Kehidupan seorang balita berusia dua tahun berubah total ketika kecelakaan bus merenggut nyawa kedua orang tuanya. Ia selamat, namun koma dengan tubuh ringkih yang seakan tak punya masa depan. Di tengah rasa kehilangan, muncullah sosok dr. Arini, seorang dokter anak yang telah empat tahun menikah namun belum dikaruniai buah hati. Arini merawat si kecil setiap hari, menatapnya dengan kasih sayang yang lama terpendam, hingga tumbuh rasa cinta seorang ibu.
Ketika balita itu sadar, semua orang tercengang. Pandangannya bukan seperti anak kecil biasa—matanya seakan mengerti dan memahami keadaan. Arini semakin yakin bahwa Tuhan menempatkan gadis kecil itu dalam hidupnya. Dengan restu sang suami dan pamannya yang menjadi kepala rumah sakit, serta setelah memastikan bahwa ia tidak memiliki keluarga lagi, si kecil akhirnya resmi diadopsi oleh keluarga Bagaskara—keluarga terpandang namun tetap rendah hati.
Saat dewasa ia akan di kejar oleh brondong yang begitu mencintainya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Hujan kembali turun, tipis dan berkilauan di bawah lampu-lampu jalan kota. Celin berdiri di tepi jendela ruang kerja Bagaskara, memandang jauh ke luar. Hatinya masih belum tenang meski Victor sudah ditangkap. Kata-kata terakhir pria itu terus terngiang di kepalanya: “Kalian nggak akan pernah bisa hentikan Orchid…”
Cakra menghampirinya, membawa secangkir teh hangat. “Kamu belum istirahat sejak tadi malam,” ucapnya lembut.
Celin menerima cangkir itu, tapi hanya memeluknya tanpa minum. “Aku nggak bisa berhenti mikirin Orchid. Kalau Victor cuma pion, berarti masih ada ratusan orang lain di baliknya.”
“Justru karena itu kita harus siap,” sahut Arka dari sofa. Ia sedang membuka laptop, menampilkan peta jaringan server yang baru saja dikirim tim intelijen. Aksa duduk di sampingnya, wajah serius.
“Badan Intelijen Nasional sudah minta bantuan kita,” jelas Aksa. “Rekaman dari Celin bukan cuma bukti, tapi juga kunci. Dari file itu mereka bisa men-trace alamat IP asal. Dan hasilnya…”
Ia menekan tombol, layar menampilkan sebuah titik merah di peta digital. Lokasinya di sebuah gedung pencakar langit di pusat bisnis Jakarta.
“Itu markas Orchid di Indonesia. Lebih tepatnya, pusat operasional Asia Tenggara,” ujar Aksa.
Celin terbelalak. “Gedung setinggi itu? Gimana bisa?”
“Perusahaan teknologi fiktif. Nama depannya Orion, kedoknya perusahaan start-up internasional,” jelas Arka. “Orchid menampar wajah kita di depan umum. Mereka bersembunyi di tempat paling terang.”
Sunyi menyelimuti ruangan. Semua menyadari betapa seriusnya hal ini.
Cakra akhirnya bicara, matanya menatap Celin mantap. “Kalau gitu, kita ikut terjun. Kita yang memulai, kita yang harus mengakhirinya.”
---
Jam menunjukkan pukul 23.00 ketika mereka tiba di lokasi. Gedung Orion menjulang, kaca-kacanya berkilauan oleh cahaya kota. Dari luar tampak normal pekerja lembur, satpam di lobi, dan lampu-lampu kantor menyala.
Tapi di lantai 30 ke atas, intelijen memastikan ada ruangan khusus. Itulah pusat server Orchid, tempat data rahasia negara disimpan sebelum dikirim keluar.
Rombongan terbagi menjadi dua tim:
Tim A: Arka, Aksa, dan sebagian pengawal intelijen. Mereka akan masuk lewat basement dan naik lewat lift servis.
Tim B: Celin, Cakra, dan dua agen pilihan. Mereka akan menyusup lewat rooftop dengan helikopter kecil.
“Jangan ragu. Malam ini harus selesai,” ujar komandan operasi, memberi kode.
Celin menatap Cakra. Pemuda itu sudah memakai rompi pelindung dan headset komunikasi. “Kamu yakin?” bisiknya.
Cakra menoleh, menatap matanya dalam. “Selama kamu di sampingku, aku yakin.”
---
Helikopter mendarat di atap gedung dengan suara berisik singkat. Celin, Cakra, dan dua agen melompat cepat, lalu bergerak menuju pintu darurat. Sementara itu, Arka dan Aksa berhasil masuk lewat basement, menyamar sebagai teknisi jaringan.
Sinyal radio berderak.
Arka: “Tim A sudah di lantai 20. Masih aman.”
Cakra: “Tim B di rooftop. Siap turun.”
Celin memegang laptopnya erat. Ia yang bertugas meretas sistem keamanan internal. Jemarinya menari cepat di keyboard kecil, dan dengan beberapa kode, alarm kamera CCTV dimatikan.
“Jalan kita bersih 5 menit,” katanya.
Mereka turun pelan melalui tangga darurat. Lantai 31 penuh kaca dan server besar. Suara dengung mesin memenuhi udara. Namun sebelum sempat mereka bergerak lebih jauh
“Berhenti.”
