Bagi BIMA, kehidupan sebagai anak SMA adalah kesempatan kedua yang ia dambakan. Setelah tewas dalam sebuah perang surgawi yang brutal, menjadi manusia biasa dengan masalah biasa adalah sebuah kemewahan. Ia hanya ingin satu hal: kedamaian. Lulus sekolah, punya teman, dan melupakan gema pertumpahan darah yang pernah mewarnai keabadiannya.
Tetapi, SMA Pelita Harapan, sekolah elit tempatnya bernaung, bukanlah tempat yang normal. Di balik kemewahan dan prestasinya yang gemilang, sekolah ini berdiri di atas tanah dengan energi gaib yang bocor, memberikan kekuatan super kepada segelintir siswa terpilih.
ADHITAMA dan gengnya, sang penguasa sekolah, menggunakan kekuatan ini untuk memerintah dengan tangan besi, menciptakan hierarki penindasan di antara para siswa. Selama ini, Bima selalu berhasil menghindar dan tidak menarik perhatian.
Hingga suatu hari, sebuah insiden di kantin memaksanya untuk turun tangan. Dalam sekejap, ia tak sengaja menunjukkan secuil kekuatan dewa miliknya—kekuatan yang kuno, absolut, dan jauh berbeda dari kekuatan mentah milik Adhitama. Tindakannya tidak membuatnya disegani, melainkan menyalakan alarm di telinga sosok yang jauh lebih berbahaya: sang dalang misterius yang selama ini mengamati dan mengendalikan para siswa berkekuatan.
Kini, Bima terseret kembali ke dalam dunia konflik yang mati-matian ingin ia lupakan. Di hadapkan pada pilihan sulit: haruskah ia kembali membangkitkan dewa perang dalam dirinya untuk melindungi teman-teman barunya, atau tetap bersembunyi dan membiarkan kekuatan gelap menguasai satu-satunya tempat yang ia sebut rumah?
Karena kedamaian, ternyata, adalah kemewahan yang harus ia perjuangkan sekali lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 62maulana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HARGA SEBUAH DATA
Satu kilometer di atas peta mungkin terlihat pendek. Tapi satu kilometer di dalam saluran drainase bawah tanah Jakarta, dengan air limbah setinggi lutut, kegelapan pekat, dan tubuh yang babak belur, terasa seperti perjalanan melintasi benua.
Adhitama memimpin di depan, cahaya kinetik redup di ujung jarinya berkedip-kedip seperti kunang-kunang yang sekarat. Dia tidak mengeluh lagi soal bau atau sepatunya yang mahal. Dia fokus sepenuhnya pada jalan di depan, waspada terhadap setiap suara ciptan air atau gerakan tikus.
Di punggungku, Rio sudah tertidur karena kelelahan. Berat badannya yang ringan terasa menenangkan, sebuah pengingat hidup tentang mengapa kami melakukan kegilaan ini. Dr. Aris berjalan di sampingku, satu tangannya memegangi jaketku agar tidak tertinggal. Dia tidak lagi gemetar ketakutan. Dia hanya... kosong. Syok pasca-trauma mulai mengambil alih.
"Lima ratus meter lagi," suara Sari terdengar di telingaku, statisnya sudah hilang, digantikan oleh kejernihan sinyal yang kuat. "Kalian mendekati pintu keluar Waduk. Aku sudah di posisi. Mesin menyala."
"Kadek?" tanyaku serak.
"Dia masih berputar-putar di atas lokasi vila. Dia menghancurkan setengah hutan di sana. Polisi mulai berdatangan. Dia harus mundur sebentar lagi atau mengambil risiko terekspos media. Kalian aman di bawah sana."
Kami terus berjalan. Bau busuk selokan perlahan mulai bercampur dengan bau lain: bau lumpur basah dan vegetasi. Udara menjadi sedikit lebih segar.
"Cahaya," bisik Adhitama.
Di depan, terowongan beton itu berakhir. Sebuah teralis besi berkarat memisahkan kami dari dunia luar. Di baliknya, aku bisa melihat pantulan sinar bulan di permukaan air waduk yang tenang.
Kami mempercepat langkah. Adhitama sampai di teralis itu lebih dulu. Dia tidak perlu memukulnya. Engselnya sudah sangat berkarat sehingga dengan satu tarikan kuat dari tangan raksasanya, teralis itu terlepas dengan suara krieeet yang menyakitkan telinga.
Kami melangkah keluar.
Udara malam yang bersih—atau setidaknya sebersih yang bisa didapat di Jakarta—terasa seperti surga. Kami berada di tepi sebuah waduk penampungan air yang sepi, dikelilingi oleh ilalang tinggi. Di kejauhan, lampu-lampu gedung apartemen berkedip-kedip.
Sebuah van hitam tua—bukan van canggih yang mengantar kami—sudah menunggu di jalan akses tanah yang gelap. Lampu depannya mati, mesinnya menderu pelan.
Pintu samping terbuka. Sari melompat turun.
