JIWA ASEP DI TUBUH PEWARIS PRATAMA
Aksa Pratama. Pewaris triliuner. Ganteng. Lemah. Dan... KOMA setelah disiksa ibu tiri sendiri.
Semua orang menunggu Aksa mati agar harta Pratama Group bisa dijarah.
Tapi yang bangun BUKAN Aksa. Melainkan ASEP SUNANDAR.
Pemuda Sunda dari kampung, jago Silat Cimande (Paling Jago Se-Jawa Barat!), humoris kayak Kabayan, dan Savage-nya minta ampun!
simak kisahnya ada gaya action, romansa, komedi ada
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 34 jerat yang sesungguhnya
Asep gak tidur semalaman.
Duduk di lantai kamar, punggung nempel ke dinding dingin. HP digenggam sampe layar redup sendiri. Foto Alina di situ—diambil dari belakang, gak sadar dia diikutin.
Jari-jarinya gemetar setiap kali geser layar, zoom in, coba cari detail apapun yang bisa kasih petunjuk. Tapi gak ada. Cuma foto biasa yang bikin dadanya mau meledak.
Jam 3 pagi. Asep masih melek. Mata perih, kepala kayak dipukul dari dalem. Napas pendek-pendek—rasanya pengen teriak tapi suara застрял di tenggorokan.
"Kenapa... Kenapa harus dia..."
Bisikan serak. Suara pecah kayak orang abis nangis berjam-jam—padahal dia bahkan gak ngeluarin air mata. Terlalu capek buat nangis.
Pintu kamar terbuka pelan. Arkan masuk, pake piyama dinosaurus yang kegedean, ngusap mata.
"Kak... Kenapa belum tidur?"
Asep langsung beresin ekspresi—maksa senyum walau rasanya wajah mau copot.
"Kakak gak bisa tidur. Banyak pikiran."
Arkan masuk, duduk di samping Asep. Badan kecilnya nempel—anget. Polos.
"Kakak lagi sedih lagi ya?"
Asep gak jawab. Tangannya gerak otomatis, ngusap kepala Arkan pelan.
"Arkan... Kalau suatu hari Kakak harus pergi—"
"JANGAN!" Arkan langsung teriak, nangis. "Kakak janji gak akan pergi! Kakak janji!"
Asep langsung peluk Arkan erat. Bocah itu nangis keras, tubuh gemetar di pelukannya. Asep ngerasain dadanya remuk—remuk sampe gak tau gimana caranya napas.
"Maafin Kakak... Maafin Kakak..."
Mereka pelukan lama. Arkan akhirnya ketiduran di pelukan Asep—napas pelan, masih sesenggukan. Asep gak gerak. Cuma megang adiknya, natap langit-langit yang gelap.
"Gue gak boleh mati... Gue gak boleh ninggalin dia..."
---
Subuh. Asep turun ke ruang makan—mata sembab, langkah gontai. Mama Ratna udah duduk di meja, pegang cangkir kopi yang gak diminum. Matanya kosong, natap jendela yang masih gelap.
"Mama...?"
Mama Ratna loncat kaget. Cangkir nyaris jatuh.
"Aksa... Kamu... Kamu belum tidur?"
Asep duduk di seberang. Tangannya ditaroh di meja, ngepal pelan.
"Mama juga kan?"
Mama Ratna diem. Matanya mulai basah.
"Mama... Mama takut, Aksa. Mama takut Rendra beneran sakitin kamu. Dia udah gak waras. Mama liat matanya kemarin—itu bukan mata anak Mama."
"Mama..." Asep pegang tangan Mama Ratna yang dingin. "Gue janji gak akan kenapa-kenapa. Gue—"
"Jangan janji yang gak bisa kamu tepetin." Mama Ratna ngegenggam balik, erat sampe tangannya gemetar. "Mama udah kehilangan Aksa sekali waktu koma. Mama gak sanggup kehilangan lagi."
Asep ngerasain tenggorokannya sesak. Kata-kata застрял, gak bisa keluar.
"Mama tau... Kamu bukan Aksa yang dulu. Mama tau kamu Asep. Tapi buat Mama..." Mama Ratna nangis—nangis tanpa suara, air mata ngalir deras. "Kamu tetep anak Mama. Darah atau bukan, gak penting. Kamu anak Mama."
