Clara Moestopo menikah dengan cinta pertamanya semasa SMA, Arman Ferdinand, dengan keyakinan bahwa kisah mereka akan berakhir bahagia. Namun, pernikahan itu justru dipenuhi duri mama mertua yang selalu merendahkannya, adik ipar yang licik, dan perselingkuhan Arman dengan teman SMA mereka dulu. Hingga suatu malam, pertengkaran hebat di dalam mobil berakhir tragis dalam kecelakaan yang merenggut nyawa keduanya. Tapi takdir berkata lain.Clara dan Arman terbangun kembali di masa SMA mereka, diberi kesempatan kedua untuk memperbaiki semuanya… atau mengulang kesalahan yang sama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anastasia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 34.Terusik.
Bel tanda masuk berbunyi nyaring, memecah riuh kantin yang baru saja kembali tenang setelah “drama makan siang” tadi.
Siswa-siswa mulai bergegas kembali ke kelas, membawa bisik-bisik yang masih hangat.
Namun di tengah kerumunan itu, Armand berdiri diam, menatap dari kejauhan ke arah pintu keluar kantin. Tatapannya tajam, penuh campuran marah dan tidak rela.
Ia melihat dengan jelas Clara berjalan di samping Finn, langkahnya tenang, tapi… ada yang membuat dadanya terasa sesak.
Karena saat itu, Clara menggandeng tangan Finn.
Bukan kebetulan, bukan karena terpaksa.
Gadis itu terlihat menarik tangan Finn lebih dulu, seolah ingin memastikan lelaki itu tetap berjalan di sampingnya.
Bukan di belakang. Bukan menjauh.
Finn sempat menatap tangan mereka yang saling menggenggam, lalu tersenyum kecil.
Ia tidak berkata apa-apa, hanya menggenggam balik hangat, mantap, tapi tidak berlebihan.
Ria yang berjalan di belakang mereka menutup mulutnya, menahan jerit gemas.
“Oh my God… ini beneran terjadi,” gumamnya setengah berbisik. “Tangan digandeng, guys. Tangan. Digandeng. Di depan publik.”
Beberapa siswa yang kebetulan lewat di koridor sempat menoleh, sebagian tersenyum, sebagian berbisik dengan nada antusias.
“Clara sama Finn makin deket, ya?”
“Barusan mereka ribut sama Armand, sekarang malah gandengan?”
“Wah, ini beneran cinta segitiga sekolah, nih…”
Namun semua bisikan itu hanya menjadi latar samar bagi satu orang yaitu Armand.
Ia berdiri kaku di dekat tiang koridor, tangan mengepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih.
Wajahnya tidak lagi sekadar marah. Ada sesuatu yang lebih dalam… rasa kehilangan yang tak mau ia akui.
Loly, yang berdiri di sampingnya, memperhatikan ekspresi itu.
“Armand…” katanya pelan.
Tapi lelaki itu tidak menoleh. Pandangannya tetap pada Clara dan Finn yang kini berbelok di ujung koridor, menuju tangga menuju lantai dua.
“Dia bahkan nggak pernah gandeng tanganku di depan orang dulu,” ucap Armand lirih, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.
Loly menatapnya kaget ada luka dalam nada suaranya yang membuatnya tak bisa berkata apa-apa.Sebenarnya ada hubungan apa Armand dan Clara?. pikir Loly.
Armand saat ini menahan rasa amarahnya melihat kedekatan mereka, ia tidak memperdulikan Loly yang ada disamping nya.
Finn dan Clara berhenti sejenak di depan kelas.
Clara melepas genggamannya perlahan, menunduk sedikit. “Tadi… maaf ya, kalau kelihatan aneh,” ucapnya pelan.
Finn tersenyum kecil. “Nggak masalah. Aku malah seneng.”
“Seneng?”
“Ya. Itu berarti kalau kamu mengumumkan hubungan kita secara resmi didepan umum.”ucap Finn sambil mengenggam kembali tangan Clara yang tadi di lepas oleh Clara.
Clara menatapnya, bingung. Tapi sebelum ia sempat menjawab, Finn sudah lebih dulu berbalik berjalan bergegas ke kelasnya, meninggalkan gadis itu dengan degupan jantung yang tak mau tenang.
“Finn.. ”, lanjut Clara dengan suara pelan. “sepertinya dia salah paham”
Clara juga berjalan kearah kelasnya sendiri, sambil tersenyum merasakan genggaman tangan Finn.
Bel masuk sudah lama berhenti berbunyi, tapi suasana di kelas masih belum sepenuhnya tenang.
Guru Bahasa Inggris, Ibu Rani, berdiri di depan kelas sambil menepuk-nepuk tumpukan kertas tugas yang baru saja dikumpulkannya.
