Dikhianati oleh pria yang ia cintai dan sahabat yang ia percaya, Adelia kabur ke Bali membawa luka yang tak bisa disembuhkan kata-kata.
Satu malam dalam pelukan pria asing bernama Reyhan memberi ketenangan ... dan sebuah keajaiban yang tak pernah ia duga: ia mengandung anak dari pria itu.
Namun segalanya berubah ketika ia tahu Reyhan bukan sekadar lelaki asing. Ia adalah kakak kandung dari Reno, mantan kekasih yang menghancurkan hidupnya.
Saat masa lalu kembali datang bersamaan dengan janji cinta yang baru, Adelia terjebak di antara dua hati—dan satu nyawa kecil yang tumbuh dalam rahimnya.
Bisakah cinta tumbuh dari luka? Atau seharusnya ia pergi … sebelum luka lama kembali merobeknya lebih dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meldy ta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Calon Bayi Baru? Mulai Pusing
Reyhan bergegas cepat membawa Adelia ke rumah sakit, setelah ia melihat istrinya pingsan di kamar mandi. Ia bahkan mengabaikan semua panggilan dari Emma yang sudah lebih sepuluh kali.
Menunggu di samping Adelia sambil melihat dokter memeriksa kondisinya. Reyhan terheran saat dokter wanita itu tersenyum ke arahnya dengan tiba-tiba.
"Tuan Reyhan, istrimu sekarang hamil lagi. Usia kehamilannya baru memasuki dua Minggu."
"Hamil? Tapi, dia tadi pingsan di kamar mandi. Mungkin ... terlalu banyak berpikir."
"Kondisinya baik-baik saja. Tapi, istri Anda cukup kelelahan. Hingga kondisi bayinya cukup lemah untuk sekarang. Tapi jangan khawatir, masih bisa kita atasi. Tolong jangan biarkan dia stress berlebihan."
"Baik, Dok. Terima kasih banyak."
"Sebentar lagi dia akan sadar. Saya permisi dulu kalau begitu."
Reyhan hanya mengangguk sambil menggenggam erat tangan istrinya. Di satu sisi ia merasa senang karena Adelia kembali memberikan calon bayi untuknya. Namun di sisi lain, ia merasa sangat bersalah.
Tak berapa lama. Adelia mulai membuka matanya. Wajah Reyhan pertama yang ia lihat. Namun memori saat di restoran kembali ia ingat.
"Jangan sentuh tanganku. Apapun itu dari tubuhku. Aku akan menggugat perceraian," tegas Adelia tanpa tahu fakta baru tentangnya.
"Del, jangan katakan kebodohan apapun. Sekarang kita pulang ke rumah dulu. Nanti aku akan memberitahumu sesuatu."
"Nggak. Aku mau pulang sendiri."
"Jangan keras kepala, Del. Aku masih menjadi suamimu."
"Kamu berusaha melawanku sekarang, Rey? Setelah apa yang sudah kamu perbuat untukku."
Reyhan mengusap wajahnya dengan kasar. Ia menarik napasnya. "Kamu hamil, Del."
"Apa? Hamil? Tapi, kenapa harus sekarang?"
"Apa maksudmu? Kamu tidak senang dengan kabar ini? Dokter bilang kalau kamu hamil lagi. Baru dua Minggu. Mungkin ... saat malam sepulangku dari Singapura. Kita mulai melakukannya lagi dari sana. Kamu lupa?"
Adelia terdiam dalam kebingungan. Sekilas pikirannya ingin menjauh setelah mendengar fakta pernikahan. Tapi bagaimana mungkin, untuk sekarang.
'Bayi ini sejak dulu aku nanti-nantikan setelah keguguran pertamaku. Tapi kenapa kamu hadir di waktu yang tidak tepat?'
'Hei. Kenapa diam? Ayo kita pulang, Del. Kamu bisa istirahat di rumah sepuasnya. Malam ini aku akan menemanimu."
"Malam ini? Apa malam-malam selanjutnya kamu tidak akan temani aku?"
"Del, jangan pikirkan hal buruk dulu. Ayo kita pulang."
Adelia merasa bimbang antara hati dan logikanya yang sedang berpikir berlawanan. Ia akhirnya mengiyakan ajakan Reyhan untuk pulang.
---
Apartemen Leo.
Leo melangkah cepat dengan satu kantong plastik berisi obat-obatan dan semangkuk bubur ayam hangat di tangannya. Wajahnya tampak tenang, tapi matanya terus mengawasi sekitar seperti orang yang selalu waspada.
Di dalam kantongnya, ada juga vitamin dan permen jahe—semua untuk seorang wanita yang kini terbaring di apartemennya, Vierra.
Leo berbisik pelan, "Nggak boleh ada yang tahu soal ini."
Namun tanpa ia sadari, seseorang sudah mengikuti langkahnya sejak keluar dari parkiran basement.
Juan, pria dengan hoodie abu-abu dan topi miring, berjalan santai di belakang Leo. Ia mengunyah permen karet sambil menatap curiga.
