Susan tak pernah menyangka dirinya di timpa begitu banyak masalah.
Kematian, menghianatan, dan perselingkuhan. Bagaiamana kah dia menghadapi ini semua?
Dua orang pria yang menemaninya bahkan menyulitkan hidupnya dengan kesepakatan-kesepatan yang gila!
Akan kah Susan dapat melewati masalah hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SabdaAhessa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Menyelamatkan diri!!
Begitu pintu lift terbuka, Edward kembali menarik tangan Susan dengan paksa. Menuju kamar pribadinya.
Bulu kuduk di sekujur tubuh Susan seketika berdiri. Dia meronta sekuat tenaga. Walaupun percuma. Namun dia terus mencoba melepaskan diri dari cengkraman Edward yang membabi buta.
Susan dapat melihat mata Edward seperti singa jantan yang kelaparan. Lapar akan gairah. Di bibir pintu kamar, Susan berusaha berpegangan ke dinding. Bukannya berhasil meloloskan diri, dia malah membuat telapak tangannya kesakitan dan merah.
"Edward lepaskann!!!"
"Aliceeee!! Tolonggg!!!"
Teriakan-teriakan Susan menggema.
Edward bukan tandingannya. Seandainya dirinya terlatih seperti Alice, bolehlah Edward berbuat kasar padanya seperti ini. Namun dengan tubuh kecilnya itu, mana mungkin dia berhasil melawan Edward seorang diri.
Tapi Susan masih terus berusaha, dia tak mau menyerah begitu saja. Saat Edward mendorong dirinya ke atas ranjang dan jatuh disana. Dia berusaha melihat sekitar, mencari sesuatu yang bisa menjadi alat perlawanan diri.
Edward yang haus akan hasrat mulai menindih tubuh Susan. Ternyata badannya sudah panas dan bereaksi. Bahkan Susan sudah bisa merasakan milik Edward mulai mengeras di bawah sana.
Menyadari itu Susan segera meraih sebuah vas bunga yang ada di atas meja nakas. Memukulkannya ke kepala Edward dengan keras.
"Aaarrgg!" Edward berseru kesakitan sambil memegangi pelipisnya yang mulai mengeluarkan darah segar.
Dia beranjak berdiri. Meringis kesakitan. Vas bunga yang terbuat dari kaca itu sukses membuat luka baru di wajahnya. Air dari vas yang pecah membasahi wajah Susan dan sebagian tempat tidur. Bunganya juga berserakan di lantai.
Namun, Susan tak memperdulikan itu. Dia melihat ada kesempatan kali ini. Jadi dia segera berlari menuju ke arah pintu. Ingin segera menyelamatkan diri dari monster hasrat.
Bukan Edward namanya jika dia membiarkan Susan pergi begitu saja. Membiarkan tawanannya kabur dengan mudah? Mana mungkin!
Edward segera mengejar Susan keluar dari kamar. Namun, sebuah kursi kayu tiba-tiba terbang ke arahnya. Tepat mengenai tubuhnya yang besar hingga membuatnya hilang keseimbangan dan jatuh di atas lantai.
Brukk!!!
Tubuh Edward terjatuh ke atas lantai.
Edward melihat siapa pelakunya. Alice. Dia yang melempar kursi kayu ke arah Edward dengan keras. Alice juga segera menarik tangan Susan untuk segera pergi dari sana.
"JAMESSS!!!" Teriak Edward.
Namun tak ada jawaban. Sepertinya pria psikopat itu masih berada di dalam penjara bawah tanah. HIngga tak mengetahui jika tuannya sedang mencarinya.
Edward terpaksa melepas Susan kali ini. Menarik nafas panjang dan dalam. Merasakan luka di pelipisnya karena ulah Susan. Sebenarnya dia juga terkejut dengan serangan tiba-tiba itu. Dia juga marah pada Alice yang mulai berpihak pada Susan. Seperti wanita itu lupa siapa yang mempekerjakannya selama ini.
Sedangkan Alice dan Susan segera masuk ke dalam mobil dan segera mengemudi mobil keluar dari mansion milik Edward. Jaga-jaga jikalau pria itu akan segera memerintahkan pengawalnya untuk menutup gerbang utama.
Beruntung kali ini mereka bisa kabur dari Edward. Dia nampak sangat mengerikan jika sedang marah.
Di perjalanan pulang, Susan hanya terdiam. Dia masih syok dengan apa yang baru saja terjadi. Tertegun. Mengingat kembali wajah Edward yang merah padam dan matanya yang membulat sempurna. Sukses membuatnya seperti monster sungguhan.
Tangan Susan masih gemetar. Apalagi jika mengingat bagaimana Edward memukuli Anna. Seperti orang yang sedang menangkap basah seorang maling di pasar. Di masa hingga babak belur.
"Bagaimana kondisinya sekarang?" Kata Susan pelan namun terdengar oleh Alice.
"Maafkan saya jika saya terlambat, Nyonya!" Alice melirik Susan dari kaca spion dalam.
Susan menggeleng lemah. "Anna berada di penjara bawah tanah, Alice!"
Sontak Alice terkejut. Dia juga tak menyangka jika Edward selalu selangkah di depan mereka. Benar-benar bukan main! Edward cerdas juga cekatan. Pantas saja dia bisa menguasai pasar gelap selama ini. Bisnisnya ada dimana-mana. Seakan mencakar seluruh inti bumi.
