Di sebuah pulau kecil di Jeju, Lee Seo Han menjalani kehidupannya yang sunyi. Ditinggal kedua orang tuanya sejak remaja, ia terbiasa bergulat dengan kesendirian dan kerasnya kehidupan. Bekerja serabutan sejak SMA, ia berjuang menyelesaikan pendidikannya sendirian, dengan hanya ditemani Jae Hyun, sahabatnya yang cerewet namun setia.
Namun musim panas itu membawa kejutan: Kim Sae Ryeon, cahaya yang menyinari kegelapan hidupnya. Perlahan tapi pasti, Seo Han membuka hatinya untuk merasakan kebahagiaan yang selama ini ia hindari. Bersama Sae Ryeon, ia belajar bahwa hidup bukan hanya tentang bertahan, tapi juga tentang mencintai dan dicintai.
Tapi takdir berkata lain. Di puncak kebahagiaannya, Seo Han didiagnosis mengidap ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis), penyakit langka yang secara perlahan akan melumpuhkan tubuhnya. Di hadapan masa depan yang tak menentu dan ketakutan menjadi beban, Seo Han membuat keputusan paling menyakitkan: mengorbankan cintanya untuk melindungi orang tersayang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rahmad faujan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
APAKAH AKU AKAN MATI?
Dring!
Suara elektronik yang nyaring memecah lamunannya. Layar panggilan di atas loket berkedip. Nomornya dipanggil. B-114.
Seo Han tersentak, jantungnya berdebar kencang. Ia merasa baru saja duduk, tetapi antrean bergerak lebih cepat dari yang ia duga, bagai kehidupan yang menariknya mendekati suatu takdir. Kakinya terasa kaku dan berat bagai dijejali timah ketika ia berdiri.
Ia berjalan pelan menuju loket yang tertera: Loket 4. Sebuah konter dengan kaca tebal, bagai pos pemeriksaan di penjara high-tech.
Di balik kaca itu, seorang staf administrasi yang mengenakan seragam biru muda menatapnya tanpa ekspresi. Wajahnya yang kelelahan dan berkantung mata besar menunjukkan ia telah berurusan dengan ratusan pasien pagi ini, menyaksikan ratusan drama ketakutan dan harapan.
"Selamat siang. Kartu identitas dan rujukan Anda, silakan," kata staf itu, suaranya datar, profesional, dan hampa seperti mesin.
Seo Han menyerahkan kartu identitas penduduknya melalui celahan sempit di kaca. "Saya ingin melakukan pendaftaran untuk pemeriksaan. Saya sudah membuat janji telepon."
Staf itu mengetik cepat di keyboard. Klak-klik-klak. Suara tuts keyboard terdengar berirama, monoton, dan dingin, seperti detak jantung mesin.
"Nama... Le Seo Han, usia 20. Alamat Jeju desa gimnyeong-ri," ujarnya sambil menatap layar. "Ya, terdaftar untuk pemeriksaan umum dan tes lanjutan. Apakah Anda ingin mendaftar untuk paket tes spesifik sekarang?"
"Tes spesifik?" tanya Seo Han, alisnya berkerut. Jantungnya berdebar lebih kencang.
"Ya. Tes lanjutan dari rujukan yang dikirimkan rumah sakit Jeju. Apakah Anda ingin melanjutkan dengan pencitraan resonansi magnetik (MRI) atau hanya pemeriksaan darah dan urin dasar?"
Mendengar kata MRI, seluruh tubuh Seo Han menegang, bagai disetrum. Ini jauh lebih serius dari yang ia bayangkan atau harapkan. Kata itu adalah pemicu, sebuah mantra yang langsung menyedotnya keluar dari kenyataan. Seketika, hiruk pikuk RS Songpa Raya yang megah menghilang. Suara mesin, bisikan orang, semuanya meredam. Ia tidak lagi berada di Seoul, melainkan terlempar kembali ke ruangan berbau antiseptik yang pengap di rumah sakit kecil di Jeju, di ranjang yang membuatnya merasa begitu rentan.
...----------------...
⏪ FLASHBACK: Diagnosis yang Menggantung (Rumah Sakit Jeju, Beberapa Hari Lalu)
Seo Han terbaring di ranjang rumah sakit yang keras dan tidak nyaman, tangannya tertancap jarum infus yang terasa asing. Wajahnya pucat pasi, bagai lilin, dahi dan tubuhnya mengeluarkan keringat dingin yang membuatnya menggigil. Ia baru saja sadar dari demam tinggi yang membuatnya tak sadarkan diri, terperangkap dalam mimpi buruk yang berulang.
Dokter Park, seorang dokter paruh baya dengan rambut mulai memutih dan kerutan di sudut matanya, duduk di sampingnya, memegang clipboard dengan serius. Nadanya lembut tapi berisi beban.
"Demamnya sudah turun, Tuan Le," ujar Dokter Park, mencoba tersenyum menenangkan. "Tapi ada beberapa hasil tes darah yang membuat kami khawatir. Beberapa indikatornya... tidak normal. Kami perlu pemeriksaan lebih lanjut."
Seo Han menelan ludah, tenggorokannya terasa kering dan sakit. Ia merasa lemah, seperti boneka yang talinya putus. Ia mencoba mengangkat tubuhnya, tetapi otot-ototnya terlalu lemas, menyerah pada gravitasi.
"Apa... apa aku sakit parah, Dokter?" tanyanya, suaranya lemah, serak, dan hampir berbisik, penuh ketakutan anak muda yang menghadapi ketidakpastian.
