Alya, seorang gadis desa, bekerja sebagai pembantu di rumah keluarga kaya di kota besar.
Di balik kemewahan rumah itu, Alya terjebak dalam cinta terlarang dengan Arman, majikannya yang tampan namun terjebak dalam pernikahan yang hampa.
Dihadapkan pada dilema antara cinta dan harga diri, Alya harus memutuskan apakah akan terus hidup dalam bayang-bayang sebagai selingkuhan atau melangkah pergi untuk menemukan kebahagiaan sejati.
Penasaran dengan kisahnya? Yuk ikuti ceritanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. SAKSI PERTAMA
SAKSI PERTAMA
🌸Selingkuhan Majikan🌸
Setelah resmi menikah sirih dan beres mengurusi administrasi pernikahan, Arman dan Alya lalu melangkah keluar dari kantor KUA.
Tanpa membuang waktu, Arman membukakan pintu mobil untuk Alya lalu mengisyaratkan Alya untuk segera masuk.
Saat itu, seorang wanita yang mengenali Arman dari kejauhan berdiri terpaku karena tak percaya dengan apa yang di lihatnya.
Wanita itu adalah Mita, sahabat Andin yang kebetulan sedang berada di sekitar kantor KUA.
"Arman? Bukankah itu Arman?," gumam Mita dengan mata terbelalak.
Tatapannya beralih pada Alya yang berdiri di samping Arman, lalu pada tulisan besar di depan kantor itu yang menandakan tempat tersebut. "Tapi... siapa perempuan itu? Dan kenapa mereka keluar dari kantor KUA?,” lanjut Mita.
Mita pun merasa penasaran, untuk memastikan satu hal, ia pun segera mengeluarkan ponselnya, lalu jari-jarinya menekan nomor Andin dan telepon pun tersambung.
"Andin? Kamu lagi sibuk?,” bisik Mita ragu.
“Enggak, Mit. Ada apa?,” jawab Andin di seberang telepon sana.
“Din, mungkin ini aneh… tapi aku tadi melihat Arman,” kata Mita terdengar pelan, sambil terus menatap ke arah mobil Arman yang mulai bergerak. “Dia keluar dari kantor KUA… dengan seorang perempuan," lanjutnya.
"Xi xi xi xi...."
Andin tertawa kecil, mengira itu hanya salah paham. “Mungkin kamu salah lihat, Mit. Mas Arman bilang dia sedang ada urusan di luar, mungkin dia cuma lewat sana.”
“Tapi, Din, aku benar-benar melihatnya. Mereka bahkan masuk ke mobil bersama. Perempuan itu kelihatannya akrab dengan Arman…”
Andin terdiam, kini suaranya pun terdengar agak gelisah. “Mita, kamu serius? Maksudmu... kamu yakin?.”
“Serius, Din. Aku benar-benar yakin itu Arman. Rasanya aneh kalau hanya kebetulan.”
Andin menarik napas panjang, mencoba mengabaikan perasaan tak nyaman yang mulai muncul.
“Mita, mungkin itu hanya kebetulan. Mungkin kamu salah lihat. Aku yakin mas Arman nggak mungkin sembarangan. Dia nggak mungkin menikah tanpa memberi tahu aku he he he…,” balas Andin penuh canda.
Mita masih merasa ragu, tetapi ia tak ingin menambah kegelisahan Andin. “Oke, Din. Kalau kamu bilang begitu… Aku cuma mau memastikan.”
Percakapan mereka pun berakhir dengan perasaan cemas yang masih menyisakan tanda tanya bagi keduanya.
Sebenarnya Andin terusik dengan informasi tersebut karena kata-kata Mita itu terus terngiang di benaknya hingga perlahan meruntuhkan rasa percaya yang ia miliki.
"Mita... Mita, ada-ada saja!."
**
Setelah beberapa saat, akhirnya mobil Arman berhenti di depan rumah, lalu Arman serta Alya pun keluar bersamaan.
Matahari yang terik menyelimuti kedatangan mereka, seakan turut menyaksikan kehadiran dua sosok yang kini resmi terikat sebagai suami istri.
