Karena kecerobohan sang Kakak, Nadira harus terjebak dengan seorang ketua geng Motor bernama Arash. Nadira dipaksa melayani Arash untuk menebus semua kesalahan kakaknya.
Arash adalah pemuda kasar, dominan namun memenuhi semua kriteria sebagai boyfriend material para gadis. Berniat untuk mempermainkan Nadira, Arash malah balik terjebak di dalam pesona gadis 17 Tahun itu.
Bagaimana ketika seorang badboy seperti Arash jatuh cinta pada gadis tawanannya sendiri?
Temukan kisahnya di sini, jangan lupa follow Ig Author @saka_biya untuk mengetahui info seputar Nadira dan Arash
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SAKABIYA Pratiwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Resah
Nadira pulang lebih cepat, dia bersyukur karena hari ini dia tak memiliki kendala apa pun saat di sekolah.
Nadira pulang mengendap-endap dari sekolah karena tak ingin menerima tawaran pulang bersama dari Ami atau dari Kaizan. Nadira belum siap untuk mengatakan kalau saat ini dirinya sudah tinggal di rumah Arash.
Dan hari pertama ini, Nadira masih bisa lolos, entah dengan hari esok atau esoknya lagi atau esoknya lagi.
Saat Nadira pulang, Nadira tak bertemu dengan Rima. Nadira hanya bertemu dengan Mbak Sari yang sedang sibuk membersihkan rak besar di ruang tamu di lantai bawah rumah.
"Eh, Neng? Udah pulang? Mau langsung makan biar Mbak Sari siapin," sapa Sari dengan ramah.
"Nanti aja, Bi."
"Tapi tadi Mas Arash wanti-wanti Bibi biar nggak telah ngasih kamu makan."
"Wah, kapan Mbak?"
"Tadi lho, pas kalian mau berangkat. Mas Arash bilang, kalo Neng udah pulang, harus langsung disiapin makan siang," jawab Sari.
Jujur saja Nadira tersanjung dengan itu. Ternyata Arash perhatian juga.
"Nanti aja ah, belum lapar soalnya, Mbak."
"Ya udah, kalo udah lapar, bilang aja ya."
"Iya, Mbak."
Sekali lagi Nadira mengedarkan pandangannya ke setiap sudut rumah dan dia tak menemukan Rima di sudut rumah mana pun. Nadira juga tak melihat mobil di carport, apa mungkin Rima sedang pergi ke luar?
"Oh iya, Mbak. Mama nggak ada di rumah ya?" tanya Nadira yang akhirnya kepo.
"Tadi pergi ke luar, Neng. Udah dari tadi sih keluarnya, nggak bilang mau kemana-mana nya ...."
"Oh ...."
"Nah itu ibu udah pulang!" tunjuk Sari ke halaman depan rumah dan mobil Rima baru saja masuk ke dalam car port. Nadira jadi segan, dia pun memutuskan untuk segera beranjak ke kamar.
"Oh iya, ya udah, aku ke kamar ya, Mbak." Nadira mempercepat langkah menaiki tangga rumah menuju ke kamarnya.
"Lho, Neng? Tadi nanyain ibu? Ibu udah datang kok malah pergi?" Sari sampai heran.
Tak lama Rima masuk ke dalam rumah dengan tas belanjaan, entah apa isinya.
"Mbak, Arash udah pulang?" tanya Rima pada Sari yang masih sibuk dengan pekerjaannya.
"Belum, Bu. Kalo neng Nad udah barusan," jawab Sari dengan jujur.
Mendengar itu, Rima terlihat tidak terlalu peduli.
"Suruh dia makan, jangan lupa bikinin susu juga pagi sama malam!" titah Rima, tapi sikapnya masih dingin setiap kali menyinggung soal Nadira.
"Baik, Bu."
Rima pergi ke kamarnya dan meninggalkan belanjaannya di meja makan.
Setelah Sari selesai beres-beres di ruang tamu, lantas Sari beranjak ke belakang dan menyempatkan diri untuk membereskan kantong belanjaan yang Rima bawa tadi.
"Oalaaah, susu ibu hamil? Judes-judes juga ternyata ibu peduli sama Neng Nadira ...." gumam Sari. Dia cukup takjub saat melihat ada 4 kotak susu ibu hamil untuk Nadira yang dibelikan oleh Rima.
*
*
Nadira bosan mengurung diri di kamar. Hanya membolak balik halaman buku yang sedang ia pelajari, tapi isi dari buku itu sama sekali tak masuk ke dalam otaknya karena tak fokus.
"Udah sore kok Kak Arash belum pulang ya? Nomornya juga nggak aktif! Kemana sih? Bikin cemas aja!" Nadira resah menunggu kepulangan Arash.
Sebenarnya Nadira bosan berdiam saja di kamar, ingin sekali pergi ke luar rumah untuk mencari jajanan yang ada di sekitar komplek, tapi sungguh Nadira segan, takut bertemu dengan Rima.
Beberapa saat lalu, Sari membawakan makan siang tapi tak habis karena Nadira memang sedang tak selera untuk makan yang berat-berat.
