"mbak meli ,besar nanti adek mau sekolah dikota smaa mbak "ucap lita yang masih kelas 1 SMP
" iya dek kuliahnya dikota sama mbak "ucap meli yang sudah menikah dan tinggal dikota bersama suaminya roni.
apakah persetujuan meli dan niat baiknya yang ingin bersama adiknya membawa sebuah akhir kebahagiaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khozi Khozi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 22 rian
Setelah puas menyuruh Vina memijiti bahunya, Lita kembali bersandar di sofa. Matanya menatap televisi, namun pikirannya ke mana-mana. Ia merasa jengah dengan kehadiran pengawal itu. Maka sebuah ide terlintas di kepalanya.
"Vina," ucapnya pelan namun bernada perintah.
"Iya, Nyonya?" Vina mendekat dengan sopan.
"Kalau memang kamu disuruh menjaga aku, sekalian saja bersihin rumah ini. Aku nggak suka kalau ada debu sedikit pun."
Mata Vina sempat terbelalak tipis, namun ia cepat menunduk. "Baik, Nyonya," jawabnya singkat. Tanpa membantah ia mengambil perlengkapan kebersihan dan mulai bekerja.
Sementara itu, Lita hanya duduk manis di sofa. Tangannya meraih cemilan di meja, sesekali memasukkannya ke mulut sambil menonton acara televisi dengan wajah datar. Dari ekor matanya, ia memperhatikan gerak-gerik Vina yang sibuk menyapu, mengepel, hingga membersihkan perabot. Dalam hati, Lita tersenyum miris. Kalau setiap hari dia diperlakukan seperti ini, mungkin dia tidak akan betah. Lama-lama dia pasti mundur sendiri.
Hampir satu jam penuh Vina berkeliling rumah, memastikan semuanya bersih. Meski lelah, ia tidak mengeluh sedikit pun. Setelah pekerjaannya selesai, ia berjalan ke teras, mengambil ponselnya, dan menelpon Roni. Ia sengaja keluar rumah, tidak ingin Lita mendengar pembicaraannya.
"Selamat malam, Bos. Saya ingin melaporkan kegiatan Nyonya hari ini," ucap Vina dengan nada formal.
Di seberang sana, Roni mendengarkan sambil tersenyum tipis. Matanya menatap layar CCTV yang sejak tadi merekam semua aktivitas Lita dan Vina di rumah.
"Bagus. Kamu sudah bekerja dengan baik. Awasi terus dia, ke mana pun dia pergi, apa pun yang dia lakukan. Jangan sampai ada yang terlewat," ucap Roni pelan namun penuh tekanan.
Vina mengangguk meski tahu Roni tidak bisa melihatnya. "Baik, Bos. Akan saya laksanakan."
Roni lalu menambahkan, "Oh iya, saya lihat dari rekaman, pekerjaanmu bertambah jadi pembantu rumah tangga. Anggap saja itu bagian dari tugas. Tenang saja, saya akan beri kamu bonus lebih."
Vina menarik napas lega. "Terima kasih, Bos." Setelah itu ia menutup telepon dengan sopan, lalu kembali masuk rumah dengan wajah datar, seolah tidak terjadi apa-apa.
Di dalam, Lita masih duduk bersandar di sofa. Ia melirik sekilas, pura-pura tidak peduli, meski sebenarnya rasa kesalnya makin menumpuk. Bahkan pengawal itu melapor di belakangku… apa aku benar-benar tidak punya ruang gerak sama sekali?
Lita melirik ke arah belakangnya, merasa risih karena sejak tadi Vina terus berdiri di sana dengan sikap tegap, seakan sedang menjalankan tugas resmi. “Apa kamu tidak bosan berdiri terus di belakangku? Aku memperbolehkan kamu keluar, kok,” ucap Lita dengan nada setengah kesal, mencoba memberi ruang bagi dirinya sendiri.
Namun, Vina hanya menjawab singkat sambil menatap lurus ke depan. “Tidak, Nyonya. Terima kasih,” suaranya datar, penuh dengan ketegasan seorang penjaga yang tidak mau lalai dari tugas.
Lita menghela napas panjang, berusaha menahan rasa jengkel. “Aku tidak akan menawarkannya dua kali,” katanya lagi, kali ini dengan intonasi lebih tegas, berharap Vina luluh. Ia ingin sendirian, tanpa bayangan seseorang yang mengawasi tiap gerak-geriknya.
Tetapi Vina tetap bergeming. “Kalau Nyonya butuh apa-apa, bilang saja sama saya,” jawabnya, tetap dingin, seolah tak mendengar penawaran Lita. Perkataan itu justru membuat Lita kehilangan cara untuk menyingkirkan perempuan itu.