Adapun, para asisten rumah tangga yang sedang melakukan pekerjaan di halaman dan teras rumah langsung menghentikan aktivitas mereka, lalu menatap keduanya dengan rasa ingin tahu dan curiga.
"Eh, kok mereka datang bareng, sih?," bisik seorang ART kepada yang lain.
"Benar, aneh banget. Mereka berdua kelihatannya... dekat sekali," tambah yang lain dengan nada sinis, sembari menatap Alya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Sementara itu, salah satu ART yang dikenal paling cerewet, berbisik lebih keras, "Ini pasti ada yang nggak beres. Kapan lagi ada majikan datang sama ART-nya, pakai mobil mewah pula!."
"Apa jangan-jangan... mereka ada apa-apa?," tambahnya, dengan pandangan menyelidik yang membuat beberapa ART lainnya mengangguk setuju.
"Eh! Udah-udah! Nge gosip kerjaan kalian, di pecat tau rasa lho," timpal Dinda, art yang cukup dekat dengan Alya.
Di sisi lain, Alya yang baru turun dari mobil tampak cemas dengan bisik-bisik itu, tapi Arman tampak tak peduli dan menatap para ART dengan tatapan tajam.
Kemudian, salah satu dari mereka, yang biasanya tak pernah terlihat bermasalah, kini berani maju dan langsung menyapa.
"Selamat datang, Pak Arman… eh, dan… Mbak Alya."
ART yang julid pun berbisik lagi, "Mbak Alya? Sekarang, dia udah kayak nyonya aja diperlakukan begitu."
"Kalau sampai Bu Andin tahu, bisa gawat ini!," tambah art yang lain.
Mendengar semua bisikan itu, Arman akhirnya membuka suara dengan tegas dan menakutkan. "Kalian tidak punya pekerjaan lain! Daripada sibuk mengurusi urusan orang, lebih baik bereskan pekerjaan kalian. Kalau tidak ingin bekerja lagi, keluar dari rumah ini!."
Seketika mereka semua terdiam dan saling pandang sejenak lalu segera bubar. Namun, bisik-bisik itu tak berhenti di situ.
Mereka hanya melanjutkannya dari balik pintu dan lorong-lorong rumah, menyimpan rasa penasaran dan gosip tentang hubungan Arman dan Alya yang semakin hari semakin mencurigakan bagi mereka.
Sementara, Alya hanya menundukkan wajahnya karena merasa semakin risih, namun Arman hanya menepuk bahunya untuk memberikan tanda bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Tenang saja, mereka tidak akan bicara apa-apa... karena aku yang pegang kendali di sini," ucap Arman.
Alya mengangguk pelan, meski rasa cemas tak kunjung sirna dari raut wajahnya. Ia menyadari, hubungan rahasia mereka kini berada di ujung tanduk dan menjadi bahan perbincangan di rumah itu.
**
Saat malam hari tiba...
Andin berjalan menghampiri Arman yang sedang fokus dengan laptopnya di kamar. Dengan setelan piyama tidurnya yang sederhana namun anggun, ia tersenyum, lalu duduk di sisi Arman, yang tetap terlihat serius menatap layar laptopnya.
“Mas, aku ada cerita lucu, deh. Tadi siang, Mita nelepon,” ucap Andin dengan nada bercanda, berusaha menghibur suaminya yang tampak lelah.
Adapun Arman, ia hanya mengangkat alisnya sekilas sambil melirik Andin. “Hmm? Tentang apa?," tanyanya.
“Masa Mita bilang dia lihat kamu di kantor KUA, 🤭🤭😅.” Andin tertawa pelan, seolah menganggap itu hanya gosip konyol.
“Bayangkan, dia bahkan bilang kamu sama perempuan lain. KUA, Mas! Lucu, kan? Kayak ada-ada saja, gitu 😄😄." lanjut Andin.
Senyum Andin makin lebar sembari menanti tanggapan Arman. Namun, yang ia dapatkan justru tatapan tajam dan wajah yang semakin serius dari suaminya.
“Tidak lucu, Din," balas Arman seraya menutup laptopnya dengan pelan namun tegas. “Mungkin buat kamu ini sekadar candaan, tapi untukku ini serius," lanjutnya.
