(BUKAN) CINTA PERTAMA

"Tuhan itu Maha Adil, nak. Makanya tidak menciptakan ketenangan dan kebahagiaan hanya untuk orang kaya atau orang berkuasa saja", lanjut sang Kakek.

Naina dan Nicho tertegun mendengarnya. Benar saja, ia selalu merasa kasihan dan menganggap orang yang berada disini atau mereka yang kekurangan secara materi sebagai orang tidak beruntung.

"Ya tidak bisa kakek pungkiri. Jika uang bisa memberikan kita kepuasaan. Tapi sebagian besar sifatnya sementara. Seperti kalian menyukai makan pizza. Dengan uang, kalian jadi bisa membelinya. Tapi setelah makan lalu puas. Dan berhenti disitu"

"Tapi bukan berarti orang lain yang tidak sanggup membeli pizza lantas tidak bahagia. Mungkin mereka lebih bahagia karena mereka menikmati dan mensyukuri dua buah telur ayam yang dicampur dengan tepung terigu dan irisan daun bawang lalu digoreng."

"Dua buah telur campuran yang dimakan bersama dengan empat anggota keluarga lain. Mereka memakannya sembari bercengkrama dan sesekali berebut telur itu" Ucap sang kakek tetap memperlihatkan senyum wibawanya.

Jangan ditanya bagaimana kondisi Naina dan Nicho sekarang. Mereka hanya bisa mengangguk dan menunduk. Menyembunyikan air mata yang sudah hampir keluar dari sumbernya.

"Tapi apakah kakek dan nenek bahagia tinggal disini? Bukankah setiap orang tua selalu ingin menua bersama anak cucunya?" tanya Naina berusaha menguatkan dirinya. namun hati kecilnya ingin sekali mendengar jawaban mereka dalam hal ini.

"Kalau dibilang 100℅ bahagia atau baik-baik saja tentu juga tidak. Bukan hanya di Panti, tapi semua makhluk yang bernyawa pasti akan memiliki ujiannya. Jadi wajar saja jika kakek dan nenek sesekali ada masalah", kali ini sang Nenek yang menjawabnya.

Sang nenek menatap sang kakek sebelum melanjutkan jawabannya. Mereka berdua seperti sedang berbicara lewat mata.

"Dan setiap manusia itu berhak bahagia. Hanya saja sebagian dari mereka memilih mengambil kebahagiannya dengan cara yang salah. Padahal jika kita mau menaati-Nya dan menjauhi hal yang dibenci-Nya. InsyaAllah kebahagiaan itu akan datang. Bukan hanya kebahagiaan tapi lebih dari itu. Yaitu ketenangan."

"Nak Naina dan Nak Nicho tahu apa bedanya kebahagiaan dan ketenangan?" tanya sang Nenek sembari mendekatkan kursi rodanya ke arah mereka.

"Bukankah hampir sama nek?" tanya Nicho dengan menggelengkan kepalanya karena belum terlalu memahami arah pembicaraan.

"Mungkin terlihat hampir sama. Tapi nilainya sangat jauh berbeda" jawab Nenek.

"Biar kakek yang jelaskan untuk kalian." ucap sang kakek sembari melepas kaca matanya.

"Kebahagiaan itu datangnya setelah kepuasan. Sifatnya hampir mirip. Seperti orang yang suka berzina badan. Mereka pasti puas dan bahagia setelah melakukannya. Itu artinya kebahagiaan dan kepuasan bisa dimiliki siapapun dan dengan cara apapun. Baik halal ataupun haram. Tapi berbeda dengan ketenangan", jeda kakek sebelum melanjutkannya.

"Kalau ketenangan. Hanya dimiliki oleh orang yang beriman. Setidaknya dimiliki oleh mereka yang cinta dan takut kepada Tuhan-nya dalam satu waktu. Ketenangan itu yang bisa memberi hanya Tuhan. Mau kalian berada dikasur yang empuk dan kamar yang nyaman, belum tentu kalian bisa merasakan ketenangan. Pun sebaliknya, meskipun kalian berada di medan perang tapi jika Allah mencintai kalian. Percayalah, kalian bisa tenang karena Allah yang memberikannya"

"Kepuasan itu menumbuhkan rasa haus yang terus menerus. Sedangkan ketenangan itu menumbuhkan rasa cukup." ucap kakek mengakhiri jawabannya.

Naina dan Nicho memahami betul perkataan sang Kakek. Ia malu dan tertampar dengan nasihat yang begitu berarti untuk mereka.

"Naina malu kek, nek. Karena Naina belum bisa menjadi manusia yang cinta dan takut dengan Tuhan dalam satu waktu. Naina masih banyak dosa dan kekurangannya" ucap Naina yang sudah sesenggukan dan menghambur ke pelukan sang Nenek.

"Tidak apa-apa cucuku. Semua taubat itu berawal dari kesadaran. Dan semua bukti cinta Tuhan itu berawal dari nasihat yang tanpa sengaja datang kepadamu." Nenek mengelus kepala Naina yang mengingatkannya kepada cucunya.

"Jangan menunda segala kebaikan dan ketaatan yang ingin kalian lakukan. Karena setan suka sekali menggagalkannya", goda Kakek ke arah Nicho yang sedang termenung.

Nicho menatap ke arah sang kakek penuh arti. kakinya juga dengan spontan berlari memeluk sang kakek dan memeluknya.

"InsyaAllah, kek" ucap Nicho lirih tanpa terdengar oleh Naina.

Opa menghampiri mereka setelah puas duduk tidak jauh dibelakang punggung Nicho dan Naina. Bahkan ia mendengar sebagian besar percakapan serius itu.

"Kalian ini bagaimana? bukannya niat kesini berbagi kebahagiaan? kenapa justru kalian yang minta dipeluk dan menangis?" ejek Opa Abbas yang sudah bergabung.

"Yang mana cucumu, Bas? Nicho atau Naina?" tanya sang kakek yang ternyata sudah mengenal Opa.

"Tebak saja, Hamzah. menurutmu yang mana?" tantang Opa

"Kalau dari sifatmu dimasa muda. Aku akan mengira jika Nicho adalah cucumu. Tapi jika mengingat istrimu dimasa muda, Maka aku akan menebak jika Naina'lah yang cucumu" goda Kakek yang ternyata bernama Hamzah.

"Hahaha.. Terserah kau sajalah. Bagiku sekarang mereka berdua adalah cucuku", ucap Opa yang merentangkan tangannya meminta Naina dan Nicho memeluknya.

Tak menunggu lama. Naina dan Nicho berhambur memeluk sang Opa.

"Bagaimana? apa ada sesuatu yang akan kalian bicarakan dengan Opa setelah mendengar nasihat kakek tua yang banyak bicara itu?" tanya Opa kepada Nicho dan Naina. dan untuk kalimat terakhir sengaja ia tekankan untuk mengejek sahabatnya, Hamzah Wiguna.

🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