Pernikahan sudah di depan mata. Gaun, cincin, dan undangan sudah dipersiapkan. Namun, Carla Aurora malah membatalkan pernikahan secara sepihak. Tanpa alasan yang jelas, dia meninggalkan tunangannya—Esson Barnard.
Setelah lima tahun kehilangan jejak Carla, Esson pun menikah dengan wanita lain. Akan tetapi, tak lama setelah itu dia kembali bertemu Carla dan dihadapkan dengan fakta yang mencengangkan. Fakta yang berhubungan dengan adik kesayangannya—Alvero Barnard.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lelaki Tak Tahu Diri
Meski terkejut dan tak mengerti dengan maksud tindakan Thomas, tetapi Carla masih berusaha tersenyum. Sebisa mungkin dia bersikap tenang dan tidak sedikit pun menunjukkan kecanggungan. Bahkan sampai Gilang keluar, Carla tidak memudarkan senyum di bibirnya.
"Tuan ... apa yang akan Anda bicarakan dengan saya?" tanya Carla. Tak nyaman jika terus menunggu karena Thomas tak jua mengatakan apa-apa.
Ditanya demikian, Thomas tak langsung menjawab. Lebih dulu tertawa kecil, lantas mengambil sebatang rokok dan menyulutnya.
"Kamu adalah mantannya Esson. Sebelum Gilang memperkenalkan aku padamu, pasti kamu sudah mengenalku. Benar kan, Carla?" ucap Thomas sambil mengepulkan asap rokok yang barusan ia isap.
Dalam hitungan detik, Thomas tak lagi bersikap formal. Dengan mudah dia mengatakan 'aku-kamu', bahkan mudah pula menyebut nama Carla tanpa embel-embel 'nona'. Tampaknya dia sudah bisa menebak bahwa dari waktu lama Carla telah banyak mendengar tentang dirinya.
"Saya memang sering mendengar nama Anda. Tapi, secara langsung, kita belum saling mengenal." Carla menjawab dengan tenang, walau sebenarnya risih dengan tatapan Thomas yang seolah enggan beralih dari wajahnya.
"Bertahun-tahun kamu menjalin hubungan dengan Esson. Dan setelah berpisah pun, aku tidak tahu pasti bagaimana hubungan kalian. Bisa saja kalian masih berteman, atau bahkan lebih dari teman."
Carla tersenyum lebih lebar. "Saya yakin Anda sudah banyak tahu tentang Esson, dulu ataupun sekarang. Di sini saya tidak akan menjelaskan apa pun, karena saya yakin Anda pasti sudah memahami bagaimana hubungan saya dengan Esson sekarang."
"Ya, ya, kamu benar. Memang tidak ada hubungan apa-apa lagi di antara kalian. Tapi ... lima tahun yang pernah kalian lewati, itu tidak sederhana. Jadi, atas dasar apa aku harus mempercayaimu, Carla?"
Ludah Carla mendadak tersangkut dan tak bisa ditelan. Hati gusar, jantung berdebar. Thomas bukan Gilang. Pria itu jauh lebih senior, mungkin kecerdikannya hampir setara dengan Esson. Maka tak heran jika sekarang menaruh curiga. Mungkin kejanggalan masih terselip di gurat wajahnya.
Namun, sudah kepalang tanggung untuk mundur. Sebesar apa pun resiko yang menunggu di depan, sesukar apa pun rintangan yang harus disingkirkan, Carla akan tetap berusaha. Pantang baginya menyerah dan menunggu kekalahan dengan diam.
"Tuan ... bukankah bisnis itu juga sama seperti politik? Tidak ada kawan dan lawan yang abadi, semua tergantung kepentingan pribadi. Saya akui, lima tahun bersama Esson memang sangat berkesan. Tapi, apalah arti itu semua jika pada akhirnya pengkhianatan yang saya dapat. Ibarat kaca yang sudah pecah, tidak mungkin utuh seperti semula. Justru bekas retakannya yang akan tetap ada selamanya," ucap Carla sambil membenarkan posisi duduk, agar bisa berhadapan dengan Thomas dan membalas tatapan intensnya.
