Bening awalnya hanya mengagumi Garda seperti seorang anak terhadap ayahnya sendiri. Tumbuh dalam keluarga yang kurang harmonis membuat Bening bermimpi memiliki ayah seperti Garda. Namun, seiring berjalan waktu, ternyata perasaannya terhadap Garda berubah menjadi ketertarikan yang tak masuk akal. Bagaimana bisa dia menginginkan dan menyukai ayah dari sahabatnya sendiri?
Ketika Bening ingin menyingkirkan perasaan gila itu mengingat usia mereka yang terpaut jauh, tiba-tiba suatu hari Garda membuat pernyataan yang membuat Bening bimbang. Sebuah ciuman melayang, mengantarkan Bening pada kelumit masalah antara menjadi gadis kesayangan Garda atau janji persahabatannya dengan putri pria itu.
#adultromance #agegap #cintabedausia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yourladysan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Konser Akhir Pekan
Sejujurnya itu pertama kali Bening bertandang ke konser. Apalagi di malam hari. Biasanya di malam minggu ia hanya mengisi waktu dengan memperbaiki skripsi atau menginap di rumah Nata. Namun, malam minggu ini sedikit berbeda.
Riuh tepuk tangan penonton membuat Bening sesekali terkejut. Ketika suara pembawa acara terdengar, ia akan fokus ke sana, lalu penampilan beberapa band menghibur semua orang. Bening tidak terlalu mengerti musik dan bernyanyi bukan kegemarannya. Meski demikian, ia berusaha menikmati malam ini bersama Nata.
“Oke, selanjutnya kita bakal dihibur oleh band yang sejak tadi dinanti oleh para anak muda! Silakan naik ke atas panggung The West!” Suara pembawa acara terdengar lagi.
Gaung suara tepuk tangan, siulan, dan teriakan penonton menggema di lapangan besar. Konser diadakan di salah satu lapangan besar yang tak jauh dari universitas. Pun yang tampil adalah band-band lokal, band universitas, dan beberapa content creator yang kerap membuat cover lagu.
“Bening, itu Bima! Lihat, dia keren banget!” Nata berjingkrak di dekatku. “BIMA!” Kemudian suara teriakannya membelah udara bersama puluhan teriakan penonton lain.
Sepasang mata Bening mengamati Bima di atas panggung. Rambutnya yang dipangkas pendek terlihat membuat Bening hampir tak mengenalinya. Padahal saat menyerahkan undangan, rambut Bima belum sependek itu. Potongan rambut itu—buzz cut—terlihat cocok untuknya.
Pantas saja Nata naksir. Sekilas Bima terlihat keren di atas panggung dengan penampilannya.
Bening melirik Nata yang mulai ikut bersenandung ketika The West—band Bima—mulai tampil. Suara Bima yang merdu bersama iringan musik dari anggota band menghanyutkan siapa pun. Penonton pun mulai ikut bernyanyi.
“Bening, nyanyi!” seru Nata seraya menyenggol lengan sahabatnya.
“Nggak bisa. Aku nggak tau lagunya.”
“Ah gimana, sih? Gue kan sering ngasih lo dengerin lagunya The West.”
Cengiran lebar Bening terlihat. “Nggak hafal dan udah lupa.”
“Ya udah, nanti abis Bima perfom, temenin gue ketemu dia.” Nata mengerling seraya mengedipkan mata kanan.
Bening hanya mengangguk, meski kekhawatiran hadir dalam benaknya. Entah karena apa.
Saat Nata mulai sibuk sendiri dengan penampilan band, Bening merogoh ponsel yang sejak tadi bergetar. Pada layar ponsel, pesan masuk beruntun terlihat dari nomor Diana. Ada panggilan tidak terjawab dari Baron juga. Namun, Bening mengabaikannya.
“Kenapa?” tanya Nata yang entah kapan memperhatikannya.
“Bukan apa-apa.”
