Delia Aurelie Gionardo hanya ingin mengakhiri pernikahan kontraknya dengan Devano Alessandro Henderson. Setelah satu tahun penuh sandiwara, ia datang membawa surat cerai untuk memutus semua ikatan.
Namun malam yang seharusnya menjadi perpisahan berubah jadi titik balik. Devano yang biasanya dingin mendadak kehilangan kendali, membuat Delia terjebak dalam situasi yang tak pernah ia bayangkan.
Sejak malam itu, hidup Delia tak lagi sama—benih kebencian, dendam, dan rasa bersalah mulai tumbuh, mengikatnya kembali pada pria yang seharusnya menjadi "mantan" suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadia_Ava02, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MBMS - Bab 19 Hancur
Mobil melaju kencang meninggalkan rumah Alvan. Di dalam mobil dengan cahaya yang remang, hanya terdengar deru mesin dan napas Devano yang memburu. Tangannya masih gemetar, wajahnya berlumur keringat dan amarah.
"Tuan Devano…" suara Liam pelan, hati-hati, seperti sedang menapak di atas pecahan kaca. "Aku rasa… sudah waktunya kau tahu semuanya."
Devano menoleh dengan tatapan tajam. "Apa maksudmu?"
Liam menarik napas dalam, kedua tangannya mencengkeram kemudi. "Waktu anda dirawat di rumah sakit beberapa waktu lalu… Saat nona Delia pulang. Ia tak sengaja berpapasan dengan Giselle."
Devano menegang, rahangnya mengeras.
"Giselle mengancamnya. Dia menyuruh nona Delia pergi dari anda secepatnya," lanjut Liam. "Bahkan… dia mendorong nona Delia sampai jatuh. Kandungannya kena flek waktu itu. Untung dokter bilang bayi itu sehat."
Devano memejamkan mata, dadanya sesak. "Ya Tuhan…" bisiknya parau.
"Nona Delia… dia yang memintaku merahasiakan semua ini," Liam menoleh sekilas, matanya tampak bersalah. "Dia bilang… anak yang dikandungnya bukan anak anda. Dia tak ingin anda tahu, dia tak ingin anda merasa terikat."
Devano membuka matanya, kini basah oleh air yang tak mau turun. "Kau percaya itu, Liam?" suaranya pecah. "Aku tidak! Aku melihat sendiri surat rumah sakit itu. Aku tahu ini anakku!"
Liam menggigit bibir, hatinya remuk melihat bosnya yang biasanya tegar kini hancur. "Aku cuma melakukan apa yang diminta nona Delia. Aku pikir aku melindunginya…"
Devano menunduk, kedua tangannya menutup wajahnya. Napasnya berat. "Aku bodoh… aku malah memilih Giselle. Aku biarkan gadis jahat itu menyentuh Delia, menyakitinya… sementara aku…" suaranya tercekat. "Aku tak bisa menjaganya."
Mobil terus melaju, tapi ruang di dalamnya seakan membeku oleh rasa bersalah Devano yang membanjir. Liam tetap diam, memberi ruang, sementara Devano perlahan menurunkan tangannya, menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong.
"Aku tak mau meragukan Delia lagi, Liam," ucapnya akhirnya, pelan tapi tegas. "Aku tak akan membuat kesalahan yang sama. Apa pun yang terjadi… aku harus menemukannya."
Liam menoleh, mengangguk kecil. "Saya akan bantu anda mencarinya, Tuan. Kita temukan dia. Kita perbaiki semua yang sudah terjadi."
Devano menghela napas berat, menatap jalanan yang memanjang ke depan. "Delia…" gumamnya lirih, seolah berbicara pada angin.
"Tunggu aku. Aku akan menemuimu."
Satu jam kemudian. Mobil Liam berhenti tepat di depan gerbang besar kediaman utama keluarga Henderson. Suasana masih sangat sunyi pagi ini. Begitu Dev turun, langkahnya goyah, wajahnya penuh lebam dan darah kering, matanya merah seperti habis menangis.
"Dev!" Mama Raisa langsung berlari menghampiri begitu melihat putranya. "Astaga, Dev, kamu kenapa nak? Kenapa seperti ini?" suaranya bergetar mengusap luka lebam dipipinya.
Devano tak sanggup berkata apa-apa. Ia menahan tangan ibunya dengan tatapan berkaca-kaca. Begitu ia memeluk ibunya, air matanya tumpah. "Aku bodoh, Ma…" suaranya pecah. "Delia sudah pergi! Dia pergi! Ini semua karena kesalahanku!"
Papa Bryan yang berdiri di balik pintu hanya bisa menatap, wajahnya kaku. Kakek Arthur menatap tajam, tongkatnya menghentak lantai. "Pergi kemana?!" tekan Kakek Arthur, suaranya berat.
Dev menggeleng lemah. "Aku tidak tahu…" isaknya. "Aku sudah mencarinya… tapi Delia belum juga ketemu."
