follow Ig : dhee.author
Mungkin ini tidak sepantasnya. Tapi apa daya kalau Mika terlanjur dibuat nyaman oleh kakak iparnya sendiri.
Sedangkan lelaki yang dia sebut suami, dia lebih mementingkan wanita lain ketimbang dirinya.
Nalurinya sebagai perempuan yang haus akan perhatian sudah terpenuhi oleh kakak iparnya, Gavin.
Hingga perlahan cinta itu tumbuh dan tak bisa dicegah lagi. Rasa ingin memiliki itu begitu kuat. Sekuat rintangan yang harus mereka lalui agar bisa bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhessy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 35
Hati yang sudah dipatahkan, tak akan bisa kembali seperti semula meskipun sudah memaafkan.
Mikha senang akhirnya Gavin meminta maaf dan menyadari kesalahannya. Tapi Mikha tak bisa bersikap sama seperti dulu setelah apa yang diucapkan Gavin kemarin.
Mau bermanja-manja lagi, takut Gavin merasa tidak nyaman. Ingin meminta waktu Gavin sebentar saja, takut Gavin mengira dirinya tak bisa memahami kesibukan Gavin.
Semua terasa hambar dan tidak semanis dulu.
Bahkan Mikha mulai terbiasa tanpa barisan pesan yang masuk ke handphonenya. Mikha mulai terbiasa tanpa panggilan video yang menenaminya menjelang tidur malam. Mikha mulai terbiasa.
Seperti pertemuan mereka di Bandung kemarin, pertemuan itu berakhir dengan Gavin yang berpamitan karena masih ada pekerjaan yang harus dia selesaikan.
Meskipun berat hati Mikha untuk melepaskan Gavin, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menahan Gavin agar tetap di sampingnya.
Cinta itu masih utuh. Tak berkurang sedikitpun meskipun sudah dikecewakan.
Tapi pertengkaran mereka kemarin menjadi benteng besar yang menghalangi Mikha untuk bersikap seperti dulu lagi.
"Mama punya beberapa brosur universitas di luar negeri. Kamu bisa baca-baca dulu. Barangkali kamu berminat untuk ke sana."
"Mama pengen aku kuliah di luar negeri?"
Feni tersenyum dan mengangguk antusias. "Sangat ingin, sayang. Tapi mama nggak mau maksa kamu. Tapi setelah apa yang terjadi selama ini, bukankah ini kesempatan bagus untuk mengembangkan diri? Status kamu yang sendiri bisa menjadi kesempatan emas untuk meraih apa yang kamu cita-citakan."
Dalam hati Mikha membenarkan ucapan Feni. Ini menjadi kesempatan agar dia bisa sekolah tinggi. Mengharapkan agar segera bisa hidup dengan Gavin juga entah kapan akan terwujud.
"Kenapa harus luar negeri, Ma? Di Indonesia nggak kurang universitas yang bagus."
"Iya, memang." Feni mengangguk membenarkan. "Mama cuma menawarkan saja, Mikha. Kalau kamu tetap memilih di Indonesia ya nggak masalah. Lebih dekat dengan papa dan mama."
Dalam hati Mikha tertawa sinis. Lebih dekat kata Feni? Sampai sekarang pun mereka tidak punya waktu untuk Mikha. Apalagi jika nanti Mikha sudah di luar negeri? Mereka pasti akan semakin gila kerja dan tidak lagi mengingat kalau mereka punya anak.
"Nanti aku pikirin lagi, Ma," ucap Mikha seraya beranjak dari tempat duduknya.
***
"Kita mau kemana, sih, Kak?"
"Bentar lagi sampai, Sayang. Sabar, ya."
Perjalanan yang mereka lewati sudah lebih dari tiga jam. Jakarta-Surabaya lewat jalur udara. Dan sekarang entah kemana Gavin akan membawa Mikha pergi.
Mereka harus menyewa sebuah mobil beserta sopirnya karena Gavin sendiri belum hafal daerah yang akan mereka datangi.
Baru kali ini Gavin berani mengajaknya pergi jauh. Tanpa seijin kedua orangtua Mikha pula. Rasanya takut Gavin akan berbuat macam-macam. Meskipun sepenuhnya Mikha percaya bahwa Gavin tidak mungkin melakukannya.