Saat dia melihat kami—tiga sosok yang berlumuran lumpur hitam, basah kuyup, dan berbau seperti tempat pembuangan sampah—dia tidak menutup hidungnya. Dia berlari ke arah kami.
"Kalian berhasil," bisiknya, matanya memindai kami untuk mencari luka fatal. Tatapannya berhenti pada Rio yang tertidur di punggungku. "Kalian membawanya."
"Paket lengkap," kata Adhitama, menyeka lumpur dari wajahnya. Dia menepuk saku kargonya yang menggembung. "Dan bonusnya."
Kami memuat Dr. Aris dan Rio ke dalam van. Mereka langsung tertidur di bangku belakang, tubuh mereka akhirnya menyerah pada kelelahan.
Aku masuk terakhir, duduk di lantai van karena aku terlalu kotor untuk duduk di kursi. Sari memberiku sebotol air dan handuk.
"Bima," katanya pelan saat van mulai bergerak meninggalkan waduk. "Apa yang kau lakukan pada Rania... itu bukan sekadar serangan balik."
Aku meneguk air itu, merasakan dinginnya membasuh tenggorokanku yang kering. "Apa maksudmu?"
"Aku memantau tanda vitalnya dari jaringan Cakra yang masih kuretas sebelum mereka menendangku keluar," kata Sari. "Dia tidak hanya pingsan. Aktivitas otaknya... flatline selama sepuluh detik sebelum melonjak ke level kejang. Dia koma. Para dokter Cakra sedang mengevakuasinya sekarang. Mereka bilang... otaknya seperti sirkuit yang kelebihan beban."
Adhitama menatapku dari kursi depan. "Kau membuat sayur seorang Telepat elit?"
"Aku hanya memberinya apa yang dia minta," kataku, menutup mata. "Dia ingin membaca pikiranku. Aku membiarkannya membaca semuanya."
Keheningan turun di dalam van. Mereka tidak bertanya lagi. Mereka tahu bahwa apa pun yang ada di dalam kepalaku, itu cukup mengerikan untuk menghancurkan seorang pembaca pikiran profesional. Itu membuat mereka takut, ya, tapi itu juga membuat mereka sadar: aku bukan hanya sekadar siswa SMA dengan kekuatan aneh. Aku adalah sesuatu yang jauh lebih tua.
Perjalanan kembali ke sekolah dilakukan dalam mode senyap. Kami berganti kendaraan dua kali di lokasi yang telah ditentukan untuk menghilangkan jejak, sebelum akhirnya masuk kembali ke garasi bawah tanah SMA Pelita Harapan melalui pintu pengiriman logistik.
Pukul 02:00 pagi.
Pak Tirtayasa menunggu di peron bongkar muat. Di sampingnya berdiri tim medis yang langsung mengambil alih Dr. Aris dan Rio.
"Bawa mereka ke Unit Medis 4," perintah Pak Tirtayasa. "Isolasi total. Aku tidak mau Cakra melacak mereka melalui implan apa pun yang mungkin mereka miliki."
Setelah tim medis pergi, Pak Tirtayasa berbalik menghadap kami. Dia tidak mempedulikan bau busuk atau penampilan kami yang hancur. Matanya tertuju pada saku Adhitama.
"Mana?"
Adhitama merogoh sakunya yang kotor, mengeluarkan hard drive hitam kecil itu. Benda itu tampak begitu biasa, tidak sebanding dengan darah dan teror yang kami lalui untuk mendapatkannya.
Pak Tirtayasa mengambilnya. Tangannya sedikit gemetar. Bukan karena takut, tapi karena antisipasi. Ini adalah senjata yang dia butuhkan untuk memenangkan perang.
"Kalian bertiga," katanya, menatap kami dengan bangga yang jarang ia tunjukkan. "Pergi ke dekontaminasi. Bersihkan diri. Obati luka kalian. Lalu temui aku di Pusat Komando dalam satu jam. Kita akan melihat apa yang sebenarnya kita curi."
Satu jam kemudian.
Kami bertiga, kini bersih, mengenakan pakaian latihan baru, dan dengan luka-luka yang sudah diperban (bahuku mendapat suntikan nanobot penyembuh yang mempercepat regenerasi), berdiri di depan layar raksasa di Pusat Komando.
Pak Tirtayasa berdiri di konsol utama. Sari duduk di stasiun kerjanya, jari-jarinya bergerak cepat mendekripsi file di dalam hard drive itu.
"Enkripsinya berat," gumam Sari. "Tapi kuncinya ada di dalam drive itu sendiri. Dr. Aris pintar. Dia meninggalkan backdoor untuk kita."
"Buka," perintah Pak Tirtayasa.
Layar raksasa itu berkedip, lalu dibanjiri data. Ribuan baris teks, foto, video, dan peta bergulir dengan kecepatan tinggi.
Foto-foto fasilitas rahasia. Daftar nama politisi yang disuap. Rekening bank luar negeri. Tapi yang paling mengerikan adalah folder berjudul "SUBJEK".
Sari membuka folder itu.