Asep berdiri, peluk Mama Ratna dari samping. Mama nangis di bahu Asep—tubuh bergetar keras.
"Maafin gue, Ma... Maafin gue bawa masalah ke keluarga ini..."
"Bukan salahmu..." Mama Ratna ngusap punggung Asep. "Bukan... salahmu..."
Mereka pelukan lama sampe langit mulai terang. Papa Arjuna turun, berhenti di tangga—natap mereka dengan tatapan lelah tapi lembut. Dia gak ngomong apa-apa. Cuma jalan deket, ikut peluk mereka berdua.
Keluarga. Bukan darah. Tapi nyata.
---
Siang itu, Asep ke kampus dengan perasaan hampa. Jalan kayak robot—masuk kelas, duduk, buka buku. Tapi gak ada yang masuk ke otak. Cuma wajah Alina yang terus muter.
Dosen ngomong di depan. Mahasiswa nyatet. Asep cuma natap jendela—langit biru cerah yang ironisnya bikin dia makin gelap.
"Aksa!"
Suara Alina. Asep loncat dari kursi—buru-buru noleh. Alina berdiri di pintu kelas, senyum lebar, bawa dua cup kopi.
"Lo bolos mata kuliah pertama. Gue cariin. Nih, kopi." Alina masuk, duduk di samping Asep yang masih berdiri.
"Lo... Lo gak papa?" Asep ngeliatin Alina dari atas sampe bawah—ngecek luka, tanda kekerasan, apapun.
Alina bingung. "Gue baik-baik aja. Emang kenapa?"
Asep duduk pelan. Tangannya gemetar waktu nerima cup kopi.
"Lo... Lo hati-hati kan kemarin pulang?"
"Hah? Iya, biasa aja. Naik angkot kayak biasa. Kenapa sih lo? Dari tadi aneh." Alina pegang dahi Asep. "Lo demam? Panas nih."
Asep ngegenggam tangan Alina—genggaman kenceng, desperate.
"Alina... Mulai sekarang, lo pulang bareng gue. Atau sama temen. Jangan sendirian. Please."
Alina ngerasain sesuatu yang gak beres. Tatapan Asep—takut, panik, kayak orang di ujung jurang.
"Aksa... Lo takutin gue. Ada apa?"
Asep gak bisa jelasin. Gimana caranya bilang ke Alina kalau dia jadi target gara-gara deket sama Asep? Gimana caranya bilang kalau Rendra—kakak tirinya sendiri—sekarang jadi monster yang siap bunuh siapapun buat balas dendam?
"Percaya sama gue. Please. Jangan sendirian."
Alina natap mata Asep lama—mata yang basah, penuh ketakutan yang dia coba sembunyiin.
"...Oke. Gue percaya."
---
Sore. Asep pulang sendirian—sengaja. Dia gak mau bawa Alina atau siapapun. Di jalan, dia ngerasain hawa dingin—kayak ada yang ngikutin.
Asep berhenti di tengah jalan sepi. Noleh.
Rendra berdiri 10 meter di belakang. Mata merah menyala—bukan mata manusia lagi. Aura hitam pekat ngegulung di sekeliling tubuh, bikin lampu jalan kedip-kedip.
"Lo... Lo beneran jadi boneka dia..." Asep mundur selangkah, tangan ngepal.
"Boneka?" Rendra ketawa—suara bergema, kayak banyak orang ketawa bareng. "Aku dapet kekuatan yang gak pernah aku bayangin. Dan lo? Lo cuma penipu yang kebetulan beruntung."
"Gue gak nyuri hidup ini! Gue gak minta—"
"TAPI LO AMBIL!" Rendra melesat—kecepatan gak wajar. Tangan nyekek leher Asep, angkat sampe kaki gak nyentuh tanah.
Asep susah napas. Tangan coba lepas cekikan tapi Rendra terlalu kuat. Mata mulai kunang-kunang.
"Lo tau gak... Rasanya disingkirin sama keluarga sendiri?" Rendra bisik—suara dingin, penuh benci. "Gue anak sulung. Gue yang harusnya dapet semuanya. Tapi lo dateng... Lo yang BUKAN DARAH DAGING KELUARGA INI... Dan Papa milih LO?!"
Asep ngeluarin bola api biru—lempar ke muka Rendra. Rendra terlempar, cekikan lepas. Asep jatuh, batuk-batuk keras.