“Aku mau keluar cari makan,” kata Lita, mencoba berdiri dari sofa. Ia berharap alasan itu bisa menjadi celah agar Vina akhirnya meninggalkannya.
Namun sekali lagi Vina mengantisipasi. “Saya sudah siapkan makan malam. Semuanya ada di meja makan,” jawabnya cepat, seakan sudah hafal dengan segala kemungkinan alasan yang akan digunakan Lita.
rasa frustasi menyeruak di dadanya. “Rasanya seperti dipenjara,” gumamnya lirih, meski tidak cukup keras untuk didengar jelas oleh Vina.
“Makan kamu saja. Aku ngantuk, mau tidur,” ucap Lita akhirnya, memilih mengalah. Ia berdiri lagi, kali ini sungguh-sungguh, lalu menaiki tangga menuju kamar di lantai atas.
Vina menatap punggung majikannya yang menghilang di balik lantai atas itu. Ia tahu betul alasan Lita tadi bukanlah rasa ngantuk, melainkan hanya akal-akalan supaya punya ruang sendiri. Tapi Vina tidak bisa berbuat apa-apa. Tugasnya adalah tetap berjaga, memastikan tidak ada hal yang membahayakan.
Pagi itu, Lita sudah bersiap berangkat ke kampus untuk hari keduanya mengikuti ospek. Ia tidak menyapa Vina karena masih kesal dengan kejadian semalam. Di sisi lain, dia tidak tahu apa semalam dia masih berjaga di tempat itu hampir 24 jam lamanya.
Di depan gedung, sahabatnya sudah menunggu.
“Sahabatku sudah datang, ayo kita masuk sekarang,” ucap Devi sambil menggandeng tangan Lita menuju lapangan.
Namun, langkah mereka tiba-tiba terhenti. Seorang laki-laki berdiri menghadang jalan mereka.
“Hai, boleh kenalan?” tanyanya ramah. Ia adalah Rai, sosok yang biasa dipanggil Kak Rai.
“Boleh, Kak. Kenalin, aku Lita,” jawab Lita sambil menyambut uluran tangan Rai.
“Aku Rai,” ucapnya dengan senyum tipis. Entah mengapa, kali ini justru ia yang lebih dulu memperkenalkan diri. Padahal biasanya, perempuanlah yang sering lebih dulu ingin mengenalnya.
“Ini kenalin, Kak. Ini temen aku, namanya Devi,” ucap Lita sambil memperkenalkan temannya dengan senyum ramah.
Devi hanya membalas dengan senyuman kecil, terlihat agak malu-malu.
“Kamu dari kelompok berapa?” tanya Rian, menatap Lita dengan ekspresi penasaran.
“Aku kelompok tiga, Kak. Yang di dekat lapangan itu,” jawab Lita sopan.
“Oh, gitu. Kalian semangat ya,” ucap Rian memberi semangat.
“Iya, Kak,” jawab mereka berdua hampir bersamaan.
Rian lalu menambahkan, “Kalau kamu butuh apa-apa, panggil aku aja, ya.”
“Iya, Kak. Makasih,” balas Lita dengan senyum tulus.
Setelah itu, Rian pergi meninggalkan mereka. Namun, dari kejauhan Gina dan Gista yang sedari tadi memperhatikan, mulai saling pandang dengan tatapan tidak suka. Terutama Gina—mata gadis itu semakin tajam saat menatap ke arah Lita.
“Gis, kita harus kasih pelajaran ke anak baru itu. Sok cantik banget, mentang-mentang baru datang udah berani deket sama Rian,” ucap Gina dengan nada kesal. Hatinya benar-benar tersulut. Selama ini, Rian adalah laki-laki yang sudah lama ia incar. Berbagai cara sudah ia lakukan untuk menarik perhatian cowok itu—mulai dari berdandan semanis mungkin, selalu mencari kesempatan untuk ngobrol, bahkan pura-pura butuh bantuan. Tapi sayangnya, tidak ada satu pun yang berhasil. Rian tetap bersikap biasa saja, seakan-akan Gina hanyalah teman biasa yang lewat begitu saja.
Yang lebih menyakitkan lagi, kehadiran Lita yang baru hitungan hari di tempat itu justru membuat Rian menoleh. Padahal Lita tidak melakukan apa pun, tidak berusaha menarik perhatian, bahkan cenderung polos dan sederhana. Tapi justru itu yang membuat tatapan Rian singgah lebih lama ke arahnya. Hal itu membuat Gina semakin merasa kalah.
“Pokoknya, aku nggak bisa diam aja. Kalau dibiarkan, nanti Rian makin dekat sama dia. Aku harus bikin dia kapok,” gumam Gina penuh amarah.