"Orang ini aneh banget. Setahuku dia teman suami Nona Adelia,"gumam Juan pelan.
"Baru aja bos Vincent suruh gue nyari Vierra di Singapura, eh ini orang malah kayak lagi bawa bekal buat pacarnya. Tapi, gelagatnya aneh."
Juan menepi sebentar, berpura-pura membaca papan petunjuk lift saat Leo naik lebih dulu. Ketika pintu lift tertutup, Juan mengintip layar penunjuk lantai. Lantai 12.
"Gotcha," bisik Juan sambil memasang senyum penuh akal-akalan.
Vierra duduk bersandar di sofa dengan selimut menutupi tubuhnya. Wajahnya masih pucat karena demam yang belum sepenuhnya reda, sudah beberapa hari.
Tatapannya kosong menatap layar TV, tapi di dalam hatinya ada perasaan aneh setiap kali mendengar suara pintu dibuka oleh Leo.
Leo masuk dengan langkah ringan, membawa kantong plastik yang tadi ia bawa. "Udah minum obat sore tadi?" tanyanya pelan.
Vierra menggeleng lemah. "Lupa."
Leo mendesah pelan, meletakkan bubur di meja kecil. "Kamu nih keras kepala banget. Gimana mau cepat sembuh kalau nggak nurut?"
Tanpa Leo sadari, hari berganti hari, pelan-pelan perubahan nada bicaranya mulai berganti menjadi lebih lembut, hingga 'aku dan kamu' yang terucap. Tak seperti biasanya.
"Bukan keras kepala, cuma nggak nafsu makan kalau sendirian," gumam Vierra, suaranya pelan seperti anak kecil.
Leo berjongkok di depan sofa, menatap wajah pucat Vierra dengan tatapan lembut yang tak pernah ia tunjukkan pada orang lain, sekalipun kepada kekasihnya.
Ia mengukur suhu tubuh Vierra dengan tangannya. "Masih agak panas. Tapi, kalau nggak makan, nanti tambah parah. Mau aku suapin?"
Wajah Vierra memerah, tapi ia hanya mengangguk pelan. Dalam hatinya, ia tak menyangka pria yang semula sangat dingin padanya bisa bersikap begitu perhatian. Bahkan nada bicaranya pun berubah total.
"Mau. Dari tadi aku nunggu kamu pulang buat suapin aku."
"Iya-iya aku suapin. Aku juga laper," sahut Leo sambil tersenyum manis.
Di luar apartemen.
Juan berdiri di ujung lorong, menempelkan tubuhnya ke dinding. Ia berbisik sendiri. "Hah? Suara sendok jatuh? Ini kayak ... suara orang pacaran lagi romantisan."
Perlahan, Juan berjalan mendekati pintu apartemen Leo. Ia jongkok, mendekatkan telinganya ke celah pintu.
Dari dalam, samar-samar terdengar suara Vierra. "Leo … aku nggak kuat lagi."
Juan menahan napas. "Astaga naga! Itu sepertinya Nona Vierra. Apa-apaan nih? Jangan bilang si Leo punya hubungan spesial sama adiknya bos Vincent."
Tapi suara Leo terdengar membalas dengan nada datar. "Kalau nggak kuat, istirahatlah. Jangan banyak ngomong. Fokus buat sembuh. Aku bakalan jagain kamu terus."
Juan memejamkan mata, berusaha menyimpulkan. "Oke … Vierra nggak kayak orang yang lagi disiksa. Dia malah kayak cewek manja ke cowoknya. Jangan-jangan … dia ke sini bukan diculik tapi suka rela kabur?"
Juan memijit keningnya sendiri. "Gue harus cari bukti dulu sebelum lapor ke Bos Vin. Kalau sampai gue salah ngomong, berabe urusannya."
Di dalam apartemen, Vierra akhirnya tertidur di sofa setelah meminum obat yang disuapkan Leo. Leo duduk di kursi, memperhatikannya dengan mata sayu.
"Kalau saja aku nggak dalam posisi seperti ini," gumamnya lirih. "Mungkin aku nggak akan tega melakukan semua perintah Reyhan."
Tangannya bergerak pelan, membetulkan selimut yang melorot dari bahu Vierra, ia tak ingin wanita itu kedinginan.
"Kenapa harus kamu yang terjebak dalam masalah ini, Vierra? kamu ... bukan seperti seorang pembunuh yang lari setelah kecelakaan itu."
Di luar apartemen, Juan sudah kembali ke mobilnya. Ia mengetik pesan ke Vincent tapi kemudian menghapusnya.
Juan memukul-mukul setir dengan wajah bingung. "Nggak bisa. Gue harus pastiin dulu. Kalau salah info, bisa-bisa Bos Vin nembak kepala gue. Besok gue balik lagi ke sana. Cari bukti kuat! Apa mereka memang punya hubungan atau bukan."
Sementara itu, Leo duduk termenung di ruang tamu. Ia tak tahu bahwa ada mata-mata yang mulai menggali rahasianya dengan Vierra.
ak mampir ya ..