Zhao Liyun, seorang pekerja kantoran modern yang gemar membaca novel, tiba-tiba menyeberang masuk ke dalam buku favoritnya. Alih-alih menjadi tokoh utama yang penuh cahaya dan keberuntungan, ia malah terjebak sebagai karakter pendukung wanita cannon fodder yang hidupnya singkat dan penuh penderitaan.
Di dunia 1970-an yang keras—era kerja kolektif, distribusi kupon pangan, dan tradisi patriarki—Liyun menyadari satu hal: ia tidak ingin mati mengenaskan seperti dalam buku asli. Dengan kecerdikan dan pengetahuan modern, ia bertekad untuk mengubah takdir, membangun hidup yang lebih baik, sekaligus menolong orang-orang di sekitarnya tanpa menyinggung jalannya tokoh utama.
Namun semakin lama, jalan cerita bergeser dari plot asli. Tokoh-tokoh yang tadinya hanya figuran mulai bersinar, dan nasib cinta serta keluarga Liyun menjadi sesuatu yang tak pernah dituliskan oleh penulis aslinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YukiLuffy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 Luka yang Tersisa Setelah Badai
Kabut pagi menyelimuti Desa Qinghe dengan lembut, seolah berusaha menutupi luka-luka yang ditinggalkan oleh peristiwa kemarin. Zhao Liyun berdiri di ambang pintu gubuknya, menghirup udara segar yang masih membawa aroma tanah basah. Kemenangannya atas Madam Zhao terasa seperti mimpi—pahit dan tidak sepenuhnya nyata.
Dia berjalan menuju dapur kolektif dengan langkah berat. Wajah-wajah yang kemarin masih penuh kecurigaan, kini menyapanya dengan anggukan hormat. Beberapa wanita bahkan tersenyum malu-malu. Tapi di balik setiap senyuman itu, Liyun bisa merasakan rasa bersalah dan ketidaknyamanan mereka.
"Liyun," sapa Ibu Wen dengan suara lembut, "kami... kami minta maaf."
Liyun tersenyum kecil. "Tidak perlu. Semua orang hanya melakukan apa yang mereka pikir benar pada saat itu."
Tapi kata-kata maaf tidak bisa menghapus kenangan akan tatapan penuh kebencian dan tuduhan keji. Seperti piring yang pecah, meski sudah direkatkan, retakannya tetap akan terlihat.
Di seberang lapangan, Lin Xiaomei sedang memetik sayuran sendirian. Ketika pandangan mereka bertemu, Xiaomei cepat-cepat menunduk. Sejak kemarin, dia seperti menghindari Liyun. Mungkin malu karena telah membantu, atau mungkin bingung dengan perasaannya sendiri yang berubah.
Chen Weiguo mendekati Liyun saat istirahat siang. "Aku dengar apa yang terjadi," katanya, wajahnya serius. "Xiaomei memberitahuku bahwa dia membantumu."
Liyun mengangguk. "Aku berhutang budi padanya."
"Tapi kenapa?" tanya Weiguo, matanya penuh keheranan. "Dia... dia biasanya..."
"Biasanya tidak menyukaiku?" selesaikan Liyun. "Orang bisa berubah, Weiguo. Atau mungkin, dalam hati mereka selalu tahu apa yang benar, hanya butuh keberanian untuk melakukannya."
Weiguo terdiam, memandangi Xiaomei dari kejauhan. Ada sesuatu dalam cara dia memandangnya sekarang—bukan lagi kekaguman tanpa syarat, tapi pertanyaan dan mungkin... kekecewaan? Karena Xiaomei harus membantu rivalnya untuk membuktikan bahwa dia berada di pihak yang benar?
Sore itu, Liyun mengunjungi rumah Kepala Desa. "Apa yang akan terjadi pada anak-anak Madam Zhao?" tanyanya.
Kepala Desa menghela napas. "Mereka akan tinggal dengan bibinya. Tapi..." Dia tidak perlu menyelesaikan kalimatnya. Menjadi anak dari seorang yang dihukum adalah aib yang akan mereka tanggung seumur hidup.
"Bisakah aku... membantu mereka sesekali?" tanya Liyun. "Mereka tidak bersalah."
Kepala Desa memandangnya dengan heran. "Setelah semua yang dilakukan ibunya padamu?"
"Justru karena itulah," jawab Liyun. "Aku tidak ingin mereka tumbuh dengan kebencian yang sama."
Kepala Desa mengangguk pelan, matanya penuh hormat. "Kau benar-benar luar biasa, Nak."
Tapi ketika Liyun keluar dari rumah Kepala Desa, dia tidak merasa luar biasa. Dia hanya merasa lelah. Lelah dengan semua drama, semua konflik, semua energi yang terbuang untuk hal-hal yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Di tepi sungai, dia menemukan Wu Shengli sedang memperbaiki jaring ikan. "Aku pikir akan merasa lega," ucap Liyun duduk di sampingnya. "Tapi yang kurasakan justru... hampa."
Shengli meletakkan jaringnya. "Karena kau bukan seperti mereka. Kau tidak menikmati penderitaan orang lain."
"Mereka mengirimi hadiah," lanjut Liyun. "Sayuran, telur, kain... seolah-olah itu bisa menghapus segalanya."
"Bagi mereka, mungkin bisa," kata Shengli. "Tapi kau punya hak untuk tidak langsung memaafkan. Luka butuh waktu untuk sembuh."
Mereka duduk dalam keheningan, hanya diiringi gemericik air sungai. Burung-burung berkicau di kejauhan, kehidupan terus berjalan seolah tidak ada yang terjadi.
Tapi sesuatu telah berubah. Desa Qinghe tidak akan pernah sama lagi. Hierarki sosial yang lama telah runtuh, dan yang baru sedang terbentuk. Dan dalam struktur yang baru ini, Zhao Liyun—gadis yatim piatu yang dulunya diremehkan—kini memiliki posisi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Saat matahari terbenam, Liyun berjalan pulang sendirian. Di depan gubuknya, dia menemukan seikat bunga liar—jenis yang biasa tumbuh di dekat rumah Madam Zhao. Tidak ada catatan, tidak ada nama. Tapi dia tahu, ini mungkin dari anak-anak Madam Zhao.
Dia mengambil bunga-bunga itu, memegangnya erat. Dalam hati kecilnya, dia berharap suatu hari nanti, mereka bisa memahami bahwa balas dendam bukanlah jalan keluar. Bahwa pengampunan, meski sulit, adalah satu-satunya cara untuk benar-benar bebas.
Malam itu, dia menulis di buku hariannya: "Hari ini aku memenangkan pertempuran, tapi tidak merasa seperti pemenang. Mungkin karena dalam perang, tidak ada yang benar-benar menang. Kita semua hanya kehilangan sesuatu—kepercayaan, kepolosan, atau mungkin sebagian kemanusiaan kita."
Dia memejamkan mata, berdoa untuk kekuatan. Besok adalah hari baru, dan dia harus belajar hidup dengan luka-luka ini sambil terus berjalan. Karena itulah satu-satunya pilihan—terus berjalan, meski kaki terluka dan hati penuh bekas luka.