Dari balik rak server muncul puluhan pria bersenjata, wajah keras, jelas bukan satpam biasa.
“Sudah kuduga kalian datang,” kata seorang pria berjas putih. Wajahnya asing, tapi auranya dingin. “Aku Liang, kepala cabang Orchid Asia Tenggara.”
Celin merasakan hawa dingin merambat ke tulang. Inilah otak sebenarnya.
---
Tembakan meletus. Semua berlindung di balik server. Api dan percikan listrik berloncatan. Celin menunduk, menutup telinganya, tapi tetap memegang laptop.
Cakra menembak balik, wajahnya tegang. “Celin, cari terminal utama! Hancurkan data mereka!”
Dengan tubuh merunduk, Celin merayap ke meja komputer di tengah ruangan. Kabel-kabel berserakan, layar penuh kode asing. Ia mencolokkan laptopnya dan mulai bekerja.
Arka dan Aksa muncul dari pintu samping, ikut menembak musuh. “Cepat, Celin!” teriak Arka.
Sementara itu, Liang bergerak cepat, mengeluarkan pisau perak panjang. Ia menyerang Cakra dengan gerakan terlatih. Benturan sengit terdengar ketika Cakra menahan dengan tongkat baja dari rak.
“Orchid tidak akan pernah jatuh hanya karena anak-anak kaya seperti kalian!” teriak Liang.
Cakra menggertakkan gigi. “Kamu salah. Justru karena kami punya sesuatu yang Orchid nggak punya.”
“Maksudmu apa?”
Cakra melirik sekilas ke arah Celin. “Kami punya keberanian untuk melindungi.”
Pertarungan jarak dekat pun meledak. Liang lihai, setiap tusukan hampir mengenai vital Cakra. Tapi Cakra bertahan, mengulur waktu agar Celin bisa menyelesaikan pekerjaannya.
---
Di layar laptop, Celin menemukan inti jaringan Orchid. Sistem keamanan bertingkat, tapi ia sudah terbiasa. Dengan keringat dingin menetes di kening, ia mengetik cepat, menghubungkan virus penghancur yang dibuat Aksa.
“Proses 70%,” lapornya sambil gemetar.
“Teruskan!” sahut Aksa, menembak musuh yang mendekat.
Liang menyadari itu. Dengan teriakan marah, ia melepaskan Cakra lalu melompat ke arah Celin.
“Jangan sentuh dia!” teriak Cakra, melempar tongkat baja tepat ke tubuh Liang. Pria itu terhuyung, cukup memberi waktu Celin menekan tombol terakhir.
“Proses 100%. Jaringan Orchid… terhapus.”
Layar server mendadak gelap. Lampu ruangan berkedip-kedip, mesin mendengung keras lalu mati.
Liang menjerit, matanya merah. “Kalian berani menghancurkan kerjaanku selama 10 tahun!”
Arka menembaknya di bahu, membuatnya jatuh tersungkur.
---
Dengan Orchid Asia Tenggara runtuh, pasukan intelijen segera masuk, menangkap sisa anak buah. Liang diborgol, wajahnya penuh kebencian.
“Orchid masih ada di luar sana… kalian pikir sudah menang?” gumamnya.
Komandan operasi menatapnya dingin. “Tanpa server pusat, jaringanmu buta. Sisa-sisanya hanya bayangan.”
Celin berdiri di samping Cakra, tubuhnya masih gemetar. Ia menatap layar laptopnya yang kini kosong. Semua data, semua rencana jahat, sudah musnah.
Arka memeluk bahunya singkat. “Kamu hebat, kak Celin.”
Aksa mengangguk. “Kita semua hebat. Tapi yang paling penting ini sudah selesai.”
Cakra meraih tangan Celin, menggenggam erat. “Kamu aman sekarang. Kita semua aman.”
Untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai, Celin menghela napas lega.
---
Pagi menjelang. Matahari terbit di balik gedung-gedung, cahayanya hangat menembus jendela ruang rapat gedung Orion yang kini jadi TKP.
Celin berdiri di balkon, menatap langit oranye. Cakra berdiri di sampingnya, diam-diam memperhatikan wajahnya yang tenang.
“Rasanya seperti mimpi,” ucap Celin pelan. “Dulu aku cuma mahasiswa biasa. Sekarang… aku bahkan ikut menghancurkan jaringan spionase internasional.”
Cakra tersenyum tipis. “Mungkin Tuhan memang memilih kamu untuk itu.”
Arka dan Aksa muncul, keduanya tampak lelah tapi bahagia. “Mulai hari ini, Orchid resmi musnah di Indonesia,” kata Arka.
Aksa menambahkan, “Dan kita bisa kembali hidup normal.”
Celin menoleh ke Cakra, lalu ke saudara-saudaranya. Senyum kecil terbit di wajahnya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa benar-benar tenang.
Ia tahu bahaya tidak pernah hilang sepenuhnya. Tapi sekarang, dengan keluarga dan orang yang ia percaya di sisinya, Celin yakin apa pun yang datang nanti, mereka bisa menghadapinya.
Dan di bawah sinar matahari pagi, kisah Orchid berakhir.
bersambung