Anna adalah anak haram yang hidup menderita sejak kecil. Jalan hidupnya ditentukan oleh keluarga Adiguna secara kejam. Bahkan Anna harus menikahi calon suami kakak tirinya yang kabur meninggalkan pernikahan. Lion Winston, kekasih kakak tirinya, mereka saling mencintai, tapi entah kenapa kakak tirinya meninggalkan laki-laki sempurna itu. Tetapi Anna, gadis malang yang akan menerima penderitaan akibat kesalahan kakak tirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elizabetgultom191100, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perdebatan tiada ujung
Anna benci dibohongi, terutama oleh orang yang dia sayang. Ia menaruh kepercayaan pada Leon, tetapi pria itu malah mengecewakannya. Betapa getir hatinya menerima kelakuan suaminya.
"Anna aku bisa menjelaskan semuanya. Aku sudah hampir pulang setelah menelponmu tapi Laura memberi kabar bahwa James sedang demam tinggi. Aku di rumah sakit menemani anakku, Anna. Kumohon mengertilah." jelas Leon dengan wajah lembut.
"Lalu siapa yang mengerti aku? Dari dulu aku selalu dipaksa untuk mengerti keadaanmu, lalu aku kapan dimengerti. Cobalah berada di posisiku agar kau mengerti apa yang kurasakan. Aku tidak butuh kata-kata manis dari mulutmu." Anna benci mengapa dirinya begitu cengeng saat berdebat dengan pria itu. "Dari awal sudah kubilang untuk mengakhiri pernikahan ini."
Leon menghela nafas, merasa bersalah dan kewalahan menangani wanitanya. "Sayang, aku benar-benar gila dengan semua ini. Aku juga tidak ingin membuatmu sakit hati, tapi James adalah anakku, bagaimana mungkin aku menelantarkannya, dia masih bayi." Leon frustasi.
Tatapan Anna menyala, sungguh geram melihat Leon yang tidak bisa tegas. "Kalau begitu, pilih salah satu di antara kami!" seru Anna. "Jangan terlalu serakah, hidupmu tidak akan pernah damai jika memilih keduanya."
Bagaimana mungkin Leon mampu memilih salah satu di antara mereka. Keduanya amat berarti baginya. "Jangan memberi pilihan yang tidak bisa kupilih sayang."
Anna tersenyum miris, suaminya bahkan tidak mampu memberi keputusan. Sejak awal dia yang terlalu berekspektasi tinggi pada pria itu. Jika memang dalam hati pria itu hanya ada dirinya, maka ia tidak akan ragu untuk berpikir.
Wanita itu muak, tidak ingin lagi melanjutkan perdebatan yang tidak pernah memiliki ujungnya. Anna melangkah menuju pintu rumah, membuat Leon panik. "Kau mau kemana?" pria itu pun dengan langkah cepat menghalangi niatnya.
"Jangan menghalangiku, lebih baik aku pergi dari sini." menghempaskan tangan Leon. Kekuatan Leon tidak setara dengannya, pria itu menariknya kuat.
"Jangan membuatku marah Anna. Kalau ada masalah jangan coba-coba menghindar, apalagi sampai pergi dari rumah." emosi pria itu mulai terpancing. Ia benci ketika Anna selalu ingin pergi dari sisinya.
"Menghindar katamu? Apakah kau tidak ingat, di setiap perdebatan kita selalu kau yang menang sendiri. Dan aku hanya bisa menerima semua keputusanmu demi bisa bertahan denganmu." wanita itu sangat kesal. Tidak hanya pada Leon, ia lebih marah pada dirinya sendiri. Harusnya dia pergi pergi sejak dulu.
"Astaga, ada apa denganku. Kenapa aku mencintaimu, mencintaimu sangat menyakitkan." memukuli kepalanya dengan kuat, sementara air matanya mengalir deras. Ia tidak tahu, tumpukan sakit hati di dalam dadanya terasa sesak membuat Anna menjadi histeris. "Aku benci perasaan ini! Benci!" teriak wanita itu.
Reaksi Anna membuat Leon terpaku melihatnya. Wanita yang ia cintai itu terlihat kacau. Leon tidak tega melihatnya, ia langsung menariknya dalam pelukannya. Menenangkannya meski istrinya masih meronta.
"Lepaskan aku Leon. Aku membencimu!" seru Anna.
