NovelToon NovelToon
THE VEIL OF AEDHIRA

THE VEIL OF AEDHIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:360
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah fahra

Di dunia Aedhira yang terpisah oleh kabut kegelapan, seorang gadis muda bernama Lyra menemukan takdirnya terjalin dengan rahasia kuno darah kabut, sihir yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Ketika kekuatan gelap yang dikenal sebagai Raja Kelam mulai bangkit kembali, Lyra bergabung dengan Kaelen, seorang ksatria pemberani yang terikat pada takdirnya, untuk mencegah kehancuran dunia mereka.

Namun, semakin dalam mereka menggali sejarah dan rahasia darah kabut, semakin mereka menyadari bahwa takdir mereka lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Terperangkap dalam permainan takdir yang tidak mereka pilih, Lyra harus menghadapi pilihan tak terhindarkan: menyelamatkan Kaelen dan dunia, atau mengorbankan keduanya demi sebuah masa depan baru yang tak diketahui.

Dalam pertempuran akhir yang melibatkan pengkhianatan, pengorbanan, dan cinta yang tak terbalas, Lyra menemukan bahwa tidak ada pahlawan tanpa luka, dan setiap kemenangan datang dengan harga yang sangat mahal. Ketika dunia

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah fahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 29

Udara di puncak Aetherial Spire berbeda dari yang pernah mereka hirup. Rasanya seperti menyedot keheningan yang berat. Setiap helaan napas seakan mengisi paru-paru dengan gema masa lalu, dan setiap langkah terasa menggema ke dalam dimensi yang belum mereka pahami.

"Tempat ini... kayak realita dan mimpi campur jadi jus satu blender," gumam Arven sambil merapatkan jaket kulitnya. Padahal nggak dingin, tapi entah kenapa dia ngerasa perlu perlindungan ekstra. Mungkin karena awan yang melayang horizontal dan fakta bahwa tanah di bawah kaki mereka kayak kaca cair.

Di depan mereka berdiri sebuah gerbang raksasa, berbentuk spiral tak berujung yang berputar perlahan—tapi anehnya nggak mengeluarkan suara sedikit pun. Di tengah spiral itu, tergantung sebuah benda berkilau: Tirai Aedhira.

Lyra menatap benda itu, jantungnya berdebar dengan ritme yang tak biasa. Tirai itu... bukan kain. Itu adalah kumpulan cahaya padat, seperti pecahan realitas yang belum diberi bentuk. Ia bisa merasakan denyutnya—seolah memanggil sesuatu dalam dirinya.

Kaelen mendekat pelan. "Begitu kita menyentuh tirai itu... semua akan berubah."

"Termasuk kita sendiri," sahut Lyra pelan.

Arven mengangkat tangan. "Pertanyaan penting sebelum semua berubah: ada kemungkinan kecil kita... hancur meledak jadi debu astral gitu nggak, ya?"

Kaelen mengangkat satu alis. "Kemungkinannya bukan kecil. Tapi mungkin... menengah."

"Great," Arven menghela napas. "Udah kuduga kita semua bakal tamat kayak trio protagonis di akhir season fantasy yang terlalu idealis."

Lyra menengadah, matanya menatap cahaya itu. Ia bisa merasakan sesuatu mulai bergerak dalam dirinya—sebuah nyanyian. Tapi bukan dalam bahasa yang ia pahami... melainkan bahasa darahnya sendiri. Bahasa warisan.

Tepat ketika ia mengangkat tangannya, sesuatu bergetar di udara. Sebuah suara berat, seperti lonceng kuno yang berdentang tanpa sumber.

Dan dari bayangan pilar spiral itu, muncullah sosok tinggi berbalut jubah hitam keunguan. Matanya kosong. Tangannya menggenggam sebuah tongkat... dan dari ujungnya, melayang simbol yang sangat familiar bagi Lyra.

"Kau... bukan mungkin," bisik Lyra. "Kau adalah..."

