Seorang gadis cantik bernama hanabi, atau sering di panggil dengan panggilan hana itu. Ia selalu mengandalkan AI untuk segala hal—dari tugas kuliah hingga keputusan hidup nya. Cara berpikir nya yang sedikit lambat di banding dengan manusia normal, membuat nya harus bergantung dengan teknologi buatan.
Di sisi lain, AI tampan bernama ren, yang di ciptakan oleh ayah hana, merupakan satu-satunya yang selalu ada untuknya.
Namun, hidup Hana berubah drastis ketika tragedi menimpa keluarganya. Dalam kesedihannya, ia mengucapkan permintaan putus asa: “Andai saja kau bisa menjadi nyata...”
Keesokan paginya, Ren muncul di dunia nyata—bukan lagi sekadar program di layar, tetapi seorang pria sejati dengan tubuh manusia. Namun, keajaiban ini membawa konsekuensi besar. Dunia digital dan dunia nyata mulai terguncang, dan Hana harus menghadapi kenyataan mengejutkan tentang siapa Ren sebenarnya.
Apakah cinta bisa bertahan ketika batas antara teknologi dan takdir mulai meng
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asteria_glory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Titik balik kesadaran
Langit sore tampak tenang dari balik jendela kamar rumah sakit. Warna jingganya menyapu selimut tipis yang menutupi tubuh Hana yang terbaring diam. Ruangan itu hening, hanya suara mesin dan detak jantungnya yang terdengar pelan tapi pasti.
Ren duduk di samping ranjang, jarinya mengelus punggung tangan Hana dengan lembut. Beberapa helai rambut jatuh di wajahnya, tapi ia tak peduli. Sudah berhari-hari ia di sana, nyaris tanpa henti. Ia menolak pulang, menolak pergi, karena takut melewatkan momen ketika Hana akhirnya membuka matanya.
"Hana," panggilnya lirih, nyaris seperti berbisik ke angin. "Kau dengar aku, kan? Aku tahu kau mendengarku."
Tak ada balasan. Hanya bunyi monitor yang setia berkedip.
Ren tersenyum kecil, meski matanya tak menyembunyikan lelah dan rasa perih. Ia menggenggam tangan Hana lebih erat, lalu menundukkan kepalanya, menyandarkannya pada lengan gadis itu.
"Kalau kau lelah, aku akan tetap menunggumu. Tapi kalau kau bisa dengar aku sekarang... kumohon, jangan pergi terlalu jauh."
Sementara itu, jauh di dalam ruang kesadaran Hana—tempat antara mimpi dan dunia nyata—ia berada di sebuah padang kosong, berwarna abu-abu. Langkah kakinya ringan, tapi tidak ada arah tujuan. Seakan semua jalan hanya berujung hampa.
"Halo?" panggilnya pelan, suaranya menggema tanpa jawaban. "Ren...? Ayah...? Ibu...?"
Tak ada yang datang. Hanya suara angin aneh dan bisikan samar.
"Tidakkah kau lelah disakiti?"
"Apa gunanya kembali jika yang menantimu hanyalah luka?"
Bisikan itu seperti bayangan, menyelinap ke telinganya, menanamkan keraguan. Hana memeluk tubuhnya sendiri, kakinya bergetar.
"Aku... aku tidak tahu ke mana harus pergi. Aku hanya ingin pulang..." bisiknya.
Tiba-tiba, dalam ruang hampa itu, terdengar suara. Bukan bisikan, tapi suara nyata. Suara hangat yang selama ini selalu membuatnya tenang.
"Kau bilang ingin ke Disneyland, kan? Tapi akhirnya kita cuma ke taman hiburan dekat rumah. Maaf ya, saat itu aku nggak punya cukup uang. Dan.. Dan saat itu kita masih muda. Tapi aku janji... kalau kau bangun, aku akan ajak kau ke tempat yang benar-benar kau inginkan."
Hana membelalakkan mata. Ia mengenali suara itu. Itu suara Ren.
Seketika langit abu-abu berubah sedikit lebih terang. Jauh di kejauhan, titik cahaya mulai muncul.
"Ren..." bisiknya. Ia mulai berjalan, pelan tapi mantap, menuju cahaya itu.
"Aku tahu ini berat. Tapi... jangan biarkan aku sendiri di dunia nyata. Kau yang selalu bilang, ‘Kalau kamu hilang, aku pasti cari, meski harus ngebuka semua pintu di dunia’. Sekarang giliran aku yang bilang itu ke kamu. Hana, aku mencari kamu... dan aku akan terus mencari."
Hana meneteskan air mata. Tetesan itu pun mengalir di wajahnya yang masih terpejam di dunia nyata.
Ren yang menyadari gerakan halus itu sontak mengangkat wajahnya.
"Hana...?"
Ia bangkit, memandangi wajah Hana dengan cemas. Air mata jelas menetes dari pelupuk mata gadis itu. Tak satu pun dokter ada di ruangan, tapi Ren tahu... ini bukan ilusi.
