Zahra, seorang perempuan sederhana yang hidupnya penuh keterbatasan, terpaksa menerima pinangan seorang perwira tentara berpangkat Letnan Satu—Samudera Hasta Alvendra. Pernikahan itu bukan karena cinta, melainkan karena uang. Zahra dibayar untuk menjadi istri Samudera demi menyelamatkan keluarganya dari kehancuran ekonomi akibat kebangkrutan perusahaan orang tuanya.
Namun, tanpa Zahra sadari, pernikahan itu hanyalah awal dari permainan balas dendam yang kelam. Samudera bukan pria biasa—dia adalah mantan kekasih adik Zahra, Zera. Luka masa lalu yang ditinggalkan Zera karena pengkhianatannya, tak hanya melukai hati Samudera, tapi juga menghancurkan keluarga laki-laki itu.
Kini, Samudera ingin menuntut balas. Zahra menjadi pion dalam rencana dendamnya. Tapi di tengah badai kepalsuan dan rasa sakit, benih-benih cinta mulai tumbuh—membingungkan hati keduanya. Mampukah cinta menyembuhkan luka lama, atau justru semakin memperdalam jurang kehancuran?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fafacho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24.
Samudera saat ini lebih memilih duduk bersama dengan anggotanya di barak. Dia duduk bersebelahan dengan Letda Yanuar dan juga Serda Fauzi.
Mereka bertiga asik mendengarkan para prajurit muda yang tengah memainkan gitar sambil menyanyi. Mereka bisa berani melakukan kegiatan saat ini tentu saja atas persetujuan Samudera, mana mungkin mereka memainkan gitar dan bernyanyi di depan para atasan mereka.
"Rokok Danki, " ucap Serda Fauzi menawarkan rokok pada Samudera.
"nggak, " tolak Samudera singkat.
"kenapa bang, kelihatan banyak pikiran banget" tanya Yanuar penasaran.
"nggak pa-pa, lagi suntuk aja" jawab Samudera tidak terlalu mau membahas.
"justru itu ndan, kalau pikiran suntuk paling enak tuh ngerokok sambil dengerin anak-anak nyanyi" saran Fauzi antusias.
"bagi saya itu nggak mempan" jawab Samudera. Di saat dirinya tengah bicara dengan dua orang rekannya itu, terasa getaran di saku celananya saat ini.
ponsel Samudera bergetar, karena hanya mode getar saja yang ia pasang.
"Papa, " gumamnya saat melihat nama itu yang tertara di layar ponselnya. Wajah Samudera yang memang sedari tadi datar kini berubah semakin datar sekaligus dingin. Pria itu langsung berdiri dari duduknya,
"saya pergi dulu" pamitnya pada kedua rekan mengobrolnya tadi.
Sambil berjalan Samudera mengangkat panggilan dari Ayahnya tersebut.
"halo pa, ada apa? " tanyanya datar.
"Kau gila Hasta" maki Hendra, ayah Samudera di seberang sana. dia memanggil Samudera dengan nama tengah putranya. Karena itu nama panggilan Samudera di keluarga besarnya.
mendengar itu Samudera mengernyitkan dahinya dia tak paham kenapa tiba-tiba ayahnya terdengar marah dengannya saat ini.
"kenapa pa,? kenapa tiba-tiba memaku seperti itu" Samudera terlihat tidak Terima, dia melihat sekitar takut ada yang melihat dirinya ketika emosi.
"kamu gila, bisa-bisanya kau menikah dengan kakak dari mantanmu dulu. otak kamu itu di mana, kau lupa dia penyebab kau bodoh sehingga membuat kakakmu mati"
deg..
Samudera terdiam di tempatnya, dia tak menyangka papa nya akan tahu secepat ini.
"apa tujuanmu Hasta, kenapa kau menikahi kakak dari mantan pacar mu hah" Hendra di seberang sana masih terdengar memaki samudera.
Samudera menggenggam ponselnya erat-erat, napasnya mulai memburu. Urat-urat di pelipisnya menegang. Ia menatap tajam ke depan, tapi matanya kosong, seolah pikirannya sedang terseret kembali ke masa lalu yang kelam.
"Papa dengar dari mana?" tanyanya dengan suara rendah namun jelas terdengar menahan gejolak amarah.
"Tak penting dari mana aku dengar!" hardik Hendra di seberang. "Yang penting sekarang jawab aku, apa tujuanmu menikahi perempuan itu? Kau kira aku akan diam saja melihatmu menginjak-ingjak nama keluarga kita?!"
Samudera menelan ludahnya, kepalanya menunduk sejenak, lalu ia menegakkan tubuhnya lagi. Suaranya masih tenang, tapi nadanya mulai dingin.
"tidak ada tujuan apa-apa,aku menikahinya karena aku memang jatuh cinta dengannya. Aku tidak perduli kalau dia kakak dari Zera." ucap Samudera berbohong, tentu dia berbohong dia belum mencintai Zahra saat ini
"Lelucon macam apa itu!" potong Hendra. "Kau mencintai kakak dari perempuan yang membuat kakak kandungmu depresi hingga meninggal?! Apa kau sudah tak punya hati nurani?!"
Samudera menghela napas panjang. Ia memejamkan mata, menahan gelombang emosi yang mulai merambat ke dadanya. "Kematian kakak bukan salah Zahra. Dan bukan juga semata karena Zera. Kakak... memilih jalannya sendiri. Kita semua tahu itu, tapi tak ada satu pun dari kita yang benar-benar mau mengakuinya."
Hendra di seberang sana terdiam beberapa detik. Lalu suaranya kembali terdengar, lebih pelan, tapi masih dengan tekanan yang menusuk.
"Kau pikir dengan menikahi Zahra, semua akan selesai? Kau pikir luka keluarga kita akan sembuh begitu saja?"
"Tidak," jawab Samudera pelan. "Aku tahu luka itu tidak akan hilang. Tapi aku tak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Aku berhak menentukan hidupku, Pa. Zahra bukan musuh kita."
"Dia bagian dari keluarga itu, Hasta! Keluarga yang menghancurkan kita!"
"Dan aku ingin mengakhirinya, Pa," tegas Samudera. "Bukan dengan kebencian... tapi dengan memilih untuk memaafkan dan membangun yang baru."
Lama Hendra tidak menjawab. Hanya terdengar napas beratnya di ujung telepon. Akhirnya, dengan suara dingin dan tajam, ia berkata,
"Kalau begitu, jangan pernah bawa perempuan itu ke rumah ini. Selama kau bersama dia, kau bukan anakku."
Klik.
Sambungan terputus.
Samudera mematung, menatap kosong pada layar ponselnya yang kini kembali gelap. Suara tawa dan nyanyian dari barak masih terdengar samar di kejauhan, tapi semua terasa jauh dari dirinya sekarang.
Pelan-pelan, ia memasukkan ponsel ke sakunya, lalu menatap langit malam yang terbentang di atas.
“Hidupku mungkin tak akan tenang, tapi aku sudah memilih. Aku harus tanggung jawab.”
***