Mama Raisa mengusap wajah anaknya, panik dan bingung. "Astaga… Dev…"
Devano menggenggam tangan ibunya erat, seperti anak kecil yang ketakutan. "Ma… aku akan tetap mencari Delia. Aku janji akan membawanya pulang." Matanya basah, suaranya penuh tekad. "Aku janji, Ma… Mama, Papa, Kakek… sebentar lagi kalian akan punya cucu."
"APA?!" seru Mama Raisa, Papa Bryan, dan Kakek Arthur bersamaan.
Dev mengeluarkan selembar surat dokter yang diremasnya sejak dari apartemen Delia. Tangannya gemetar saat menyerahkannya pada Mama Raisa. "Delia hamil…" suaranya nyaris berbisik. "Itu anakku… Anakku…"
Mama Raisa menatap surat itu, tangannya ikut gemetar. Papa Bryan mendekat, wajahnya terkejut dan serius. Kakek Arthur mengerutkan dahi, tatapan kerasnya sedikit melunak melihat cucunya yang hancur di hadapannya.
Devano tersungkur berlutut di lantai marmer, memeluk kaki ibunya. "Aku bodoh, Ma… aku yang seharusnya melindunginya… tapi aku malah menyakitinya…" isaknya keras. "Aku harus menemukannya sebelum semuanya terlambat…"
Mama Raisa berjongkok memeluk Devano erat-erat, berusaha menenangkan. "Tenang, Nak… kita akan cari Delia. Kita akan cari dia bersama-sama."
Di belakang mereka, Papa Bryan dan Kakek Arthur saling pandang. Untuk pertama kalinya mereka melihat Devano bukan sebagai pewaris keluarga Henderson yang dingin dan arogan, melainkan seorang laki-laki yang benar-benar remuk karena rasa bersalah dan cinta.
***
Di tempat lain, Alvan duduk di dalam ruang kerja dirumahnya sendiri. Ruangan itu gelap, hanya lampu meja yang menyala temaram. Di meja, ponsel miliknya bergetar terus. Ia sudah menekan tombol panggil ke nomor Delia entah untuk keberapa kalinya.
Nada sambung terdengar, kemudian terputus, lalu suara mesin menjawab dingin. "Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi."
Alvan menghela napas kasar, jemarinya gemetar menahan marah dan cemas. "Kenapa kamu tidak angkat, Delia…" gumamnya.
Ia mengetuk meja berkali-kali dengan jari telunjuk. Dalam pikirannya berkecamuk berbagai kemungkinan terjadi pada Delia, mengingat ia hanya pergi seorang diri. Ia tidak tau apa yang sebenarnya terjadi, yang ia tahu hanya setiap kali ia menelepon, sambungan terputus begitu saja.
Alvan berdiri, berjalan mondar-mandir. Rasa takutnya kian menyesakkan dada. "Jangan bilang Devano sudah menemukanmu, Del…" bisiknya lirih. Bayangan Devano yang memaksa Delia kembali menghantui pikirannya. Alvan menatap layar ponsel yang kini gelap, seolah menunggu pesan balasan yang tak kunjung datang.
***
Di sisi lain, Delia benar-benar sudah mengganti nomor ponselnya. Ia berdiri di depan jendela rumah kecil yang kini ia sewa jauh dari pusat kota. Tangannya mengelus perutnya yang mulai membuncit, bibirnya bergetar menahan air mata. 'Aku hanya ingin tenang untuk saat ini,' bisiknya dalam hati. 'Sampai waktunya tiba, aku akan kembali. Tapi bukan untukmu, Devano.'
Meskipun hatinya masih terikat pada Devano, Delia sadar ia harus melindungi anaknya. Ia menggenggam erat ponsel barunya, hanya beberapa nomor yang ia simpan. 'Demi anakku, aku hanya akan bicara jika ini anakku… hanya anakku seorang.'
Dev jangan jadi di paksa Delia nya
di bujuk secara halus dunk🤭
kasih maaf aja Del tapi jangan cepat² balikan lagi ma Dev
hukumnya masih kurang 🤣
Akui aja toh kalian kan sudah bercerai
biar Dev berjuang samapi titik darah penghabisan 🤭
semangat ya Dev awal perjuangan baru di mulai
kak sekali² cazy up dunk kak🤭🤭
Biar bisa lihat cicit nya
semua butuh waktu dan perjuangan 🤭🤭
Siksa terus Dev dengan penyesalan 🤗🤗🤗
Makan to rencana mu yg berantakan 😏😏
Ayo Dev Nikmati penyesalan mu yg tak seberapa 😄😄
jangan pakai acara nangis Bombay ya Dev 🤣🤣🤣
biar nyesel to Dev
bila perlu ortu Dev tau kalau mereka sudah cerai dan bantu Delia buat sembunyi
soalnya mereka pasti senang kalau tau bakalan punya cicit sama cucu🤭🤭
tunggu karma buatmu ya Dev 😏😏