"Nenek kamu tuh judes banget, Dek. Sampai-sampai mamamu ini segan buat ke luar kamar! Nanti, kalo kamu ditakdirkan buat tinggal sama nenek kamu, kamu baik-baik yaa, nggak boleh nakal biar nggak diomelin sama Nenek kamu ...." oceh Nadira sembari mengelus-elus perutnya yang masih rata itu.
"Duh, papa kamu juga kemana ya? Kebiasaan keluyuran! Nggak inget sama istri di rumah! Padahal kan istrinya bosen pengen diajak jajan ke luar!" gerutu Nadira, dan perlahan namun pasti, Nadira mulai nyaman bermanja pada Arash.
Kriiiing, dering telpon berbunyi dan Nadira mendapati Dewi yang menghubunginya saat ini.
Aaah, tante Dewi. Kalau harus jujur, Nadira juga meragu dan menjadi sangat segan pada Dewi. Nadira ingat betapa Dewi kecewa atas kehamilan Nadira.
"Duuh, tante Dewi ... Mau apa ya? Mau ngomel bukan ya?" Nadira jadi over thinking.
"Tapi kalo nggak diangkat juga ... Nggak enak .... Ya udah deh!" Akhirnya Nadira mengangkat panggilan telpon dari Dewi.
"Nad?" Dewi langsung menyapa begitu panggilan tersambung.
"Iya, Tante ...."
"Hhh ...." Nadira mendengar Dewi menghela nafas dengan berat lalu mengembuskannya. Nadira tahu kalau perasaan Dewi masih tidak baik-baik saja.
"Kamu udah pulang sekolah?" tanya Dewi berbasa-basi.
"Udah, Tan. Aku langsung pulang ke rumah Kak Arash."
"Arash nggak kasar kan sama kamu?"
"Nggak, dia udah jauh lebih baik sekarang."
"Syukurlah, terus gimana dengan mamanya?"
Nadira tak mungkin menjawab dengan jujur kalau sikap Rima masih sangat dingin sampai detik ini. kalau Nadira jujur, pasti itu akan membuat Dewi menjadi semakin cemas kepadanya.
"Baik, Tante. Mereka baik, tante nggak usah cemas."
"Tante lega dengernya. Tante takut kalo kamu nggak betah dan nggak berani bilang."
"Betah kok."
"Jangan lupa makan ya, dan tante udah transfer uang bulanan kamu."
"Iya, makasih banyak tante."
"Kalo ada apa-apa, segera hubungi tante ya."
"Iya."
Nadira juga merasa lega karena Dewi masih sangat mengkhawatirkannya. Setelah lama berbasa-basi, obrolan berakhir dan Nadira benar-benar lega karena Dewi selalu peduli pada dirinya.
Air minum di dalam tumbler sudah habis, Nadira pun akan turun ke lantai bawah rumah untuk mengisi tumblernya itu.
Nadira berjalan menuruni tangga dengan hati-hati. Dia berharap tak akan berpapasan dengan Rima, tapi ....
"Tawuran? Terus sekarang gimana?"
Rima sedang menelpon di teras rumah dan kata-kata yang paling jelas Nadira dengar adalah kata 'tawuran'. Sontak perasaan Nadira jadi resah. Nadira merasa kalau itu tentang Arash. Pasti yang tawuran itu adalah Arash.
"Saya akan ke sana. Oke," lanjut Rima lalu masuk ke dalam rumah dengan raut wajah penuh dengan rasa risau. Wajahnya kembali agak berubah saat bertemu dengan Nadira di ruang dekat kamarnya.
"M-mah, siapa yang tawuran?" tanya Nadira akhirnya tak bisa menahan diri untuk mengetahui kabar Arash.
"Arash," jawab Rima sesingkat mungkin.
"Terus sekarang gimana? Kak Arashnya nggak kenapa-napa?" tanya Nadira yang juga tak kalah cemas.
"Arash udah diamankan di kantor polisi dengan semua pelaku tawuran itu," jawabnya dengan sikap yang konstan dinginnya.
"Di kantor polisi?" gumam Nadira dan sungguh dia tak bisa membayangkan. Nadira lupa mewanti-wanti pada Arash untuk berhenti melakukan kegiatan-kegiatan unfaedah. Padahal baru saja subuh tadi Nadira merasa bangga karena Arash mau diarahkan untuk sholat bersama.
Rima masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil tasnya. Rima tak membuang banyak waktu, dia akan langsung ke kantor polisi untuk mengurus pembebasan Arash. Dan Nadira masih di tempat semula.
"Mama mau ke mana?" tanya Nadira saat Rima kembali ke luar kamar dan bersiap untuk pergi.
"Kantor polisi."
"Boleh nggak aku ikut, Mah?" harap Nadira. Sungguh ia ingin ikut untuk menjemput Arash dari kantor polisi.
"Kamu tunggu aja di sini!" sahut Rima.
Nadira kecewa, tapi dia tak bisa memaksakan diri. Perkataan Rima harus ia turuti.
Rima pergi tanpa mempedulikan Nadira lagi yang lupa akan rasa hausnya. Yang menjadi fokus Nadira saat ini adalah keadaan Arash saat ini.
"Ya ampun, kenapa harus tawuran sih? Di siang bolong pula!" sesalkan Nadira dan dia hanya bisa menunggu dengan resah.