Tidak cantik, tidak menarik, tidak berdandan apik, tidak dalam keadaan ekonomi yang cukup baik. Namun, hidupnya penuh polemik. Lantas, apa yang membuat kisah hidupnya cukup menarik untuk diulik?
Tini Suketi, seorang wanita yang dijuluki sebagai legenda Desa Cokro yang melarikan diri. Kabur setelah mengacaukan pesta pernikahan kekasih dan sahabatnya.
Didorong oleh rasa sakit hati, Tini berjanji tak akan menginjak kampungnya lagi sampai ia dipersunting oleh pria yang bisa memberinya sebuah bukit. Nyaris mirip legenda, tapi sayangnya bukan.
Bisakah Tini memenuhi janjinya setelah terlena dengan ritme kehidupan kota dan menemukan keluarga barunya?
Ikuti perjalanan Tini Suketi meraih mimpi.
***
Sebuah spin off dari Novel PENGAKUAN DIJAH. Yang kembali mengangkat tentang perjuangan seorang perempuan dalam menjalani hidup dengan cara pandang dan tingkah yang tidak biasa.
***
Originally Story by juskelapa
Instagram : @juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Pilihan Ketiga (1)
Kalau ditanya apa maunya sekarang, Tini hanya ingin melihat Evi lulus kuliah secepatnya. Melihat Dayat berhasil masuk universitas favoritnya setelah sekali gagal mencoba. Urusan menikah dan menemukan jodoh, ia masih bisa bersabar.
Tapi, hidup di lingkungan sosial di mana kodrat seorang wanita lajang terus dikuntit oleh orang sekitar, membuat Tini seolah mengejar target untuk menikah secepatnya.
Wanita lajang mana yang tak mau menjalin mahligai rumah tangga secepatnya? Dalam sudut hati Tini yang terdalam pun, dia ingin sekali. Terlebih melihat rumah tangga sahabatnya yang begitu harmonis.
Melihat Dijah bermanja di lengan suaminya, melihat Bara menimang dan memanjakan putrinya, Tini juga mau seperti itu.
Tapi bagaimana cara menemukan sosok seperti yang diimpikannya? Terlebih dengan segala kekurangan yang ada dalam dirinya. Masa lalu yang cuma bisa diterima dan diajak berdamai, tanpa bisa mengubahnya. Kenyataan soal adanya seorang bapak yang tabiatnya melekat susah diubah, mungkin sampai kiamat.
Tini termangu di meja kantornya. Kabar pencapaian target minggu itu sudah dapat. Hanya kabar jodohnya yang belum dapat.
"Tin, nanti sore kita keluar, ya. Seperti yang saya bilang kemarin. Ketemu temen saya yang mau buka usaha travel di sini. Buat daftar asuransi perjalanan yang menurut kamu terbaik untuk ditawarkan." Agus tiba-tiba muncul di depan meja Tini membuyarkan lamunannya.
"Sore jam berapa, Pak?" tanya Tini. Sekarang ia harus memisahkan pelan-pelan memanggil Mas dan Pak. Kemarin-kemarin sewaktu sering jalan dengan Agus, Tini sempat kemayu memanggil Agus dengan sebutan 'Mas' di kantor.
Agus terlihat tak masalah dipanggil dengan sebutan 'Mas'. Tapi, lama kelamaan Tini menyadari. Untuk apa panggilan saja yang berubah, namun statusnya masih sama.
"Sore jam empat, ya." Agus menjawab usai melirik jam di pergelangan tangannya.
"Baik, Pak. Saya kerjakan dulu list perusahaan asuransi perjalanan yang bagus menurut versi saya. Ini saya rinci sekalian keuntungan dan jenisnya?" tanya Tini lagi dengan raut serius.
"Boleh--boleh kalau kamu sempat," jawab Agus.
"Sempat, kok," jawab Tini, menggeser kursor komputernya dan menatap layar.
Agus masih berdiri menatap Tini. Merasa tak ada lagi yang perlu dikatakannya dan Tini terlihat begitu dingin, Agus mengangguk. "Oke, kalau gitu selamat mengerjakan." Agus menunggu jawaban Tini.
"Terima kasih," jawab Tini.
"Oh," gumam Agus, memutar tubuhnya dan berlalu dari depan meja Tini.
Mulai pukul sepuluh, Tini berkutat di depan komputernya. Ia asyik dan tenggelam memilah-milah perusahaan asuransi perjalanan yang ia nilai memiliki keuntungan paling diminati oleh calon pelancong. Tak terasa, sudah dua jam lebih ia menyusun daftar itu.
"Mbak Tini, ayo makan," ajak Dwi.
"Kalian duluan aja. Aku masih nanggung sedikit lagi." Tini menjawab tanpa menoleh.
Bowo, Dwi dan Mail yang hari itu mengerjakan rekapan kunjungan selama seminggu, berduyun-duyun keluar ruangan.