Belum sempat menjawab. Susan kembali berkata. "Kita harus membawanya pergi dari sana. Kondisinya sangat buruk!"
"Untuk apa, Nyonya?" Celetuk Alice.
Tapi jika di pikir-pikir. Benar juga, untuk apa? Menyelamatkan pelakor yang sudah merusak rumah tangganya? Untuk apa? Bukankah bagus jika wanita simpanan seperi Anna mendapat ganjaran atas perbuatannya sendiri?
Susan juga memikirkan hal itu. Dia nampak tak punya jawaban. Karena sebenarnya dia hanya iba pada Anna. Kasian melihat wanita itu begitu buruk.
"Lagi pula, siapa yang bisa masuk kesana, Nyonya? Saya dengar, ruangan itu sangat di jaga ketat, hanya Tuan Edward dan James yang memiliki akses untuk masuk kesana. Keamanannya juga ganda. Passwordnya di ganti secara berkala. Saya yakin, sekeras apapun kita untuk masuk, belum tentu kita bisa keluar, Nyonya." Kata Alice.
"Tapi ada dua pengawal yang berjaga disana!" Kata Susan.
"Mereka sebenarnya juga tidak memiliki akses, mereka juga tidak mengetahui password untuk membuka pintu. Karena itu James akan mengantar pengawal lainnya saat bertukar shift, Nyonya."
"Mereka tidak makan?"
"Ada sebuah lemari pendingin disana, Nyonya. James selalu mengisinya full sebagai cadangan makanan jika dia lupa tidak mengganti shift atau sedang keluar kota dengan Tuan Edward."
Pikiran Susan seketika melayang memikirkan betapa sulitnya jika harus menculik Anna dari sana. Dia juga tidak bisa membayangkan betapa bosannya pengawal yang berjaga disana sepanjang hari.
Pasti ada kalanya James sengaja tidak mengganti shift para pengawal itu. Sengaja membuat mereka terkurung disana dengan pasokan makanan yang ada. Dia pasti akan senang melihat para pengawalnya lunglai atau bahkan hampir mati menunggunya disana. Bukankah begitu cara main seorang psikopat? Membunuh secara perlahan.
Susan merasa sangat lega saat tiba. Bersyukur dirinya selamat dari cengkraman Edward. Dia tidak bisa membayangkan jika harus melayani Edward berjam-jam lagi hingga membuat milknya mati rasa.
Dia tak langsung menemui Peter. Sejenak menenangkan diri di ruang tamu yang besar dan mewah. Duduk di atas sofa dengan pikirannya yang kalut.
Dress biru dengan motif bunga-bunga kecil itu sangat pas di badannya yang seksi. Belahan dada yang terlihat sedikit sangat menarik untuk mengetahui seperti apa dalamnya. Pantas saja jika Edward berpikiran akan melampiaskan kemarahannya ke Susan dengan cara bermain di atas ranjang.
Pikiran pria angkuh itu nampaknya sudah benar-benar kotor.
"Apa Peter sudah bangun?" Batin Susan.
Dia harus bisa bersikap sebaik mungkin dan tidak mencurigakan. Tapi bagaimana caranya? Jantungnya saja masih berdebar kencang. Tangannya masih gemetar. Wajahnya tak bisa menutupi kegusaran yang sedang dia rasakan.
Sayup-sayup dia mendengar suara seorang perempuan yang tak asing di telinganya. Matanya menyapu seisi ruangan. Mencari sumber suara. Ketemu! Itu Abell! Ya, perempuan yang penuh dengan energi dan selalu ceria. Sahabat Susan.
"Abell!!" Panggil Susan sambil bangkit dari duduknya.
Sontak perempuan yang dia panggil itu langsung menoleh. Senyumnya yang manis pas sekali untuk sekarang. Membuat suasana hati Susan menjadi lebih baik. Bahkan jauh lebih baik.
Mereka berdua saling tatap. Lalu saling berlari kecil untuk memeluk satu sama lain.
"Heiiii.. Dari mana saja, aku menunggu mu lama sekali!" Kata Abell melepas pelukannya.
"Ah ya, itu.. Hmm.. Aku ada urusan sedikit di perusahan, tapi sudah selesai." Jawab Susan dengan mengatur nafas.
Abell mengangguk. Dia tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan putih bersih.
"Kau kenapa? Senyum-senyum seperti itu?" Goda Susan.
Abell mengangkat tangan kirinya. Memperlihatkan sebuah cincin dengan berlian yang indah. Sontak Susan membulatkan mata sambil tersenyum.
"Kau? Di lamar? Siapa yang melamar mu?" Tanya Susan.
"Ya, Joshua lah, siapa lagi!"
Susan menutup mulutnya dengan telapak tangan. Dia ikut tersenyum kuda dan memegang tangan kiri Abell. Melihat lebih dekat cincin yang melingkar di jari manis abell.
"Ini berlian mulia?" Mata Susan makin membulat. Begitu juga dengan mulutnya.
"Iya dong, aku tidak mau kalau hanya di lamar dengan cincin emas!"
"Ya ampun.. Dasar mata duitan!"
Sontak mereka berdua tertawa bersama. Kedatangan Abell membuat emosinya membaik seketika. Apalagi mengetahui jika sahabat satu-satunya itu sudah di lamar oleh Joshua.
Terlepas dari perseteruan antara Susan dan Joshua yang tak kunjung jelas benang merahnya. Susan sangat bahagia sekali akhirnya pria dingin itu melamar sahabatnya.
Bersambung...