"Aku adalah pecahan ayahmu," jawab suara itu. "Bagian yang ia buang saat memilih untuk melindungimu

Langit Aedhira memucat. Awan-awan berarak dengan aneh, seperti enggan memisahkan diri dari puncak kastil hitam di kejauhan. Di bawahnya, Lyra berdiri di ambang ruangan besar yang dingin, napasnya menggumpal seperti asap. Tapi bukan udara dingin yang membuat tubuhnya gemetar.

Itu adalah suara.

Dan itu adalah dia.

"Kaelen?"

Suara itu terdengar seperti dari dunia lain—pelan, terluka, tapi jelas. Lyra berbalik dengan pelan. Rambutnya yang kusut terhempas angin dari lorong panjang. Di sana, berdiri Kaelen—atau seseorang yang tampak seperti dia.

Tapi mata Kaelen bukan lagi mata Kaelen.

Itu lebih mirip... kaca yang retak. Hitam di tengah, menyebar seperti jaring-jaring tipis.

"Kaelen?" Lyra mengulang, lebih pelan kali ini. "Itu kamu, kan?"

"Aku tidak tahu," jawabnya pelan. "Aku pikir aku... tapi sekarang aku tidak yakin."

Lyra maju satu langkah. Kaelen tidak bergerak. Lalu dua langkah. Dan pada langkah ketiga—

"JANGAN!"

Sebuah bayangan melesat dari lantai, seperti taring hitam, dan menghantam tanah tepat di depan kakinya. Lyra melompat mundur, hampir tergelincir.

"Apa itu?!"

Kaelen menunduk, napasnya berat. "Dia mencoba keluar. Dia sudah terlalu lama di sini. Dan dia... dia suka aku."

Lyra ingin ketawa sarkas, tapi otaknya menolak. "Apa maksudmu dia? Siapa dia?"

Kaelen tersenyum miring. “Yang kau lihat di dalam cermin. Yang selama ini bicara ke Arven. Yang pernah coba menggoda Lyra di dalam mimpi.”

“Oke, wow. Itu disturbing.”

“Aku tahu.”

Tiba-tiba suara lain datang dari belakang mereka. Langkah cepat, napas ngos-ngosan. Arven.

“Kalian... HAH... nggak bisa tinggal di sini! Kita harus keluar, sekarang! Vyrra—dia—dia membuka celah dari Dunia Dalam. Semuanya makin kacau!”

Kaelen mendongak, perlahan. “Kacau? Belum, Arven. Tapi akan.”

 

Sementara itu... di sisi lain kastil...

Vyrra berjalan pelan, sepatu botnya berderak di lantai marmer. Di belakangnya, tiga bayangan mengikuti, bentuknya setengah manusia, setengah asap. Mereka berbisik—atau mungkin mengomel. Sulit dibedakan.

“Sudah waktunya,” gumam Vyrra. Tangannya mengangkat sebuah bola kristal yang memantulkan wajah Lyra. “Darah terakhir. Jiwa terakhir. Kunci terbuka.”

Kristal itu berdenyut sekali. Dua kali. Lalu retak.

Dan di saat yang sama, di tempat Lyra dan Kaelen berdiri, tanah bergetar pelan. Seperti perut kastilnya sedang... mual?

“Uh... Guys,” kata Arven, memutar badan, siap lari. “Itu bukan getaran biasa. Itu—”

DUG DUG DUG DUG DUG!

Langit-langit pecah. Batu-batu berjatuhan seperti hujan meteor mini. Bayangan membumbung naik dari lantai, menggeliat seperti asap neraka, dan satu sosok perlahan muncul dari pusaran tengah: tinggi, ramping, mengenakan jubah ungu gelap, wajahnya tertutup topeng retak setengah.

“Dengar-dengar,” katanya, suaranya berat dan bergema, “kalian ingin menyelamatkan dunia. Lucu.”

Lyra merasa lututnya lemas. Arven menggenggam tongkatnya lebih erat. Kaelen? Kaelen justru menunduk... lalu ketawa pelan.