"Sst.. sayang tenanglah." sekuat tenaga ia menahan pemberontakan Anna. Hingga tubuhnya lemas, barulah ia berhenti berontak. Anna terkulai lemas di dalam pelukannya. "Sayang, jangan seperti ini. Maafkan aku, aku janji tidak akan mengulanginya lagi." Leon berbisik lembut kemudian membopong Anna kembali ke sofa.
Tatapan Anna yang kosong membuat Leon cemas. Wanita itu belum pernah seperti ini sebelumnya. Reaksinya barusan benar-benar di luar dugaannya. Kini wanita itu bahkan tidak melawan ketika Leon mengusap air mata dan merapikan rambutnya. Entah sudah berapa kali kata maaf terucap dari bibir pria itu, tapi Anna tidak menggubris.
Ia tidak tahu, tubuhnya tiba-tiba saja merasa tidak nyaman. Ada dorongan kuat dari dalam perutnya membuatnya ingin mual. Dalam hitungan detik, gejolak ingin muntah muncul begitu saja. Ia mendorong Leon dengan sisa tenaga yang dia miliki, berlari menuju wastafel dapur. Di sana ia memuntahkan cairan yang terasa pahit dan asam di mulutnya. Leon menyusul istrinya, ia menjadi sangat panik, apalagi ketika wajah istrinya menjadi pucat.
"Sayang, kau kenapa?" tanpa rasa jijik sama sekali Leon memijat tengkuk hingga punggung istrinya.
Anna menggeleng, "Lemas sekali." keluhnya, matanya entah kenapa menjadi gelap dan dipaksa tertutup.
Dengan sigap Leon menangkap tubuh wanita itu dan membawanya ke kamar mereka. "Kau sakit." Leon menyentuh kening Anna yang sudah tidur di tempat tidur mereka.
Beberapa menit yang lalu, wanita itu histeris dan memberontak, tapi kini istrinya itu tampak lemah dan pucat. Saat Leon hendak mengambil minyak angin dari lemari, gejolak ingin muntah muncul lagi. Kali ini Anna berlari ke kamar mandi dan memuntahkan cairan itu lagi. Anna sangat menderita dengan kondisi tubuhnya yang berubah tiba-tiba.
Leon yang datang menyusul ke kamar mandi, memijat punggungnya lagi setelah agak tenang barulah membopongnya ke tempat tidur. "Kau ini kenapa sebenarnya? Lebih baik kita ke rumah sakit, aku tidak bisa melihatmu seperti ini." sambil menyelimuti wanita itu.
Anna menggeleng, ia menenggelamkan tubuhnya ke dalam selimut, entah kenapa ranjang ini terasa sangat nyaman. "Aku ingin tidur saja." suaranya terdengar lemah. Meski begitu gejolak mual terus muncul tetapi ia berusaha menahannya. Kali ini gejolak itu tidak separah tadi.
Niat untuk pergi meninggalkan rumah sirna seketika. Tadinya ia masih sangat marah setelah berdebat dengan suaminya. Ia benci dan tidak mau melihat wajahnya. Tapi rasa meriang dan mual yang tiba-tiba menggerogoti tubuhnya membuat semua kemarahan itu hilang ditelan bumi. Ia bahkan membiarkan Leon memeluknya. Pelukan pria itu terasa menenangkan, tapi tidak dengan kelakuannya.
Setelah istrinya benar-benar tidur, ia mengambil air putih dari dapur, sebagai persediaan mana kala Anna muntah lagi. Kemudian pergi ke ruang tamu dan menghubungi Diana. Ia ingin menanyakan tentang kondisi istrinya baru saja. Ia tidak tahu cara merawat Anna karena belum pernah merawat orang sakit sebelumnya.
"Sudah berapa kali dia mual-mual?" tanya Diana di seberang sana.
"Dua kali, Bu. Tapi aku melihatnya berusaha menahan mualnya." jawab Leon yang tampak cemas. "Apakah aku perlu membawanya ke rumah sakit?"
"Sekarang jangan dulu, sudah malam. Besok saja. Atau kalau tidak besok beli testpack dan tes di pagi hari." ucapan itu membuat Leon membeku. Tadinya ia terlambat memahami kalimat ibunya.
"Bu... apa maksud ibu Anna sedang..."
"Tidak tahu. Kita lihat saja besok. Kalau kau berharap demikian, maka berdoalah malam ini agar harapanmu tercapai."
Setelah selesai bicara, Leon kembali ke kamar. Istrinya tampak tertidur pulas. 'Hamil' kata itu muncul di kepalanya sejak tadi. Leon tidak bisa mengendalikan jantungnya yang berdebar-debar.