Mata Nata menyipit curiga. “Jangan menyembunyikan apa pun dari gue, Bening. Gue ini sahabat lo.” Suara Nata sengaja dikeraskan karena musik yang mengentak.
“Mmm … ibu dan ayah nelepon aku. Tapi aku nggak angkat. Ada SMS masuk juga yang nyuruh aku pulang,” jawab Bening.
“Nggak usah diladenin. Pokoknya malam ini kita senang-senang.” Nata merangkul Bening sembari meloncat-loncat pelan seiring lagu berjalan.
“Tapi ingat, kata Om Garda kita nggak boleh pulang terlalu larut. Sopir juga udah nungguin kamu di luar. Setelah penampilan band Bima, kita ketemu Bima sebentar. Terus kita pulang,” tukas Bening memperingatkan.
Nata mendengkus sejenak. “Iya, ih, lo ini tipe anak yang penurut, ya. Pasti papa gue bakal ngerasa punya dua anak gadis yang bertolak belakang.” Kemudian ia kembali fokus pada konser.
Dua anak gadis? Bening menatap sendu profil Nata. Sahabatnya tidak tahu apa-apa. Garda tidak memandang Bening seperti orang tua kepada anak gadisnya. Melainkan seorang pria dewasa terhadap seorang wanita.
Setelah band Bima selesai tampil, keduanya mencari cara untuk bertemu Bima. Nata ngotot menelepon Bima, meski pada akhinya tidak dijawab. Keduanya sudah melangkah jauh ke arah backstage, tetapi tidak ada tanda-tanda adanya Bima.
Akan tetapi, saat hendak berbalik pergi suara pemuda itu terdengar. “Bening!” panggilannya. Ia berlari menghampiri kedua gadis itu. “Eh, hai Nat!” sapa Bima begitu melihat Nata.
“Hai, Bim! Tadi gue telepon, tapi lo nggak angkat. Penampilan lo keren banget!” Nata selalu antusias sendiri setiap bertemu Bima. Padahal Bima selalu mencuri pandang pada Bening.
“Ah, biasa ajalah. Keren bareng temen-temen juga. Jadi malu gue dipuji begini,” tukas Bima sembari menggaruk kepala bagian belakangnya.
“Nggak, sumpah! Lo juga keren kalaupun cuma tampil sendiri.” Nata bersikeras.
Bima terkekeh. “Hehe, makasih, Nat. Makasih juga kalian udah mau dateng.”
“Justru gue kali yang makasih karena udah dikasih tiket. Gue ajak aja Bening sekalian,” tukas Nata sembari menyikut lengan kanan Bening.
Ucapan Nata membuat Bima melirik Bening. Tak bisa dimungkiri, Bening melihat ekspresi kaget Bima meski hanya sesaat. Padahal yang dibelikan tiket adalah Bening dan yang harus diajak adalah Nata. Bukan sebaliknya. Kendati demikian Bima menyunggingkan senyum lebar pada Nata.
Syukurlah, pikir Bening. Ternyata Bima tahu cara agar Nata tidak tersinggung. Untung dia tidak mengatakan yang sebenarnya.
“Tapi kami nggak bisa lama-lama, Bim. Sekarang aja udah mau balik. Bokap gue cerewet banget, katanya nggak boleh pulang terlalu larut,” ucap Nata sedikit kesal.
“Nggak apa-apa kali, Nat. Bener kata bokap lo. Kalian anak gadis, jadi jangan pulang terlalu larut. Thanks karena kalian udah menyempatkan waktu ke sini.” Bima lagi-lagi memamerkan senyum.
Bening mengangguk dan melihat Nata begitu antusias membalas senyum Bima. Kemudian sahabatnya menunduk malu-malu. Bening sampai kaget karena tidak biasanya Nata akan seperti itu.
“Em, Bim … boleh foto bareng nggak?” Nata meminta izin dengan hati-hati.
“F-foto?” Terlihat Bima salah tingkah sembari menggaruk kepala bagian belakangnya. “Duh, udah kayak artis aja gue. Tapi nggak apa-apa, lah.”