Lyra melirik tajam. "Kaelen?"

“Maaf,” katanya, masih dengan nada gila itu. “Aku cuma baru sadar... kita ini kayak tim superhero, tapi nggak ada yang tahu caranya jadi superhero.”

Arven mengangkat alis. “Bahkan bajunya juga nggak matching.”

“Mau fokus gak nih?” seru Lyra, panik.

"Jadi... siapa dia?" tanya Lyra, setengah berbisik, setengah meringis karena baru aja ditimpuk kerikil dari langit-langit kastil yang keropos kayak relasi toxic.

Sosok bertopeng itu mengangkat dagunya. Topeng setengah pecah itu memantulkan cahaya ungu yang memuakkan, kayak efek filter Instagram yang overkill. "Aku? Aku cuma... bagian dari kalian. Bagian yang kalian buang."

“Great,” gumam Arven. “Ternyata kita punya alter ego jahat. Udah kayak sinetron jam sepuluh malam.”

Kaelen melangkah maju. Sorot matanya mulai kembali—meski masih ada sedikit bayangan hitam yang menari di irisnya. Tapi dia Kaelen lagi. Atau paling nggak... setengah Kaelen.

"Aku kenal suara itu," katanya. "Dulu dia bicara padaku, waktu pertama kali aku masuk ke dunia cermin. Dia... menjanjikan kekuatan. Tapi juga memperlihatkan semua keburukanku.”

Lyra menelan ludah. “Terus lo pikir itu ide bagus buat percaya dia?”

Kaelen menjawab dengan senyuman getir. “Gue pikir... ya, dulu iya. Tapi sekarang... ya enggak lah. Gue sadar, orang-orang yang berdiri sama gue jauh lebih kuat dari suara-suara sialan itu.”

Arven terbatuk kecil. “Wow. Sentimen yang sangat mengharukan. Tapi bisa kita skip bagian motivasi anime-nya? Itu makhluk masih melayang, dan kayaknya dia pengen ngebakar kita hidup-hidup.”

Sosok bertopeng itu mulai melayang turun. Suaranya menggema, sekarang lebih berat. “Kalian pikir bisa menahan kehancuran? Dunia ini sudah retak sejak pertama Lyra membuka gerbangnya. Kalian hanya mempercepat akhir.”

Lyra maju satu langkah. Tangannya mengepal. “Mungkin dunia ini retak, tapi kita yang bakal nyusun ulang pecahannya.”

Arven mencolek lengan Lyra. “Eh, lo tadi nyontek kalimat itu dari mana? Kedengeran keren banget.”

“Nyomot dari buku mantra Anjani,” bisiknya. “Lumayan buat ngangkat moral tim.”

 

Sementara itu, di ruang dalam cermin...

Viona dan Elaren, yang nyangkut di dimensi pantulan, berusaha menemukan jalan keluar. Tapi entah kenapa, semua lorong sekarang berubah jadi labirin kaca. Satu langkah ke depan, pantulan mereka memantul tiga kali. Dan yang bikin makin creepy?

Salah satu pantulan Viona tersenyum... sendiri.

"OKE! Itu bukan aku!" teriak Viona sambil mundur nabrak Elaren.

Elaren langsung sigap, mengangkat belatinya. “Jangan percaya apa pun di sini. Bahkan bayangan sendiri bisa bohong.”

Viona mengangguk. “Kalau gitu, mulai sekarang kita jangan ngomong sama diri sendiri.”

“Kita juga jangan ngaca.”

“Lo sadar gak betapa susahnya itu buat gue?”

"Viona... fokus."

 

Kembali ke puncak kastil...

Pertarungan meletus.

Bayangan hitam menjulur dari tanah, menggeliat seperti tentakel neraka. Arven melemparkan mantra beruntun, lidah apinya menyambar dengan gaya ala DJ nge-bass di festival. Lyra mengangkat tangannya, memanggil cahaya dari cermin Aedhira—cahaya yang semakin bergetar, seperti tahu waktunya sudah hampir habis.