"Surat! Tutup pintunya lagi!" teriak Tini dari mejanya. "Kamu ini kebiasaan! Ngerjain apa-apa belum beres langsung main tinggal aja. Kasian istrimu nanti!" sergah Tini.
Mail yang merasa bersalah, kembali menghampiri pintu. "Mail, Mbak. Nama saya Mail," kata Mail saat meraih handle pintu.
"Sama aja! Mail is surat! Ayem spiking inglis," kata Tini dalam bahasa Inggris versinya yang berarti aku bicara dalam bahasa Inggris.
Mail menggeleng pasrah dan menutup pintu ruangan mereka.
Baru saja pintu itu tertutup, kepala Agus menyembul dari balik pintu.
"Ehem!" Agus berdeham.
Tini mendongak. Siapa lagi yang paling suka berdeham di kantor itu selain atasannya.
"Ya?" Tini mengangkat alisnya seelegan mungkin.
"Makan siang?" tanya Agus.
"Mmmm, sorry. Saya masih kenyang. Duluan aja, Pak. Lagipula …." Tini mengangkat kertas yang berada di tangannya.
"Oh, oke. Kalau gitu, jangan lupa nanti sore." Agus mengatupkan mulutnya. Ia masih berdiri menunggu reaksi Tini selanjutnya.
Tini memandang wajah Agus beberapa saat, "Kalau bisa--"
"Ya?" potong Agus tak sabar. Menanti apa yang akan diucapkan Tini selanjutnya.
"Kalau bisa setelah keluar pintunya ditutup kembali," pesan Tini, tersenyum manis kepada Agus yang langsung memasang wajah kesal.
Pria itu berlalu dengan menutup pintu ruangan lebih keras dari biasanya.
Tini terkikik. "Modyaro! Rasakno kowe, Gus! (Sukurin! Rasain kamu, Gus!)"
Akhirnya Tini bisa bekerja kembali dalam hening dan ketenangan. Ia melihat dari dinding kaca kalau Agus keluar kantor sendirian. Kalau sebelumnya Tini resah kalau Agus akan meninggalkan kantor, kini Tini tak peduli. Ia tak peduli semalam Agus di mana, semalam makan di mana, semalam duduk di mana. Terserah, pikirnya. Ia sudah lelah dengan drama anak bunda yang sedang diperankan oleh Agus.
Pukul empat sore kurang lima menit, Tini menyandang tasnya dan menggenggam sebuah map berisi kertas-kertas penawaran yang tadi dibuatnya. Ia langsung menuju ruangan Agus yang pintunya terbuka.
"Pak!" seru Tini.
Agus tersentak. Kedatangan Tini mengejutkannya karena sejak tadi ia sedikit melamun sambil menggulir layar tablet. "Oh, udah selesai. Oke, kita berangkat sekarang." Agus berdiri dari kursinya dan berjalan mengitari meja. Dari atas meja ia memungut ponsel dan kunci mobil.
"Kita bakal ketemuan dengan teman-teman lamaku. Temen kampus. Sebenarnya di antara mereka, aku ini lebih senior dua tahun. Aku masuk kuliah tiga tahun sesudah tamat SMA." Agus yang jarang bercerita soal dirinya, sore itu sepertinya sedang ingin membuka dirinya pada Tini.
Tini menanggapinya biasa saja. "Jadi buka perusahaan ini seusai tamat SMA?" tanya Tini lagi.
"Enggak langsung, sih. Aku kerja dulu bareng orang selama dua tahun. Tahun ketiga, aku memberanikan diri manfaatin warisan ayahku. Aku buka kantor kecil-kecilan untuk ngejual produk perusahaan asuransi yang udah tenar. Awalnya cuma dua orang karyawannya," beber Agus seraya tertawa kecil usai mengatakan kalimat terakhir.
Untungnya mereka keluar kantor pukul empat sore. Jalanan belum terlalu padat dan parkiran masih banyak yang kosong. Kalau mereka tiba di mall pukul enam sore, sudah bisa dipastikan kalau mereka harus mengelilingi tiap lantai untuk mencari lahan parkir.
"Biasanya kalau ngumpul, sih, di warung kopi. Tapi, kali ini ini temanku yang baru dateng, lagi pengen makanan khas Jakarta," kata Agus saat mereka sudah melangkahkan kaki memasuki mall.
"Oh, gitu …. Memangnya berapa orang, Pak?" tanya Tini.
"Ada Heru dan Bara. Kamu pasti udah terbiasa dengan kehadiran mereka," jawab Agus.
Tini nyaris tersandung saat mendengar nama Heru. Seketika ia langsung mengecek tampilannya. Kenapa si Angsa ini tak ada mengatakan akan bertemu siapa? Tini melirik kesal ke arah Agus.
To Be Continued
Like-nya jangan lupa. langsung scroll ke bawah untuk lanjutannya.