Fu mengerutkan kening mengingat suara itu merupakan denting perusak jiwa. Konon, jika seorang kultivator tidak memiliki kekuatan jiwa, maka suara itu akan membuatnya menjadi gila selama satu purnama sebelum tubuhnya meledak.
Tidak ada yang terjadi dengan Xie Fu sampai suara denting di puncak gunung itu menghilang. Namun, makhluk-makhluk yang bersembunyi di kegelapan malam terasa semakin mendekatinya. Agak mengherankan dengan kondisinya itu mengingat yang dikatakan oleh Tabib Chu bahwa makhluk-makhluk penjaga naga itu tidak mengintai lebih dari dua tarikan napas sebelum melancarkan serangan brutal terhadap siapa pun yang memasuki wilayah gunung. Sementara yang dialami Xie Fu tidak demikian. Mungkinkah para penjaga naga itu yang sebenarnya mewaspadai Xie Fu?
jawab gitu si Fan ini tambah ngamuk/Facepalm/