Kaelen... berdiri diam.

Lalu perlahan, dia berjalan ke tengah pusaran.

“Lo ngapain?!” Lyra berteriak.

Kaelen menoleh, tersenyum kecil. “Dia bagian dari gue. Kalau kita mau ngakhirin semua ini... gue harus terima bagian itu. Tapi kali ini, bukan buat ditelan... tapi buat dipeluk.”

Arven berseru, “Oke, filosofi banget nih. Tapi lo yakin? Kadang ‘pelukan’ juga bisa jadi jebakan!”

Terlambat.

Kaelen sudah menjulurkan tangannya ke arah sosok bertopeng itu. Dan sekejap—seluruh ruangan meledak cahaya putih.

PLOK!

Bukan. Bukan suara tamparan sinetron. Itu suara ledakan kecil ketika Kaelen menyentuh sosok bertopeng itu. Tapi bukannya berantakan kayak bom molotov, cahaya putih malah menyelimuti mereka berdua, kayak kepompong cahaya raksasa.

Lyra terpaksa mundur, menutup wajahnya karena silau. Arven ngumpet di balik puing-puing sambil ngedumel, "Udah kayak lampu sorot konser. Kurang confetti aja nih."

Dalam cahaya itu, Kaelen berdiri... tapi bukan sendirian.

Ada dirinya—versi lain. Lebih gelap. Lebih dingin. Matanya redup, seperti orang yang udah nyerah lama banget. Suara dari dalam kepompong bergema:

“Kenapa kau ingin memelukku? Aku bagian dari semua yang ingin kau buang.”

Kaelen menghela napas. “Justru karena itu. Gue udah terlalu lama berpura-pura nggak punya sisi gelap. Nyalahin orang lain, lari dari tanggung jawab, sok kuat. Tapi nyatanya, lo bagian dari gue. Dan selama gue terus nolak lo, gue juga nolak... diri sendiri.”

Sosok gelap itu menggertakkan gigi. “Jadi lo mau memaafkan semua kesalahan lo begitu aja?”

Kaelen menunduk. “Gak ada yang ‘begitu aja’. Tapi kalau gue nggak mulai dari maafin diri sendiri... gue bakal terus jadi tawanan lo.”

 

Sementara di luar kepompong...

Lyra terengah, melihat sekeliling. Pusaran energi hitam mulai lenyap. Tapi dari celah langit-langit kastil yang retak, sesuatu mulai mengintip. Awan merah tua, pusaran bayangan...

“Uh-oh,” kata Arven. “Kayaknya dunia Aedhira lagi uninstall sendiri.”

“Lo bisa bantu stabilin portalnya?” tanya Lyra panik.

Arven membuka gulungan mantra. “Bisa... kalau gue punya tiga biji kristal sihir, satu bulu phoenix, dan waktu dua jam buat meditas—”

“GAK ADA WAKTU!” teriak Lyra sambil nyerobot kristal dari kantung bajunya.

Arven mengerjap. “Oke, oke! Gak usah galak. Gue mulai ngira lo anaknya Kaelen, bukan Anjani.”

 

Kembali ke dalam kepompong...

Kaelen mengulurkan tangannya lagi.

“Kalau lo gak bisa jalan bareng gue... minimal izinin gue jalan ke depan tanpa terus ditarik mundur.”

Sosok gelap itu menatapnya. Mata kelamnya perlahan berubah. Nggak jadi terang, tapi juga nggak sehitam tadi. Kayak langit mendung habis hujan—masih berat, tapi nggak separah tadi.

Dan akhirnya... dia menghilang.

Kaelen jatuh berlutut. Kepompong cahaya meledak—bukan dalam arti ‘meledak’ ledakan Michael Bay, tapi seperti poof! disertai angin semilir, kayak uap teh yang hilang dari cangkir.

 

Semua menjadi hening.