"Dulu saya ada di pihak Esson karena dia adalah lelaki saya. Tapi, setelah hubungan kami berakhir, tidak ada alasan lagi untuk tetap ada di pihaknya. Sekarang saya memilih berdiri di pihak Anda, karena kita punya tujuan dan kepentingan yang sama. Menjatuhkan Esson," sambung Carla.
"Cukup masuk akal dan cukup meyakinkan. Tapi, aku butuh bukti yang lain."
"Bukti apa, Tuan? Apakah surat kontrak kerja sama dengan Esson ini belum cukup untuk dijadikan bukti keseriusan saya?"
Thomas menggeleng. Lantas bangkit dan melangkah pelan mendekati Carla. Hingga kemudian, menghentikan langkahnya tepat di belakang Carla.
Dengan sedikit menunduk, Thomas berkata dengan lirih, "Aku belum bisa memastikan bagaimana hubunganmu dengan Esson sekarang. Bisa saja kalian bersandiwara di belakangku, untuk menjebakku."
"Anda berpikir berlebihan, Tuan. Sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi antara saya dengan Esson. Terlebih sekarang dia sudah menikah dengan sahabat saya sendiri. Hubungan apa memangnya yang bisa kami jalin?"
"Tapi, semua itu butuh bukti, Carla." Thomas lebih membungkuk lagi, hingga deru napasnya terdengar jelas di telinga Carla. "Tidur denganku! Baru aku percaya kamu benar-benar ada di pihakku," lanjutnya.
Nyaris muntah Carla saat mendengar pernyataan Thomas. Andai tak ingat kerja sama mereka, tak segan Carla akan melayangkan tamparan keras untuk mengajari mulut biadabnya itu. Namun sayang, keterikatan akan kepentingan, membuat Carla harus bersabar dan lagi-lagi menunjukkan sikap yang tenang.
"Tuan Thomas." Carla bangkit dari duduknya, lantas berdiri menghadap Thomas dengan menjaga jarak. "Bukankah itu kurang pantas? Kerja sama kita hanya untuk menjatuhkan Esson. Anda membayar saya, dan saya yang terjun ke lapangan dengan beberapa resiko yang saya tanggung sendiri. Jadi ... kenapa harus ada urusan ranjang segala?"
Thomas tertawa renyah, sangat menjijikkan di telinga Carla.
"Aku bisa membayarmu dengan harga mahal. Katakan saja, kamu mau berapa dalam semalam."
Tanpa rasa bersalah, Thomas terus merayu Carla agar mau menghangatkan ranjangnya. Selain tertarik dengan paras cantik Carla, Thomas juga merasa tertantang untuk menaklukkan wanita itu. Dia menunggu momen di mana dirinya bisa merangkul Carla di hadapan Esson.
Namun, meluluhkan Carla ternyata tak semudah bayangan. Wanita itu berbeda dengan wanita-wanita lain yang pernah ia temui, yang dengan mudah naik ke ranjang hanya dengan iming-iming uang.
"Maaf, Tuan, saya bukan penjual jasa." Dengan tegas Carla menolak.
"Aku bisa mendongkrak vendormu dan membuatmu berada di puncak karier. Aku juga bisa memberimu rumah atau apartemen. Apa itu masih belum menarik?"
Carla menarik napas panjang, lantas meraih tas selempang yang tadi sempat diletakkan.
"Tuan Thomas, Anda bukan satu-satunya orang yang menginginkan kehancuran Esson. Jika Anda tidak bisa bekerja sama dengan profesional, saya akan mencari orang lain. Maaf, berapapun yang Anda tawarkan, saya tidak tertarik. Karena saya bukan wanita rendahan seperti anggapan Anda."
Usai bicara, Carla berniat pergi meninggalkan ruangan tersebut. Namun, dengan cepat Thomas menahannya. Lantas dia meminta maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya barusan.