"Bromo?"
Gavin mengangguk dan tersenyum. "Tempat ini indah banget, Mikha. Kakak yakin kamu suka."
Mikha tersenyum tipis. Mikha anggap ini adalah upaya Gavin untuk mengembalikan kepercayaan Mikha.
"Kita nggak menginap di sana, kan, Kak?"
"Menginap, dong. Kakak udah pesan penginapan buat kita." Ucapan Gavin membuat Mikha menatap Gavin dengan tatapan protes."Dua kamar," lanjut Gavin membuat Mikha menghela napas lega.
"Meskipun sebenarnya kakak cuma pengen satu kamar aja, sih."
"Itu, sih, maunya Kak Gavin. Mau cari kesempatan, kan?"
"Selama ada kenapa nggak dimanfaatkan, Sayang?"
"Oh, gitu? Oke. Kita balik pulang aja kalau gitu."
"Jangan, dong! Nanggung, udah sampai sini, kok. Kamu tenang aja, Sayang. Sesuai janji kakak, kakak akan menjaga kamu sampai nanti jika waktunya sudah tiba."
Mikha tersenyum lega tanpa bisa bertanya kapan waktu itu akan terwujud. Mikha takut jika pertanyaannya akan menimbulkan pertengkaran seperti kemarin.
Mikha hanya bisa berharap, waktu itu segera tiba dengan jalan yang mudah.
Setelah sekian waktu melewati perjalanan yang melelahkan, akhirnya mereka sampai di padang Savana Bromo.
Sebuah hamparan padang rumput yang luas yang berada di sisi selatan gunung bromo. Sepintas hamparan sabana berupa bukit – bukit hijau nan indah yang menyerupai bukit Teletubbies dalam film anak – anak.
"Pakai jaketnya," ucap Gavin sebelum mereka turun dari mobil. Udara di sana cukup dingin. Apalagi jika menjelang sore hari.
Hawa dingin dan angin berhembus pelan menerpa wajah Mikha saat Mikha baru saja turun dari mobil.
Gavin segera menggandeng tangan Mikha dan mengajaknya untuk menikmati pemandangan indah di lereng gunung Bromo tersebut.
"Wah, cantik banget, Kak."
"Kamu suka?"
Mikha mengangguk antusias.
"Tadinya kakak mau ajak kamu ke pantai. Tapi takut kalau kamu masih trauma karena kejadian kemarin."
"Aku nggak pernah trauma sama apapun, Kak. Pantai dan gunung sama-sama indah. Semua aku suka."
"Sekarang kakak fotoin kamu, ya. Nanti kita juga foto berdua."
Mikha mengangguk lagi dengan antusias. Berkunjung ke tempat seindah ini memang harus diabadikan. Apalagi datang bersama orang yang tersayang.
Suatu saat, Mikha ingin datang lagi. Tapi dengan status yang berbeda dengan Gavin.
Sudah menjadi suami-istri, mungkin. Atau malah sudah punya anak nantinya.
Pipi Mikha terasa panas membayangkan hal itu terjadi.
Berbagai gaya Mikha sudah diabadikan oleh Gavin. Mereka juga foto bersama, meminta tolong kepada salah satu pengunjung untuk mengambil foto mereka berdua.
"Bagus banget, kak." Mikha memekik bahagia. Bahkan dia berjingkrak senang melihat hasil foto mereka terlihat sangat bagus. Hal yang umum dilakukan seorang wanita jika dia merasa bahagia.
"Aku jadiin wallpaper bagus nih." Mikha langsung mengubah wallpaper handphonenya. Fotonya bersama Gavin yang dia jadikan wallpaper.
"Bagus, kan, Kak?" Mikha meminta persetujuan.
Gavin mengangguk dan tertawa kecil. "Bagus banget."
Gavin terus memandang Mikha dengan lekat. Mikha tengah sibuk menggeser slide demi slide foto yang baru saja mereka ambil.