Lyra berlari. “Kaelen!”

Kaelen menoleh. Matanya kembali biru. Nafasnya berat, tapi kali ini tenang. “Dia udah pergi.”

Arven mendekat. “Yang lo peluk itu... beneran diri lo sendiri?”

“Yup.”

Lyra mencibir. “Kedengeran keren, tapi agak creepy juga sih kalau dipikir-pikir.”

Kaelen tersenyum kecil. “Gue rasa... gue baru mulai ngerti siapa gue.”

Dan saat itulah—lantai kastil mulai retak. Kayak lelucon hidup, semesta nggak ngasih waktu buat refleksi diri lebih lama.

“TEMEN-TEMEN, DUNIA LAGI MAU MELEDAK NIH!” teriak Arven sambil lari zig-zag.

Lyra menarik Kaelen. “Ayo! Kita harus keluar sebelum ini semua berubah jadi lubang neraka!”

 

Sementara itu, di lorong dimensi cermin...

Viona dan Elaren akhirnya menemukan jalan keluar.

Dengan bantuan pantulan versi masa lalu Viona yang—anehnya—memberi mereka petunjuk. “Percaya pada pecahan, bukan keseluruhan,” kata pantulan itu. “Semua retak punya celah buat cahaya.”

Viona mengangguk. “Kalau gitu... ayo pecahkan semuanya.”

Dengan tongkatnya, dia menghantam dinding kaca. Pecahan berhamburan... dan portal menuju puncak kastil muncul di tengah-tengah.

Elaren berseru. “Kita pulang.”

Duarrr!

Oke, bukan petasan tahun baru. Tapi langit di atas puncak Kastil Arvanyan bener-bener meledak kayak kembang api merah darah. Retakan dimensi membuka celah, dan dari balik itu, muncul sesuatu yang bikin Lyra ngumpet di balik Kaelen secara refleks.

“OKE, ITU APA?” tanya Arven sambil nyoba tetap cool padahal lututnya udah mau copot.

Dari celah itu muncul makhluk tinggi, kurus, dengan mata seperti bara api dan tubuh kayak kabut yang hidup. Itu bukan hanya bayangan—itu Retakar, manifestasi kehancuran dunia Aedhira yang selama ini mereka cari cara untuk cegah.

Dan yah, dia jelas nggak datang buat ngopi-ngopi santai.

“Waktu sudah habis,” suara Retakar seperti seribu paku karatan yang digesek di papan tulis.

Kaelen maju. “Lu mau ngancurin dunia ini, tapi bahkan lo sendiri nggak tau kenapa, kan?”

Retakar terdiam. Lalu... tertawa.

“Semua dunia berakhir, bocah. Gue cuma... mempercepat proses.”

 

Sementara itu...

Portal kaca di pojok ruangan pecah, dan dari sana keluar Viona dan Elaren—basah kuyup, bau asap, tapi hidup.

“WOI!” teriak Viona. “Kami balik! Ada yang kangen?”

Arven mengangkat tangan. “Gue udah siap bikin lagu reuni, tapi mungkin setelah kita nggak dikelilingi kehancuran?”

Kaelen menoleh. “Viona, kamu bisa nahan portalnya tetap terbuka?”

Viona angguk. “Dengan bantuan Elaren, bisa. Tapi cuma beberapa menit.”

“Cukup,” kata Kaelen. “Kita harus ngeluarin semua orang dari Aedhira.”

Lyra menggeleng. “Tunggu—terus kamu?”

Kaelen menatap langit. “Gue tinggalin bagian kelam gue di sini. Gue gak bisa ninggalin dunia ini hancur tanpa lawan. Seseorang harus... nutup celah itu dari dalam.”

Lyra mencengkeram tangan Kaelen. “Gak ada drama pengorbanan solo lagi. Kita bareng-bareng dari awal, kita selesaiin ini bareng.”

Viona tersenyum. “Dia bener. Kita bukan anak-anak lagi. Kita... ya, emang masih suka berantem, tapi kita kuat bareng.”