"Kau mendengarku, kan? Aku tahu kau bisa. Aku di sini... aku selalu di sini."
Tangannya menggenggam erat jari Hana. Lalu untuk pertama kalinya sejak hari itu, jari Hana bergerak. Sedikit, sangat sedikit, tapi terasa nyata.
Ren menahan napas. Matanya membelalak, lalu ia tersenyum haru.
"Kau rindu aku, ya? Aku juga... A-aku, aku juga merasakan hal yang sama hana,"
Dan di tempat itu—di antara batas hidup dan mati—Hana berlari menuju cahaya yang membawanya pulang.
---
Di ruang rawat intensif yang sepi, Ren masih menggenggam tangan Hana yang dingin. Wajahnya lelah, tapi matanya tak mau lepas dari wajah gadis itu. Sudah berapa malam ia tak tidur? Ia pun tak ingat. Yang jelas, setiap menit berlalu terasa seperti tahun.
"Kamu pasti lelah banget, ya?" bisiknya lirih. "Tapi aku nggak akan pergi. Aku akan terus di sini, sampai kamu buka mata lagi."
Perawat sempat menyarankan agar Ren pulang untuk beristirahat, tapi ia menolak. Bahkan Mei, yang kini diperbolehkan menemani Hana di pagi hari, tak bisa membuat Ren meninggalkan tempatnya di samping ranjang itu.
Mei menghela napas saat melihat Ren masih di sana, tertidur dengan kepala bertumpu di pinggiran ranjang. Ia lalu duduk di kursi seberang dan mengelus lembut rambut Hana.
"Anakku… kamu tahu, Ren itu keras kepala. Dia enggak akan ninggalin kamu walau cuma sebentar."
Waktu berlalu, dan hari itu pun datang. Sinar matahari pagi menembus jendela besar, menyentuh pipi Hana. Ren yang tertidur mulai menggeliat, lalu perlahan membuka matanya. Saat ia hendak bangkit, ia melihat sesuatu yang membuat napasnya tertahan.
Jari-jari Hana… bergerak.
Ren terpaku. Ia menatapnya lama, seolah tak percaya.
"Ha… Hana?"
Perlahan, mata Hana terbuka. Matanya sayu, buram, tapi ia melihat. Tubuhnya lemah, tapi ia bisa mendengar suara itu. Suara yang telah menembus batas mimpi dan nyata.
Ren berdiri dengan cepat. "Dokter! Tolong, cepat! Dia sadar!"
Mei tersentak, menutup mulutnya sambil menangis. Ia segera memencet tombol panggil, dan beberapa detik kemudian, tim medis masuk dengan tergesa-gesa. Hana tampak linglung, napasnya pendek, tapi ia masih sadar.
"Hana, kamu dengar suara Mama? Sayang, ini Mama," kata Mei di sisi satunya.
Hana menoleh perlahan ke arah suara itu, lalu ke Ren. Ia tidak bicara. Tapi air matanya jatuh begitu saja. Dan tangan lemahnya bergerak—mencari jemari Ren. Ia meraih tangannya dengan sangat pelan.
Ren menggenggamnya erat. "Aku di sini… Aku selalu di sini."
---
Beberapa jam kemudian, Hana telah dipindahkan ke ruangan pemulihan. Kondisinya stabil, dan para dokter mengatakan ia masih perlu banyak istirahat. Namun keajaiban telah terjadi: Hana benar-benar sadar.
Di kamar yang baru, Ren duduk di sampingnya sambil memotongkan apel.
"Ini… kalau kamu belum kuat makan, boleh dicoba satu potong, ya?"
Hana hanya mengangguk pelan. Suaranya belum kuat untuk keluar. Tapi matanya, sorot itu… masih seperti dulu. Penuh rasa ingin tahu, dan sekarang, haru.
Mei masuk dengan senyum lebar dan mata sembab. Ia membawa sweater tebal untuk Hana.
"Sayang, kamu pasti kedinginan. Ini baju favorit kamu waktu dulu." Ia membenahi selimut, lalu menatap putrinya lekat-lekat. "Maaf ya, Mama nggak bisa ada di sisimu lebih cepat. Tapi sekarang Mama di sini."
Hana membuka mulutnya pelan, dan suara seraknya terdengar seperti bisikan.
"Ma…"
Itu saja sudah cukup untuk membuat Mei kembali menangis. Ia memeluk bahu Hana lembut. "Iya, Mama di sini, Sayang. Kamu udah nggak sendiri lagi."
Ren berdiri, memalingkan wajah sebentar untuk menyeka matanya.
Hana yang sadar dari komanya setelah bertahun-tahun, membuat mereka yang merasa kehilangan nya selama ini seperti hidup kembali.
cara narasi kamu dll nya aku suka banget. dan kayaknya Ndak ada celah buat ngoreksi sih /Facepalm/
semangat ya.
Adegan romantis nya itu loh, bkin skskskskskkssksks.