“Beneran?” Mata Nata berbinar. Ia segera mengeluarkan ponsel dan menjulurkan pada Bening. “Fotoin, Ning.”
“Nggak foto bertiga aja?” Bima menawarkan..
Nata menatap Bening. “Lo mau ikut, Bening?” Lewat tatapan Nata yang memohon, Bening menggeleng. Ia tahu sahabatnya sangat ingin momen foto berdua saja dengan sang gebetan.
Selepas foto bersama, senyum Nata makin lebar. Kemudian senyum itu menghilang saat sebuah panggilan terlihat di layar ponselnya. Bening bisa melihat mama Garda di sana. Nata menjauh sedikit untuk menjawab panggilan tersebut. Meninggalkan Bening dan Bima yang berdiri di belakang puluhan penonton.
“Kenapa lo bilang kalau tiket itu buat Nata? Itu gue beli buat lo,” ujar Bima.
Bening sudah memprediksi obrolan itu. “Yah, nggak apa-apa, ‘kan? Sama aja. Aku dateng bareng Nata. Awalnya aku nggak akan ikut karena aku kurang suka nonton konser. Tapi, Nata bersikeras aku ikut karena ada kamu.”
“Oh, lo nggak suka konser ….” Bima bergumam. “Tapi makasih lo udah dateng. Gue seneng lihat lo malem ini.” Senyum Bima tampak terkesan tulus. Apalagi tatapannya yang dalam. Bikin Bening resah saja.
“Em, ya … walaupun aku kurang suka konser, tapi penampilan kamu keren. Apalagi Nata sampai ikut nyanyi dan teriak-teriak. Dia pasti seneng banget. Kamu tau, buat dateng ke sini dia sampai beli baju baru. Cuma buat lihat kamu tampil,” kata Bening membeberkan.
“Wah, dia totalitas banget.” Suara Bima terkesan kaku. Ia menggaruk pelipis saat wajahnya terlihat kebingungan.
Bening mendongak menatap Bima. “Kamu ngerti, ‘kan, Bim? Kenapa Nata sampai seperti itu cuma buat kamu?”
Seketika Bima terkesiap. Bibirnya terbuka hendak menjawab, tetapi kemudian tertutup lagi. Sekian detik terlewat, mereka berdua terdiam. Sampai akhirnya Nata datang.
“Yuk, balik!” ajaknya pada Bening. “Papa udah cerewet banget.”
“Oke. Kami pulang dulu, Bim.” Bening tersenyum, tetapi Bima hanya membalas dengan anggukan. Ekspresi wajahnya tidak setenang beberapa saat lalu.
“Dah, Bim! Sampai ketemu di kampus.” Nata melambai.
Kedua gadis itu kemudian menjauh dari keriuhan arena konser. Terlihat Nata masih agak kesal karena ingin berlama-lama di sana. Untung saja Garda meneleponnya untuk segera pulang.
Mobil yang dikendarai sopir pun menjauh, meninggalkan tempat ramai itu. Sementara Nata sibuk bermain ponsel, Bening menyandarkan kepala pada kaca mobil sembari menatap pemandangan jalanan di luar sana yang masih belum sepi. Mobil berhenti di lampu merah seiring ponsel Bening yang bergetar.
Benda pipih itu diraihnya dengan ogah-ogahan karena berpikir itu mungkin pesan dari Diana atau Baron. Namun, yang terlihat di layar ponsel adalah nomor Garda. Mata Bening mengejap, tak percaya Garda akan mengirim pesan pribadi setelah selama ini mereka hanya saling menghubungi jika ada hal yang menyangkut Nata.
Om Garda: sudah cukup konsernya, Ning. Saya nggak mau kamu di sana terlalu lama dilihat cowok-cowok genit. Pulanglah, saya menunggumu di rumah.
Garda menunggunya? Bukankah seharusnya Garda dalam perjalanan bisnis?