Rendra bangun—wajah gosong dikit tapi langsung sembuh. Dia senyum.
"Kekuatan spiritual lo masih lemah. Lo gak akan menang."
Asep berdiri—kaki gemetar tapi tetep berdiri.
"Gue gak peduli menang atau kalah. Yang penting..." Asep ngeluarin aura biru makin besar. "GUE GAK AKAN BIARIN LO SAKITIN KELUARGA GUE!"
Mereka bentrok—bola api biru vs aura hitam. Ledakan bikin aspal retak, kaca jendela rumah sekitar pecah.
Asep kena tendangan—tubuh melayang, punggung bentur tembok. KRAK. Tulang rusuk retak. Darah keluar dari mulut.
"Sakit... Banget..."
Rendra jalan deket—belati hitam muncul di tangannya, terbuat dari energi gelap murni.
"Sekarang... Lo mati."
Belati ditusukkan—tapi...
CLANG!
Tongkat kayu ngeblock. Nyi Saodah berdiri di depan Asep, wajah datar tapi mata nyala putih.
"Bocah tolol. Gue bilang latihan dulu, lo malah ngelawan musuh level 10 sendirian. Pengen mati cepet apa?"
Asep terbatuk—darah keluar lagi. "Nyi... Gue... Gue harus—"
"Diem. Istirahat. Biar Nenek yang beresin." Nyi Saodah ayunin tongkat—segel spiritual muncul, lingkaran raksasa ngiket Rendra di tengah.
Rendra teriak—suara gak manusiawi. Aura hitam meledak, nyoba pecahin segel.
"Lo pikir segel murahan bisa ngiket gue?!"
"Segel murahan?" Nyi Saodah senyum tipis—senyum yang gak pernah Asep liat sebelumnya. "Ini segel kelas S, anak muda. Butuh 50 tahun buat nguasain."
Segel makin kenceng. Rendra mulai kesakitan—tubuhnya mengecil, aura hitam kesedot paksa keluar.
"AAARRGHHHH!"
Tapi tiba-tiba... Segel pecah.
Dari balik Rendra, muncul wujud raksasa—bayangan hitam setinggi 5 meter, mata merah menyala, tanduk panjang keluar dari kepala.
Ki Jangga. Wujud asli.
Nyi Saodah mundur—wajahnya berubah serius.
"Anjir... Dia dateng langsung..."
Ki Jangga ketawa—suara menggelegar bikin tanah bergetar.
"Nyi Saodah... Lama tidak bertemu. Masih suka ikut campur urusan anak muda?"
"Lo gak seharusnya turun langsung. Ada perjanjian antara spiritual realm sama dunia manusia." Nyi Saodah pegang tongkat lebih erat.
"Perjanjian?" Ki Jangga nunduk—muka raksasa itu tepat di depan Nyi Saodah. "Aku... Tidak... Peduli."
Ki Jangga ayunin tangan—Nyi Saodah terlempar puluhan meter, tubuh bentur pohon. Tongkat patah dua.
"NYI!" Asep teriak—coba berdiri tapi tubuhnya gak kuat.
Ki Jangga noleh ke Asep—tatapan dingin, penuh minat.
"Jiwa yang unik... Jiwa yang melompati kematian... Aku... Ingin... Jiwa itu."
Ki Jangga jalan deket—tiap langkah bikin tanah retak. Asep cuma bisa mundur sambil merangkak. Darah ngalir dari mulut, tulang rusuk terasa patah semua.
"Gue... Gue gak akan nyerah..."
Ki Jangga berhenti tepat di depan Asep. Tangan raksasa terangkat—cakar tajam siap merobek.
Asep nutup mata.
*Mamah... Ale... Mama Ratna... Arkan... Alina... Maafin gue...*
"AKSA!"
Suara Papa Arjuna.
Asep buka mata—Papa Arjuna lari dari ujung jalan, wajah panik. Di belakangnya ada Mama Ratna, Arkan, bahkan Alina.
"JANGAN MENDEKAT!" Asep teriak—suara serak, putus asa.
Tapi mereka tetep lari.
Ki Jangga senyum.
"Bagus... Semakin banyak... Semakin mudah..."
Dan cakar itu turun.
---
**BERSAMBUNG**
**Word count: ~1,500 kata**