Sepuluh mahasiswa mengalami kecelakaan dan terjebak di sebuah desa terpencil yang sangat menjunjung tinggi adat dan budaya. Dari sepuluh orang tersebut, empat diantaranya menghilang. Hanya satu orang saja yang ditemukan, namun, ia sudah lupa siapa dirinya. Ia berubah menjadi orang lain. Liar, gila dan aneh. Ternyata, dibalik keramah tambahan penduduk setempat, tersimpan sesuatu yang mengerikan dan tidak wajar.
Di tempat lain, Arimbi selalu mengenakan masker. Ia memiliki alasan tersendiri mengapa masker selalu menutupi hidung dan mulutnya. Jika sampai masker itu dilepas maka, dunia akan mengalami perubahan besar, makhluk-makhluk atau sosok-sosok dari dunia lain akan menyeberang ke dunia manusia, untuk itulah Arimbi harus mencegah agar mereka tidak bisa menyeberang dan harus rela menerima apapun konsekuensinya.
Masker adalah salah satu dari sepuluh kisah mistis yang akan membawa Anda berpetualang melintasi lorong ruang dan waktu. Semoga para pembaca yang budiman terhibur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 : [ Tersesat ] Di Desa Nakampe Gading - Bagian Keenam
“WARNING !!!
UNTUK 21 ++
MENGANDUNG UNSUR KEKERASAN FISIK, MUTILASI, DLL
MOHON PARA PEMBACA YANG BUDIMAN, MENYIKAPINYA DENGAN BIJAK DAN BIJAKSANA. TERIMA KASIH ATAS PENGERTIAN, WAKTU DAN KERJA SAMANYA ....”
Untuk kesekian kalinya, sebuah cahaya putih menyilaukan mata membuatku harus memejamkan mata. Begitu membuka mata ... Aku, Joan, Mbah Buluk dan Mbah Abang sudah berada di tempat lain.
Pintu berwarna hitam, tingginya lebih kurang 2 kali tinggi badan orang dewasa, tertutup rapat di hadapanku. Ini adalah pintu masuk ruangan yang disebut Sendang itu. Baru saja hendak membuka pintu tersebut, pintu terpentang lebar dan apa yang terdapat di dalamnya sama persis seperti yang diperlihatkan oleh Mbah Abang dalam mimpiku. Beberapa orang berusia diatas 50 tahun tengah memandikan 3 sosok tubuh manusia yang sangat familiar sekali. Pedro, Parto dan Bianca. Selain Bianca, tubuh mereka penuh luka dan keadaannya cukup mengenaskan.
Terdapat luka panjang dan menganga pada bagian perut hingga dada. Organ dalamnya sudah dikeluarkan dan diletakkan pada nampan yang dibawa oleh beberapa wanita paruh baya, salah satunya adalah Bi Midar.
Aku dan Joan menjerit keras, mataku terbelalak lebar dan bagaikan digerakkan oleh sebuah kekuatan tak kasat mata, aku berlari menghampirinya, mendorong kalau bisa memukul mereka, tetapi, tangan – tanganku seakan menyentuh udara kosong.
“Mbah,” seruku, “Mengapa aku tak bisa menyentuh mereka ?” tanyaku di sela – sela isak tangis.
“Untuk apa kau membawa kami ke tempat ini, Mbah ? Apa yang mereka lakukan pada teman- teman kami ?!” kata Joan dengan perasaan tak keruan menyaksikan pemandangan itu.
“Tidak bisa, nduk... bukankah Mbah Buluk sudah mengatakan bahwa kita berada di lorong dimensi waktu. Apa yang sudah terjadi disini, kita tak mampu mencegah ataupun ikut campur. Mbah Buluk menunjukkan ini, agar kalian tahu apa yang sebenarnya dialami oleh teman – teman kalian,” jelas Mbah Buluk.
Pemandangan selanjutnya adalah kolam berbentuk lingkaran dengan 8 anak tangga.