Ratusan foto pasfoto muncul. Anak-anak. Remaja. Orang dewasa. Setiap wajah memiliki nomor ID dan status.
TERTERMINASI.
DALAM PENAHANAN.
AKTIF.
BURON.
Aku melihat wajah Rina di sana. Statusnya: BURON - PRIORITAS RENDAH.
Aku melihat wajah Doni, teman Adhitama. Statusnya: DIPANTAU.
"Ya Tuhan," bisik Adhitama. "Mereka... mereka punya data semua orang."
"Bukan semua orang," kata Pak Tirtayasa, matanya dingin. "Hanya mereka yang berpotensi."
"Tunggu," kata Sari. "Ada folder terpisah. Terenkripsi ganda. Judulnya... 'PROYEK GENESIS'."
"Buka," kata Pak Tirtayasa.
Sari mengetik beberapa perintah. Layar berkedip merah sesaat, lalu terbuka.
Isinya bukan daftar nama. Isinya adalah video-video eksperimen. Dan diagram kimia yang sangat rumit.
Dr. Aris, yang entah bagaimana sudah bangun dan bersikeras untuk hadir meski masih memakai baju pasien, melangkah masuk ke ruangan itu dengan tertatih.
"Itu..." katanya, suaranya lemah dari ambang pintu. "Itulah alasan kenapa aku memanggil kalian."
Kami semua menoleh padanya.
"Serum enhancer yang kalian lawan," kata Dr. Aris, berjalan mendekat dengan bantuan tongkat. "Serum yang membuat prajurit Cakra menjadi super... kalian pikir itu dibuat dari bahan kimia?"
Dia menatap layar yang menampilkan tabung-tabung besar berisi cairan hijau.
"Itu tidak dibuat dari bahan kimia," bisik Dr. Aris, air mata menggenang di matanya. "Itu disuling."
"Disuling dari apa?" tanya Adhitama, perasaan tidak enak mulai menjalar di perutku.
Dr. Aris menatap kami. "Dari cairan tulang belakang Anomali. Anomali yang mereka tangkap. Mereka tidak menahan kami untuk diteliti. Mereka menahan kami... untuk diperah. Seperti ternak."
Keheningan di ruangan itu begitu pekat hingga terasa mencekik. Rasa mual menghantamku. Prajurit-prajurit yang kami lawan... kekuatan mereka berasal dari penyiksaan saudara-saudara kami.
"Tapi itu bukan bagian terburuknya," lanjut Dr. Aris. Dia menunjuk ke sebuah file video di pojok layar. "Itu."
Sari memutar video itu.
Gambar buram dari sebuah tangki kaca raksasa di fasilitas yang sangat dalam. Di dalam tangki itu, mengapung sosok manusia. Tubuhnya penuh dengan selang dan kabel. Dia tidak terlihat sadar, tapi energi yang memancar darinya begitu kuat hingga mendistorsi rekaman video itu sendiri.
"Siapa itu?" tanya Pak Tirtayasa tajam.
"Mereka menyebutnya 'Subjek Nol'," kata Dr. Aris. "Anomali pertama yang mereka temukan dua puluh tahun lalu. Sumber dari semua serum. Sumber dari semua teknologi mereka."
Dr. Aris menatapku.
"Dan dia... dia tidak hanya punya satu kekuatan, Bima. Dia punya semua kekuatan. Telekinesis. Gravitasi. Telepati. Pirokinesis. Dia adalah sumbernya."
Video itu diperbesar ke wajah sosok di dalam tangki. Wajah seorang pria tua yang terlihat sangat menderita, terperangkap dalam mimpi buruk abadi.
Tapi bukan wajah itu yang membuat darahku membeku.
Itu adalah tanda lahir di dadanya. Tanda lahir berbentuk matahari dengan delapan sinar.
Simbol yang sama dengan yang ada di bendera kerajaanku di kehidupan sebelumnya.
Simbol Dewa Matahari. Kakakku.
Aku mundur selangkah, napasku tercekat. "Tidak mungkin..."
"Kau mengenalnya?" tanya Sari, melihat reaksiku.
Aku tidak bisa menjawab. Bagaimana mungkin? Kakakku mati di perang itu. Aku melihatnya mati. Bagaimana dia bisa ada di sini? Di dunia ini? Di dalam tangki musuh?
"Subjek Nol," bisikku.
Perang ini baru saja berubah. Ini bukan lagi tentang menyelamatkan Anomali. Ini bukan lagi tentang melawan perusahaan jahat.
Ini tentang menyelamatkan keluargaku.
"Cakra tidak hanya memburu kita," kataku, suaraku bergetar karena amarah yang mulai mendidih, amarah yang jauh lebih panas dari api manapun. "Mereka menahan Dewa."
Dan kali ini, aku bersumpah, aku tidak akan menahan diri lagi. Aku akan meruntuhkan Cakra hingga ke fondasi terakhirnya.
"Sari," kataku dingin. "Cari lokasi tangki itu."
Level 3 selesai.
Tapi Level Terakhir baru saja dimulai.