Dokter Park menghela napas panjang, menundukkan pandangannya ke clipboard seolah-olah data di sana menyakitkan untuk dibaca. "Kami tidak bisa tahu secara jelasnya, Nak. Karena keterbatasan alat kami di sini—kami tidak memiliki fasilitas MRI canggih yang memadai—kami tidak bisa memastikan sumber masalahnya. Dari gejala pusing berat, telinga berdenging, dan hasil darah ini... kami harus mengesampingkan kemungkinan-kemungkinan serius." Dokter Park mengangkat pandangan, matanya penuh empati dan kekhawatiran yang tulus. "Kami sudah membuatkan surat rujukan khusus ke RS Songpa Raya di Seoul. Mereka memiliki tim neurologi dan peralatan diagnostik terbaik di negara ini. Saya sangat menyarankan Anda untuk pergi ke sana sesegera mungkin."
Seo Han hanya bisa mengangguk lemas, kepalanya berdenyut pelan. Kata-kata "kemungkinan-kemungkinan serius" bergema di kepalanya, lebih menyakitkan daripada demamnya.
...----------------...
Kembali ke Masa Sekarang
Seo Han tersentak kembali ke kenyataan RS Songpa Raya. Suara staf loket memanggilnya untuk kedua kalinya, nadanya sedikit mendesak dan kesal.
"Tuan Le?Kami tidak punya banyak waktu. Tolong jangan buang-buang waktu pasien lain," ujar staf itu dengan nada datar namun menusuk, suaranya menembus lubang kecil di kaca loket bagai tuduhan.
Seo Han segera mengenyahkan bayangan ranjang rumah sakit di Jeju dan wajah Dokter Park yang khawatir. "Baik," jawabnya tiba-tiba, suaranya lebih tegas dari yang ia duga, meskipun dadanya berdebar kencang bagai drum perang. "Lakukan sekarang. Apapun tes yang diperlukan, saya akan lakukan. Semuanya."
Staf administrasi itu kembali mengetik cepat. Klak-klik-klak. Suara keyboard yang monoton kini terasa seperti suara mesin hitung mundur menuju sebuah vonis.
"Baik,kami proses. Total biaya untuk tes darah lengkap, tes urin, dan Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI) kepala adalah 1.850.000 KRW," kata staf itu dengan lugas, lalu menyerahkan selembar kertas tagihan dan jadwal berwarna. "Anda bisa membayar di Loket 4 ini. Setelah pembayaran, Anda akan diarahkan ke Lantai 3 untuk tes darah, lalu ke Lantai 5 untuk tes urin, dan terakhir ke Lantai Bawah Tanah 1 untuk MRI."
"Terima kasih banyak," ujar Seo Han otomatis. Ia mengambil kertas itu, merasakan dinginnya kertas tebal di tangannya. Angka 1.850.000 KRW (sekitar delapan belas juta lima ratus ribu rupiah) terpampang nyata, menambah beban finansial yang konkret di atas ketakutan fisiknya yang abstrak.
Uang yang ia tabung sedikit demi sedikit, dengan susah payah, selama bertahun-tahun dengan impian membuka toko bunga kecilnya sendiri, akhirnya terkikis untuk hal ini. Untuk ketidakpastian. Untuk ketakutan. Impiannya seakan layu sebelum sempat mekar, digantikan oleh bayangan mesin MRI yang gelap dan dingin.
Ia berjalan beberapa langkah menjauhi loket. Dunia di sekitarnya seolah bergerak normal—seorang anak kecil tertawa, mesin kopi di kejauhan berdengung, pengumuman tentang seorang dokter terdengar—tetapi bagi Seo Han, dunia serasa berhenti dan bergema. Angka di tagihan itu bukan sekadar angka; itu adalah harga dari ketenangannya, dari masa depannya.
Ia menggenggam erat tagihan dan jadwal di tangan kanannya. Kepalanya menunduk sedikit, pandangannya terpaku pada pola abstrak di lantai marmer yang mengilap. Ia takut. Sangat takut. Ia takut hasil pemeriksaan akan membenarkan kekhawatiran samar dari dokter di Jeju, akan memberikan nama pada hantu yang mengganggu kesehatannya.
Lebih dari segalanya, ia takut karena ia belum bicara soal ini—tentang betapa seriusnya kemungkinan ini—kepada Ayahnya; ia hanya menelpon untuk membuat janji bertemu di kafe, sebuah pertemuan yang sekarang terasa seperti pengadilan. Dan yang paling menyakitkan, ia belum bisa menjelaskan apapun, meminta maaf, atau sekadar mendengar suara Jae Hyun.
Jika terjadi sesuatu yang benar-benar buruk... bagaimana aku akan memberitahu mereka? Bagaimana cara memulai kalimatnya?
Seo Han berbalik dan kembali ke Loket 4, di mana ia menyerahkan kartu debitnya dengan tangan yang hampir gemetar. Saat mesin EDC mencetak struk pembayaran, ia merasa seperti menandatangani kontrak dengan takdir. Setelah pembayaran selesai, ia mendapati dirinya kembali berdiri di tengah lobi utama rumah sakit raksasa itu, sendirian, benar-benar sendirian, memegang jadwal yang menentukan nasibnya:
Pukul 13.15: Tes Darah (Lantai 3, Ruang Phlebotomi)
Pukul 14.00: Tes Urin (Lantai 5, Kamar Koleksi Specimen)
Pukul 15.30: MRI Kepala (Lantai B1, Ruang Radiologi)
Ia melihat jam di ponselnya: 13.10. Waktunya sangat mepet