Diatasnya, berdiri sebuah patung raksasa berwujud aneh dan mengerikan, berwarna hitam legam. Patung itu tampak hidup saat cahaya-cahaya obor dan api menyinarinya. Bertanduk empat, sepasang mata merahnya membelalak lebar dan mulutnya terbuka, memperlihatkan deretan gigi yang runcing dan pada ujung gigi tersebut berwarna merah darah. Bertangan sepuluh, yang masing-masing membawa berbagai macam benda, 2 diantaranya diletakkan pada dada, sementara yang lain memegang kepala manusia, jantung, pedang, trisula, tombak, gada, piring dan cangkir. Sebagian besar orang – orang itu duduk menghadap ke arahnya, sementara, mulut mereka komat – kamit. Mbah Buluk menyebut patung itu, ANGKARA MURKA.
Beberapa saat kemudian, tubuh Bianca digendong dan diletakkan pada tubuh patung Angkara Murka, tangan dan kakinya diikat menggantung pada beberapa bagian tangan berjumlah sepuluh buah itu. Dia pingsan, darah masih membasahi kening kanannya. Luka menganga akibat benturan, sementara yang lain telah memotong – motong tubuh Pedro dan Parto. Aku dan Joan, memalingkan wajah, tidak tega menyaksikan pemandangan itu.
Satu persatu, para penduduk bangkit berdiri, berjalan menuju ke sebelah kanan dimana ada sebuah meja besar, mengambil sebuah mangkuk dan pisau yang ditata rapi di atas meja. Setelah itu ia melangkah mendekati seorang laki – laki yang usianya sama dengan Mbah Buluk. Laki – laki itu berpakaian merah hati, kumis dan jenggotnya kelabu, panjang hingga dada. MBAH JAUHARI, begitulah Mbah Buluk menyebutnya.
Orang pertama memberi hormat pada Mbah Jauhari, setelah laki – laki tua itu menganggukkan kepala, ia menaiki anak tangga, begitu tiba di dekat Bianca, ia mendekatkan mata pisau ke arah pergelangan tangan kiri Bianca.
“Ssrreett ...”
Dengan pisaunya yang tajam berkilat – kilat, orang itu membuat sayatan panjang pada pergelangan tangan kiri Bianca. Darah segar segera mengucur keluar dan sebelum darah itu menetes, ia sudah meletakkan mangkuk di bawah luka Bianca tersebut. Setelah darah mencapai separuh mangkuk, penduduk itu pergi. Menyusul orang kedua, ketiga, keempat dan yang lain. Masing – masing menyayat pergelangan kiri Bianca dan mengisi mangkuk dengan darah yang menetes dari luka sayatan. Begitu tidak ada tempat lain untuk menyayat, Mbah Jauhari merobek pakaian Bianca dan mempersilahkan orang – orang itu menyayat. Bianca mengeluh perlahan, tapi tak mampu bergerak sedikitpun akibat luka pada kepala, kesadarannya hilang.
Aku tak sanggup melihat derita yang dialami oleh Bianca, yang bisa kulakukan adalah menangis, menangis dan terus menangis. Sementara, Joan menyaksikan itu semua sambil menahan amarah. Wajahnya merah padam, tangannya terkepal kuat sekali dan tubuhnya bergetar hebat sekali, terlebih melihat tubuh Bianca yang nyaris telanjang itu sudah penuh dengan sayatan dan mandi darah.
Setelah orang – orang itu, menyayat dan mengisi mangkuknya dengan darah Bianca, mereka duduk kembali sambil memakan daging milik Pedro dan Parto yang sudah disajikan di atas meja di sebelah kanan. Mereka tidak lagi mempedulikan keadaan Bianca yang sekarat.
“Cukup, Mbah !” seruku, “Aku tak ingin berlama – lama di tempat ini. Bisakah kita pergi sekarang ?” pintaku.
Mbah Buluk mengangguk. Dan, entah bagaimana caranya, mendadak saja kami sudah berada di tempat semula. Gubuk sederhana beratap rumbiah, dimana Mbah Buluk tinggal. Mbah Abang, tak kulihat lagi, entah dimana beliau sekarang.