Andin yang tadinya tersenyum jadi tertegun. “Lho, Mas? Aku cuma bercanda. Lagipula itu kan nggak benar," ucap Andin dengan merasa sedikit tidak nyaman.
“Itu bukan tentang benar atau tidaknya, Andin,” balas Arman dengan suara rendah namun tajam. “Tapi soal memilih teman. Teman yang asal bicara dan memperkeruh suasana bisa jadi duri dalam pernikahan kita.”
Andin mengernyitkan keningnya, ia merasa bingung dengan perubahan sikap Arman yang begitu tiba-tiba.
“Mas, Mita kan cuma... khawatir," jelas Andin. “Dia kan teman lama kita," lanjutnya.
“Justru itu, Din.” Arman menatap Andin dalam-dalam. “Teman dekat atau tidak, orang luar tidak perlu ikut campur dalam urusan pribadi kita. Kalau kamu ingin rumah tangga kita tetap utuh, jangan biarkan orang lain campur tangan.”
Andin terdiam sejenak lalu tersenyum tipis dan berusaha mencairkan suasana. “Ya sudah, kalau Mas merasa begitu, aku nggak akan bahas lagi.”
Arman mengangguk singkat, lalu berdiri dari tempatnya, menuju balkon untuk menghirup udara malam.
Sementara, Andin memperhatikan punggung suaminya yang tampak banyak pikiran, namun ia juga merasa sedikit ganjil dengan reaksi Arman tapi tidak terlalu memikirkan hal itu.
Sebenarnya Andin lebih takut jika mereka berada di suasana dan posisi seperti beberapa tahun ke belakang. Dimana mereka hidup sebagai sepasang suami istri dalam satu atap tapi bagaikan orang asing.
Jadi bagaimanapun, Andin berusaha agar hubungan mereka tetap baik-baik saja.
**
Malam semakin larut. Suasana di kamar tampak tenang. Andin sudah terlelap tidur di samping Arman yang masih terjaga, matanya menerawang ke arah langit-langit kamar, namun pikiran dan hatinya berada jauh di tempat lain.
Arman menoleh perlahan dan menatap wajah Andin yang tenang dalam tidur. Istri yang selalu perhatian dan setia. Istri yang dulu, tanpa ragu, ia pilih sebagai pendamping hidupnya.
"Maafkan aku, Andin," batin Arman. "Suatu saat, jika kau tahu tentang semua ini... aku tahu kau akan terluka," lanjut Arman berkata dalam hati sambil mengelus kepala Andin dengan lembut.
Ia lalu berpikir, tidak adil bagi Alya jika terus seperti ini, berada di rumah yang sama dan satu atap dengan Andin yang tentunya interaksi mereka sangat terbatas.
Dalam hatinya, ia mulai mempertimbangkan beberapa kemungkinan.
Rencana Pertama, meminta Alya pindah ke tempat lain.
"Jika Alya tinggal di rumah lain, aku bisa mengunjunginya semauku. Tidak ada yang perlu curiga," batinnya.
Tapi, memikirkan hal itu membuatnya sedikit tidak tenang. Meninggalkan Alya sendirian bukanlah sesuatu yang terlalu bagus.
Rencana Kedua, meminta Alya tetap tinggal, tapi tidak bekerja lagi sebagai ART.
"Kalau Alya tidak bekerja, dia tidak perlu selalu terlihat." Namun, mengingat banyak ART yang mulai mencurigai Alya, ia pun tidak yakin jika opsi ini bisa berjalan dengan mulus.
Rencana Ketiga, mengungkapkan segalanya pada Andin dan berharap yang terbaik.
Arman menghela napas panjang karena menyadari betapa mustahilnya hal itu. "Mengatakan semuanya pada Andin? Tidak mungkin. Tapi... bagaimana caranya bisa tetap adil pada Alya?."
Tiba-tiba, Andin menggeliat dalam tidurnya, seolah merespons kegelisahan Arman. Arman pun berhenti mengelus kepalanya dan kembali menatap Andin yang kini berbalik arah.
"Aku tidak bisa terburu-buru, demi kebaikan mereka berdua."
Bersambung...