“Aku mohon! Tolong lepaskan!”
Seorang wanita muda tengah berbadan dua, memohon kepada para preman yang sedang menyiksa serta melecehkannya.
Dia begitu menyesal melewati jalanan sepi demi mengabari kehamilannya kepada sang suami.
Setelah puas menikmati hingga korban pingsan dengan kondisi mengenaskan, para pria biadab itu pergi meninggalkannya.
Beberapa jam kemudian, betapa terkejutnya mereka ketika kembali ke lokasi dan ingin melanjutkan lagi menikmati tubuh si korban, wanita itu hilang bak ditelan bumi.
Kemana perginya dia?
Benarkah ada yang menolong, lalu siapa sosoknya?
Sebenarnya siapa dan apa motif para preman tersebut...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dendam : 13
Bertepatan dengan itu Sawitri terbangun, dia merasa aneh pada tubuhnya sendiri. "Mengapa bisa sejelas ini, di mana suara itu ...?” Sawitri menjambak rambutnya yang masih sekian senti, kepalanya luar biasa sakit seperti ditusuk ribuan jarum.
Argh!
Pekikan Sawitri berbaur dengan teriakan Rahman.
“Sakit. Ni sakit!” Tubuh Sawitri menegang, telapak tangannya saling mengepal, urat leher menonjol, bola mata sepenuhnya putih, dia kejang-kejang.
“Jangan kau lawan apalagi tolak Sawitri! Terimalah keistimewaan itu!” Ni Dasah menyeringai puas.
Sawitri mengikuti instruksi, menulikan telinga, menutup mata, berkonsentrasi penuh, mencoba menerima keistimewaan yang diberikan oleh penguasa hutan.
“Tolong! Sakit!” Jari-jari kaki Rahman menekuk, satu persatu kuku kakinya dicabut paksa oleh kabut yang membelit nya. Darah mengalir ke sela-sela jari dan turun ke betis.
Argh!
Roh-nya seperti dicabut paksa, tapi sayangnya dia belum mati juga, masih bisa merasakan sakit yang luar biasa.
Perlahan kabut putih tebal itu membentuk sosok layaknya raksasa. Wajah menyeramkan, gigi bertaring runcing, bola mata sebesar bola kasti, rambutnya seperti sapu ijuk, wujudnya berdiri tepat di bawah kepala Rahman.
Tangan besarnya terulur mencekik Rahman yang matanya melotot ketakutan. Tanpa aba-aba memutar kepala Bedebah itu sampai bunyi tulang leher patah. Tak sampai di sana, kuku runcing setajam pisau menusuk lalu menyayat kulit hingga kepala terlepas dari badan.
Bugh!
Kepala Rahman dilempar menghantam pohon besar, menggelinding dengan lidah terjulur mata melotot. Tinggallah bagian leher sampai kaki yang terus mengeluarkan darah.
Sosok raksasa itu menggeram, giginya bergemeletuk, kembali kuku runcingnya mencabik-cabik daging, lalu mematahkan tulang rusuk, menarik jantung Rahman, kemudian menelannya tanpa dikunyah.
Setelahnya membelah jasad Rahman menjadi dua, menjatuhkannya ke tanah, mempersilahkan para pemujanya ikut menikmati.
Bersamaan dengan itu, burung gagak berbunyi saling bersahutan, kawanan Anjing melolong, suara makhluk tak kasat mata terdengar membahana, tawa melengking, sorak-sorai, satu persatu mulai menampakkan wujudnya. Mengerubungi raga tercabik-cabik yang masih berdarah segar.
Ni Dasah bersujud, memberikan penghormatan terdalam, begitu juga dengan Kunti. Selepas penguasa hutan menghilang, mereka langsung mendongak, tidak menghiraukan hantu yang sedang menikmati daging mentah.
“Bukalah matamu, Witri! Resapi apa yang kau rasakan!”
Sawitri mengerjapkan matanya, seketika langsung disuguhi pemandangan menyeramkan yang nyaris membuatnya pingsan.
Sosok-sosok ghaib itu memiliki wujud yang berbeda, mereka tengah menatap lekat Sawitri sambil mengunyah daging berlumuran darah.
“Ni, Nini!” jelas Sawitri sedikit ketakutan, sebab selain Kunti, dia belum pernah melihat lainnya. Kini langsung dihadapkan menatap wujud yang mana terbungkus kain mori, kepala tanpa badan dengan usus terburai, makhluk bergigi runcing, lidah terbelah seperti kadal, dan masih banyak lainnya lagi.
“Jangan takut! Mereka ini akan menjadi temanmu, telinga sekaligus matamu saat kau kembali ke kampung Tani,” tutur Ni Dasah.
Belum sempat Sawitri menjawab, tiba-tiba dia mendengarkan percakapan rombongan pria.
“Betulkah bila Pak kades belum kembali?”
“Iya, sebagian warga sudah mulai mencari. Terakhir kali dia berpamitan kepada istrinya hendak isi bensin, dan berjanji mau menghantarkan Farida manggung.”
“Konsentrasi Sawitri! Kau akan tahu dimana obrolan itu terjadi.”