“Baik, semuanya sudah saya periksa. Tapi beberapa anak belum mengumpulkan tugas minggu lalu,” ucapnya dengan nada tegas. Tatapannya berkeliling ruangan, lalu berhenti pada Armand.
“Armand, tolong kamu bantu Ibu ya. Bawa semua tugas anak-anak ke ruang guru. Letakkan di meja Ibu Rani.”
Armand, yang duduk di bangku belakang, langsung berdiri. “Baik, Bu.”
Ia melangkah ke depan kelas, menumpuk kertas tugas satu per satu, lalu memasukkannya ke dalam map besar berwarna hijau.
Ria yang duduk di belakang Clara langsung mencondongkan tubuh, berbisik pelan.
“Clara, kamu sadar nggak? Armand dari tadi ngelihatin kamu terus.”
Clara pura-pura tidak mendengar, matanya fokus pada buku catatan. Tapi jari-jarinya yang menggenggam pena sedikit gemetar. Ia tahu Ria benar. Tatapan Armand sejak tadi membuatnya tidak nyaman berbeda dari dulu, sekarang terasa dingin dan penuh amarah yang disembunyikan di balik diam.
Setelah semua tugas terkumpul, Armand melangkah keluar. Tapi begitu pintu kelas tertutup, ekspresinya berubah. Senyum miring muncul di wajahnya. Ada sesuatu yang lain di matanya rasa puas yang dingin.
Setelah Armand keluar bersama bu Rani, ia memandang sejenak kearah Armand pergi.
Sebenarnya apa mau nya sih?. pikir Clara.
Di ruang guru, suasana sedang tidak menyenangkan.
Suara keras terdengar dari sudut ruangan.
“Finn, kamu itu siswa pintar, tapi kenapa akhir-akhir ini tugasmu kosong terus?!” suara Pak Rudi, wali kelasnya, meninggi.
Finn berdiri di depan meja, menunduk dalam, bahunya tegang.
“Saya… saya minta maaf, Pak. Minggu ini saya agak sibuk—”
“Alasan!” potong Pak Rudi. “Sibuk bukan berarti kamu bisa abaikan tanggung jawab. Ini bukan pertama kalinya, Finn.”
Saat itulah Armand masuk membawa map tugas. Ia menatap sekilas ke arah Finn, lalu meletakkan map di meja guru Bahasa Inggris yang kebetulan bersebelahan dengan meja Pak Rudi.
Tapi langkahnya terhenti sejenak. Tatapannya berpindah ke arah Finn yang masih dimarahi.
Sudut bibirnya terangkat senyum tipis, penuh ejekan.
“Oh…” gumamnya lirih tapi cukup terdengar oleh Finn. “Memang pantas kena marah.”
Finn mendongak. Matanya bertemu dengan milik Armand.
Sekilas, ada kilatan tajam di sana campuran marah dan malu. Tapi ia tidak bisa menjawab.
Pak Rudi masih berdiri di depannya dengan wajah kesal.
“Finn! Kamu dengar apa yang Bapak bilang?”
Finn langsung menunduk lagi. “Iya, Pak. Maaf.”
Armand berdehem pelan, lalu pura-pura tersenyum sopan pada Pak Rudi. “Permisi, Pak. Saya taruh tugas kelas di sini, ya.”
“Ya, Armand. Terima kasih.”
Ia membalikkan badan, tapi sebelum keluar, ia sempat menatap Finn sekali lagi,kali ini dengan tatapan penuh kemenangan.
Finn mengepalkan tangannya diam-diam di sisi tubuhnya.
Ia tahu Armand sedang menertawakannya.
Dan yang lebih membuatnya geram,ia tidak bisa melakukan apa pun saat ini.
Langkah-langkah sepatu Armand bergema pelan di lorong panjang yang mulai sepi.
Jam pelajaran berikutnya belum dimulai, hanya terdengar suara samar kelas-kelas lain dan desir angin dari jendela yang terbuka separuh.
Ia berjalan dengan tenang, membawa sisa senyum sinis yang masih menempel di wajahnya.
Baru saja melihat Finn dimarahi habis-habisan dan itu entah kenapa memberi rasa puas yang sulit dijelaskan.“Cowok badung seperti itu tidak pantas untuk Clara. ”gumamnya pelan seakan untuk dirinya sendiri.
Namun ketenangan itu hanya bertahan sebentar.
“Armand!”
Suara tegas itu memecah keheningan lorong.
Armand berhenti. Punggungnya menegang. Ia tahu suara itu.
Perlahan, ia menoleh.
Finn berdiri di ujung lorong, napasnya sedikit berat, wajahnya masih menahan amarah.
Ia berjalan mendekat, langkahnya cepat dan mantap. Tatapan matanya tajam yang jauh berbeda dari biasanya.
Akhirnya mereka berdua saling berhadapan di lorong sepi, tatapan seakan menantang satu sama lain.
penasaran bangetttttttt🤭