Elaren menambahkan, “Dan gue udah terlalu tua buat ngubur satu lagi pahlawan.”

Arven bersandar ke tongkatnya. “Kita bawa snack?”

“Fokus, Arven,” kata semua orang serempak.

 

Lalu—mereka maju.

Kaelen membuka pedangnya, kali ini berkilau putih keemasan.

Lyra memanggil sihirnya, udara di sekeliling bergetar.

Viona menyiapkan mantra pengikat dimensi.

Arven? Yah, dia siapin granat sihir... dan satu-dua lelucon buat jaga mental tim.

Retakar mengangkat tangannya. Dari langit, hujan bayangan turun, menusuk tanah dan membuat seluruh tempat retak seperti kaca pecah.

Dan di tengah semua itu, satu suara terdengar.

“Untuk Aedhira,” bisik Kaelen.

“Untuk rumah kita,” tambah Lyra.

“Untuk semua pilihan yang pernah salah,” kata Viona.

“Dan buat mie instan yang kita korbankan dalam latihan,” tambah Arven sambil ngelirik Elaren yang justru mengangguk penuh hormat.

Mereka menyerbu.

Cahaya dan kegelapan bertabrakan. Dimensi berguncang. Dan untuk pertama kalinya—Retakar mundur setengah langkah.

 

Di dunia luar...

Pantulan kaca dari Cermin Jiwa mulai pecah satu per satu. Dunia manusia mulai terguncang, tanda bahwa batas Aedhira dan dunia nyata mulai menghilang.

Di tempat lain, Kirana—yang selama ini melihat kilasan dunia Aedhira dari ruang bawah tanah rumah masa lalunya—menatap ke cermin yang bergetar di tangannya. "Lyra... waktumu hampir habis."

 

Kembali ke puncak kastil...

Pertarungan makin brutal. Setiap kali Kaelen menebas, Retakar membelah dirinya dan muncul dari sisi lain. Lyra dan Viona bekerja sama menjaga portal tetap stabil.

Tiba-tiba, Arven tertembak sihir hitam.

“Arven!” teriak Kaelen.

“Aman, cuma kena pinggir... dan harga outfit gue mahal, tolong jangan sobek!” Arven batuk darah sambil bercanda. Classic.

Kaelen marah. Api putih menyala dari tubuhnya, mengguncang sekeliling. Dia menatap Retakar dengan mata penuh cahaya.

“Lo cuma bayangan. Tapi kami—kami adalah orang-orang yang belajar dari bayangan itu.”

Dan dengan satu tebasan, Kaelen membelah langit.

Retakar menjerit, terbakar dari dalam oleh cahaya jiwa.

Lyra, Viona, dan Elaren langsung memperkuat pengikat dimensi, dan... dalam satu letupan besar, Retakar menghilang. Langit kembali biru—retakannya menutup perlahan.

 

Tapi harga selalu ada.

Portal mulai menutup terlalu cepat.

“Sekarang atau nggak sama sekali!” teriak Elaren.

Mereka semua berlari. Lyra menarik Kaelen. Arven yang pincang ditarik Viona.

Satu per satu, mereka lompat ke dalam portal...

...dan dunia Aedhira mulai runtuh di belakang mereka.

 

Gelap.

Lalu—cahaya lembut.

Mereka terbangun di ruang cermin pertama kali mereka masuk. Tapi tidak seperti dulu, cerminnya... kosong. Tidak ada pantulan. Tidak ada retakan. Hanya refleksi murni.

“Apakah... kita menang?” tanya Viona pelan.

Kaelen menatap ke tangannya. “Gue masih utuh... jadi mungkin ya.”

Arven bergumam, “Kalau ini surga, harusnya ada pizza. Gak ada bau keju sama sekali di sini.”

Lyra tersenyum. “Aedhira aman. Untuk sekarang.”

1
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
kau terasing di dunia nyata
tapi kau di harapkan di dunia edheira
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!