Layaknya laju anak panah, begitulah perjalanan Sawitri saat berkonsentrasi, dia seperti berlari menuju sumber suara itu, melewati jalan berliku, tumbuhan hijau, pepohonan rindang, terakhir barisan beringin tua, lalu menuju suatu tempat.
“Pos ronda kampung Tani.” Napasnya memburu, dada kembang kempis. “Bukankah tempat itu jauh sekali dari sini, Ni?”
“Benar. Bila kau berkonsentrasi, maka dapat mendengar suara yang jaraknya dua kilometer dari posisimu. Bukan cuma itu, penglihatan mu semakin tajam, dapat menerka gerak-gerik manusia maupun makhluk tak kasat mata. Sekarang berdiri dan berendam lah di dalam kolam itu! Sebagai syarat terakhir ritual ini!”
Ni Dasah mendekati kolam berair jernih yang sekelilingnya terdapat obor menyala.
Pelan-pelan Sawitri turun dari batu persembahan, bunga-bunga bertaburan ikut berjatuhan, dia melangkah tenang. Begitu sampai di tepi kolam berbatu, langsung saja kakinya menuruni undakan batu disusun seperti tangga yang terendam air.
Sawitri masuk sampai bagian terdalam, yang mana airnya mencapai daun telinga, lalu dia menyelam.
Ni Dasah menyiram kolam dengan secawan darah Rahman yang sudah dicampur dengan kembang setaman dan rendaman tulang manusia. Seketika air kolam berbuih, lalu terlihat Sawitri menyembulkan kepalanya.
"Gayatri, Sawitri. Suamiku." Ada embun yang mengaburkan pandangan mata tua itu kala melihat rupa terbaru anak bungsunya.
Sawitri kembali melangkah, menaiki barisan anak tangga, ada yang berbeda dari dirinya.
"Kemari lah! Lihat rupa mu di cermin ini!" Ni Dasah bergeser, terlihatlah cermin datar yang sisi nya berukir kayu tua.
"Ini, ini_ aku, Ni?" Jemarinya mengelus rambut lebat, hitam, lurus yang panjangnya sebahu. "Ini bukan wajahku, tapi mengapa terlihat mirip?"
"Kau kini, perpaduan kakak mu Gayatri, dan bapak kandungmu, Suliwa." Ni Dasah mengamati penampilan Sawitri yang benar-benar berubah, ada kerinduan tak dapat diungkapkan oleh kata-kata.
"Alis, dagu, milikmu. Mata tegas, hidung bangir kepunyaan kakakmu, sedangkan rambut dan postur tubuh duplikat ayahmu."
"Bagaimana bisa, Ni?" Sawitri menoleh, menatap tidak percaya. Meskipun dia tahu bila Ni Dasah ibu kandungnya, tetap saja tidak memanggil ibu, demi kenyamanan bersama.
"Karena aku masih menyimpan secuil tulang ayah dan kakak mu, lalu ku rendam di air campuran darah Rahman," ungkapnya.
Setelah menguasai ilmu hitam, dan telah berhasil mengendalikan hantu. Dia memerintahkan para makhluk halus itu untuk mencari sisa-sisa tulang keluarganya.
Sawitri mengepalkan tangannya, dendam dihatinya bertambah membara. "Kini giliran kalian yang ku Buru, Bantai, Binasakan!"
"Sebelum kau kembali ke kampung Tani, belajarlah mengendalikan keistimewaanmu!"
"Baik, Ni!" Dia menunduk dalam.
.
.
Langit masih menggelap, jam menunjukkan waktu subuh.
Kentongan dibunyikan, para warga berkumpul. Masing-masing membawa obor menyala, mereka hendak melakukan pencarian setelah semalaman pak kades tidak pulang.
Di bawah komando Gandi, Pendi, Herman, iringan pemuda dan para bapak-bapak itu menyusuri jalanan sambil berteriak memanggil nama Rahman.
"Bagaimana rasanya dilanda cemas mencari keberadaan orang terkasih? Begitulah sewaktu dulu aku menangisi kematian suami dan kehilangan putriku!" Bu Mina menyeringai, dia mengintip melalui sela jendela kayu.
Seberapa jauh mereka melangkah, sekuat apapun berteriak memanggil nama kepala desa, pada akhirnya pencarian itu sama sekali tidak membuahkan hasil. Hingga Rahman dinyatakan hilang kemungkinan besar sudah meninggal dunia.
Tratak masih terpasang di halaman rumah Surti, yang mana masih ada saja orang berdatangan mengucapkan belasungkawa.
Pada tengah hari, beberapa pemuda yang membantu dibuat tercengang oleh kedatangan gadis sangat cantik, termasuk ketiga anak buah juragan Bahri.
"Siapa dia? Baru kali ini aku melihat perempuan secantik itu. Calon istrinya tuan Hardi pun lewat!" Salah satu dari mereka berseru, matanya tidak berkedip melihat betis putih mulus yang berusaha turun dari becak motor.
"Gadis atau janda? Apa telah bersuami?"
.
.
Bersambung.
ilate di ketok
🥺
wehhh emg ya klo punya pesugihan jelas pasti punya ya kann
wow lawannya juga gk main main menguasai ilmu hitam ... kira kira ketahuan gk ya....