“Benar – benar tak kusangka, penduduk yang terlihat ramah tamah itu, ternyata adalah segerombolan manusia pemakan daging dan peminum darah,” kataku.
“Itulah yang terjadi setelah mereka mempercayai nasihat Mbah Jauhari. Kami tidak bisa berbuat apa – apa saat menyaksikan kejadian itu,” kata Mbah Buluk.
“Lalu, mengapa Bianca bisa meloloskan diri dan berubah menjadi makhluk mengerikan dan buas sampai – sampai tega melukai Bella ?” tanya Joan.
“Kalau tidak salah... Pak Sujar pernah menyebut – nyebut BAJANG, bukan ?”
“Wilayah desa terlarang di sebelah Barat,” sahutku.
“Di daerah tersebut, ada sebuah tanaman langka, sejenis bunga sepatu ... bisa berubah warna di saat – saat tertentu. Kami tidak tahu nama bunga itu, Mbah Buluk biasa menyebutnya dengan KEMBANG MALIH RUPO. Warnanya bagus, tapi beracun. Mampu membuat siapa saja yang mencium aromanya, berhalusinasi. Berhalusinasi seperti apa yang dibayangkannya. Mbah Jauhari meracik tanaman itu menjadi minuman dan makanan yang bisa merubah sifat orang, baik jadi buruk, buruk jadi baik, bahkan mencuci otak siapa saja yang mengkonsumsinya. Teman kalian yang bernama Bianca itu dijadikan kelinci percobaan. Mengetahui bahwa dia masih bisa bertahan hidup sekalipun dengan luka – luka tersebut, ia menolongnya. Yang jelas pertolongannya itu bukan karena ketulusan dan keikhlasan hati. Ada yang harus dibayar untuk semuanya itu dan salah satunya adalah, merubah Bianca menjadi makhluk seperti yang pernah diceritakan oleh nenek moyang turun – temurun kepada desa SINUHUN PANGAYOMAN ini. LELEPAH,” jelas Mbah Buluk.
“Jadi, lelepah itu hanyalah isapan jempol belaka ?” tanya Joan, “Apakah Mbah pernah bertemu dengan Makhluk itu ?”
“Lelepah adalah Jin yang berwujud raksasa, bergigi tajam dan runcing. Di dunia yang sudah dianggap maju seperti ini, dia tak bisa dilihat dengan mata telanjang. Tetapi, secara mata batin, lelepah ada dimana – mana, terutama disini. Di mata Mbah Buluk ini.
Lelepah itu adalah manusia itu sendiri, karena pada dasarnya memiliki sifat serakah, rakus, ambisius, menghalalkan segala cara demi kepentingannya sendiri; Itulah gambaran Lelepah di dunia nyata. Jin ini apabila mencium bau darah atau daging segar, akan menampakkan diri,” jelas Mbah Buluk.
***
“Kita harus segera pergi dari sini,” seruku pada yang lain.
“Bagaimana dengan yang lain, Cel ?” tanya Yulia.
“Kita bisa memastikannya di wilayah bagian Utara desa ini,” sahut Joan.
“Kalian berdua ini, kerasukan apa ? Bukankah, Pak Sujar melarang keras memasuki daerah itu ?” tanya Hudi.
“Kita bisa diamuk massa, lo...” sambung Akhmad.
“Kalau begitu, sekalian saja kita hajar balik !” sahut Joan, wajahnya merah padam.
“Jo, jangan buat masalah. Kita berada di desa orang,” kata Yulia cemas.
“Bbrraakk !!! Kkkrrreeekkk !”
Suara pertama adalah Joan menggebrak meja dengan kepalannya, bunyi kedua adalah meja kayu tersebut patah salah satu kakinya. Membuat kami tersentak dan diam seketika.
“Sek, to .... sakbenere, ono opo ? Kok Kowe koyok ngono kuwi ?” tanya Akhmad.
“Sepurane....” kataku, “Deso iki ora cocok ditinggali barang sejam utawa luwih,” sambungku untuk kemudian menjelaskan apa yang baru kami alami dan dituturkan oleh Mbah Buluk.