Akan tetapi, bukan Thomas namanya jika memegang janji. Dalam hati dia masih berniat untuk menjerat Carla. Tak akan menyerah sampai wanita itu pasrah di hadapannya. Sangat gila. Jelas-jelas Carla sudah menolaknya mentah-mentah, tetapi Thomas justru makin tertantang. Hingga akhirnya, kerja sama tersebut bukan sekadar upaya untuk menjatuhkan Esson, melainkan juga usaha untuk menarik Carla dalam dekapannya.
_______
Aroma disinfektan menguar kuat memenuhi ruangan. Rasanya Vero sudah bosan menghirupnya. Setiap hari hanya berbaring di ruangan yang sama, dengan aroma yang sama, dan kegiatan yang sama pula. Makan, minum obat, istirahat. Padahal Vero sudah tidak sabar untuk beraktivitas seperti sebelumnya—lebih tepatnya tak sabar untuk menyusul Carla ke Jepang.
Namun, cedera yang cukup parah setelah mengalami kecelakaan dan terjepit di dalam mobil, membuat Vero tak bisa ke mana-mana. Terpaksa diam di rumah sakit dan tunduk dengan arahan tim medis.
"Kira-kira setelah operasi hari ini, apa masih ada operasi lagi?" tanya Rimba yang saat itu menjenguk Vero, setelah mendengar kabar bahwa hari ini sang sahabat akan dioperasi lagi. Rimba adalah satu-satunya orang luar yang mengetahui kondisi Vero saat ini.
"Tergantung hasilnya nanti gimana. Aku juga udah bosan sebenarnya, pengin cepet pulang dan kerja kayak biasanya. Jujur ya, seenggak enaknya kerja, jauh lebih nggak enak di sini. Apalagi dengan kondisi kayak gini." Vero menjawab sambil mende-sah kasar. Meluapkan ketidaknyamanan yang beberapa hari ini bersarang dalam diri.
Mendengar gerutuan Vero, Rimba hanya bisa memberikan semangat dan dukungan. Lantas setelah beberapa saat kemudian, ia mulai membahas lain.
"Kamu pernah dihubungi Gilang, nggak? Atau ... dengar kabarnya gitu? Pernah nggak?"
Vero menggeleng. "Sejak dia pindah ke luar kota, aku nggak pernah dengar kabarnya lagi. Nomor dan akun sosmednya juga nggak pernah aktif. Kayak mendadak hilang gitu. Kenapa tiba-tiba nanya ini?"
Rimba diam sebentar, lantas menjawab, "Semalam aku kayak melihat dia. Keluar dari Restoran Larissa, kebetulan aku pas makan di sana juga."
"Nggak kamu sapa?"
"Nggak sempat. Jarak kami cukup jauh, dan dia kelihatan asyik ngobrol sama temannya. Apa mungkin lagi kencan ya, soalnya cuma berdua doang. Tapi ... masa iya sih dia kencan?"
Vero berdecak. "Kamu yang ketemu, kamu yang ngelihat, malah nanya aku, ya mana kutahu. Emang siapa sih ceweknya? Kamu kenal?"
"Ya kenal banget lah. Kamu juga kenal, orang mantannya Kak Esson kok."
"Hah?" Vero terperangah seketika.
"Iya, Mbak Carla. Mereka jalan berdua semalam, ngobrol asyik gitu."
Lidah Vero langsung kelu, tak bisa menjawab barang sepatah kata. Carla ... wanita yang dalam setiap waktu memenuhi ingatan dan lamunannya, mendadak dikabarkan jalan dengan Gilang. Sangat sakit rasanya. Tak ada kerelaan andai benar wanita dambaannya berhubungan dengan temannya sendiri.
"Ini nggak benar kan, Mbak?" batin Vero sambil menatap tangan dan kakinya yang masih dibalut perban.
Bersambung...
tenang pikiran mu Vero, fokus dulu kesembuhan, supaya kamu secepatnya temui Carla.