Mencintai Mikha adalah hal yang membahagiakan untuknya. Selama hidupnya, Gavin baru merasakan hidupnya penuh warna setelah dia mengenal Mikha secara dekat.
"Sayang."
"Ya?" Mikha menjawab tanpa menoleh. Kedua matanya sibuk mengangumi keindahan alam yang tersaji di hadapannya.
"Ada yang mau kakak bicarakan."
Seketika Mikha menoleh. "Apa?" tanyanya dengan jantung yang berdegup kencang.
Cukup lama Gavin terdiam. Di dalam benaknya sibuk merangkai kata yang telah untuk berbicara dengan Mikha. Tangannya menggenggam kedua tangan Mikha dengan erat.
"Ada apa, Kak?" desak Mikha tak sabar.
Gavin menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan perlahan. Menatap Mikha dengan lekat. Rasanya sangat berat untuk mengucapkan apa yang ada di dalam benaknya. Tapi semua itu harus dia lakukan.
"Kita sampai di sini saja, ya?"
Mikha membelalakkan matanya. Masih belum paham dengan apa yang dimaksud Gavin. "Apanya? Jalan-jalannya sampai di sini aja? Memangnya kakak punya tujuan lain apa gimana? Aku nggak ngerti."
"Hubungan kita, Sayang. Hubungan kita cukup sampai di sini."
Mendengarnya, dada Mikha seperti terhimpit batu besar. Sesak. Mikha langsung menarik tangannya yang berada di genggaman Gavin dengan kasar.
"Apa maksud kakak?" Nada suara Mikha terdengar bergetar.
"Maaf," ucap Gavin pelan tanpa sanggup menatap kedua mata Mikha yang sudah meneteskan air matanya.
"Kak Gavin bawa aku ke tempat sejauh ini, seindah ini, hanya untuk menghancurkan aku?"
Mikha tertawa kosong. Entah Gavin yang tak punya perasaan atau memang Mikha yang terlalu bodoh kembali menaruh kepercayaan.
Tadinya dia pikir, ini adalah upaya Gavin untuk memperbaiki apa yang telah dia rusak. Tapi ternyata Gavin justru menghancurkannya.
"Emang bener kata Mama sama Papa. Udah seharusnya aku pergi dari keluarga kalian. Aku menyesal sudah memperjuangkan kakak di hadapan mereka."
Mikha terduduk lemas. Pertahanan yang dia lakukan akhirnya runtuh juga. Mikha terisak dengan hati yang penuh luka. "Kenapa, Kak? Kenapa kamu tega sama aku? Belum puas lihat adik kamu nyakitin aku, hah? Sampai kamu harus ikut menyakitiku pula."
"Kakak sudah berusaha memperjuangkan hubungan kita. Tapi orangtuamu benar-benar tak merestui kita, Mikha."
"Dan kamu menyerah, kak?"
"Kamu bisa mendapatkan yang lebih baik."
Mikha tertawa sinis. Mengangguk-anggukkan kepalanya, merasa paham dengan apa yang di maksud Gavin. "Iya. Aku akan mendapatkan yang jauh lebih baik dari kamu."
Mikha melangkahkan kakinya meninggalkan Gavin yang terdiam. Bahkan Gavin tak mengejar Mikha sama sekali.
Setelah Mikha mengambil tasnya yang dia tinggalkan di dalam mobil, Mikha pergi meninggalkan tempat tersebut.
Meskipun tak tahu kemana Mikha harus melangkahkan kakinya, Mikha tak peduli. Yang dia inginkan hanya segera jauh dari Gavin.
Selama handphone dan dompet ada di tasnya, semua akan terasa aman. Mikha tidak mungkin akan mati di tempat karena tersesat atau kelaparan kecuali jika memang sudah waktunya Mikha tiada.
Mikha patah hati, tapi akalnya masih sehat. Nalarnya masih bisa bekerja dengan baik.
Mikha harap semua ini hanya mimpi. Tapi Mikha juga sadar bahwa apa yang terjadi saat ini adalah sebuah kenyataan.
🌹🌹🌹
🗣️ : Ini novel mau di bawa kemana, sih, Thor?
🤓 : Enggak tau! baca aja kalau masih berminat.
🤣🤣🤣