“Astaghfirullah,” seru Akhmad bersamaan dengan yang lain.
“Kalau begitu, kita harus menyelidiki MAKAM KERAMAT, memastikan apa benar 3 patok batu nisan terbungkus kain merah itu di dalamnya benar – benar Pedro dan yang lain,” ujar Yulia.
“Kami yang pergi, kalian tunggu saja disini. Setelah memastikan Pedro dan yang lain dimakamkan disitu, kita segera pergi dari desa terkutuk ini,” tegas Joan.
Teringat ucapan Mbah Buluk, aku menangis sekaligus merasakan perut diaduk – aduk dan ...
“HHOOEEKKH ....”
Aku muntah – muntah, semua orang terkejut kecuali, Joan... karena tahu apa yang menyebabkan aku menumpahkan sebagian isi perutku.
“Jangan terkejut jika kalian melihat makam teman – temanmu lebih kecil ukurannya dibanding makam yang lain ... karena, jasad mereka tidak akan ditemukan disana. Yang ada adalah sebuah guci tertutup dengan kain putih, isinya, abu. Tabahkanlah hatimu, nduk...”
Ucapan Mbah Buluk itu terngiang kembali, aku menundukkan wajah sedalam – dalamnya.
“Peristiwa dalam Sendang itu terjadi satu hari setelah kecelakaan. Kebetulan mobil kalian terperosok ke dalam jurang yang merupakan kawasan desa Nakampe Gading. Para warga datang memberikan pertolongan. 2 orang meninggal, salah satunya adalah pria berusia 50 tahunan, mungkin sopir kalian.... tubuhnya tergencet diantara ban kemudi dan kursi ... dan yang satu adalah seorang pemuda berumur 20 tahunan. Mereka ditinggalkan disana. Alasannya adalah, siapapun yang membawa mayat pendatang ke desa ini, maka, seluruh warga akan terkena malapetaka atau kesialan. Kami tak mau menanggung resiko, itulah sebabnya... jenazah mereka dibiarkan tergeletak disana.
Semula wanita yang bernama Bianca itu, oleh penduduk dikira sudah meninggal dan berniat ditinggal pula disana, tapi, Mbah Jauhari sempat memeriksa detak jantung dan denyut nadi masih ada maka, ia meminta para penduduk membawanya serta. Tidak di rumah Bu Midar seperti yang beliau perintahkan, namun dibawa ke Sendang untuk dijadikan Tumbal. Kau pasti masih ingat saat Bu Midar memberimu makan ? Itu adalah bagian dari potongan daging teman – temanmu setelah mereka dicincang. Jasad mereka dibakar, dimasukkan ke dalam guci dan dikuburkan di MAKAM KERAMAT,”
Jika waktu bisa diputar kembali, aku memilih membiarkan tubuhku terbaring hingga sembuh atau sekalian ajal menjemput. TIDAK AKAN MEMAKAN DAGING temanku sendiri. Aku menyesal. Tak heran Joan murka sekali kepada penduduk desa ini. Dan, sejak saat itu ... Joan mulai lepas kendali. Sebelum terjadi hal yang lebih parah dari ini, kami harus segera pergi dari NAKAMPE GADING., mumpung masih ada waktu.
( sebenarnya, masih banyak peristiwa yang terjadi saat aku pingsan, namun, semuanya membuat hatiku terluka. Mbah Buluk menjelaskan semuanya, mulai dari hal yang bisa diterima oleh akal / nalar hingga tidak bisa dijangkau oleh logika manusia. Aku ingin sekali bertemu dengan Mbah Jauhari, menanyakan alasan, mengapa ia sampai tega berbuat kejam.... padahal, kami belum saling bertemu atau berkenalan. Namun, atas saran Mbah Buluk, kami diminta untuk menahan diri. Hanya satu yang kuingat, Mbah Jauhari selalu mengenakan pakaian merah darah. Tatap matanya menunjukkan kesan ramah tamah dan welas asih, akan tetapi, jauh di lubuk hatinya, dia adalah seorang laki – laki yang ... bagiku, TIDAK WARAS ).
_____