Bima Pratama bukan sekadar anak SMK biasa.
Di sekolah, namanya jadi legenda. Satu lawan banyak? Gaspol. Tawuran antar sekolah? Dia yang mimpin. Udah banyak sekolah di wilayahnya yang “jatuh” di tangannya. Semua orang kenal dia sebagai Jawara.
Tapi di rumah… dia bukan siapa-siapa. Buat orang tuanya, Bima cuma anak cowok yang masih suka disuruh ke warung, dan buat adiknya, Nayla, dia cuma kakak yang kadang ngeselin. Gak ada yang tahu sisi gelapnya di jalan.
Hidup Bima berjalan di dua dunia: keras dan penuh darah di luar, hangat dan penuh tawa di dalam rumah.
Sampai akhirnya, dua dunia itu mulai saling mendekat… dan rahasia yang selama ini ia simpan terancam terbongkar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aanirji R., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Profesional Melawan Amatir
Aula kembali bergemuruh. Nama Andre (2C) dan Dodi (3C) baru saja dipanggil. Dari tribun, sorakan langsung pecah, kali ini lebih kencang dibanding pertandingan sebelumnya.
“Dodi! Dodi! Dodi!” teriakan penonton bersahut-sahutan, terutama dari arah barisan kelas 3 dan para siswi yang jelas-jelas mengidolakan sosok jangkung kekar itu.
Andre berjalan ke arah ring dengan langkah berat. Keringat dingin menetes di pelipisnya meski AC aula cukup dingin. Di dalam kepalanya, hanya satu kalimat yang terus terulang: gua bakal lawan orang terkuat kedua geng Bima Sakti... guru gua sendiri.
Raka yang duduk di samping Bima sempat nyeletuk, sambil menahan tawa kecil, “Waduh, Andre sih udah kayak kambing masuk kandang macan, ya, Bim.”
Bima cuma melirik sekilas, tatapannya fokus ke arah ring. “Jangan remehin Andre. Dia orang tangguh. Daya tahannya gila.”
Tapi dalam hatinya, Bima sendiri penasaran: Gimana cara Dodi ngejatuhin dia?
***
Di sisi lain, Dodi berjalan santai menuju ring. Ekspresinya datar, langkahnya tenang, seperti bukan pertandingan penting yang sedang ia hadapi. Tatapannya lurus ke depan, tidak peduli dengan cewek-cewek yang berteriak histeris memanggil namanya. Sesekali, hanya dagunya yang terangkat sedikit, menegaskan wibawa dan ketenangannya.
Begitu naik ke ring, sorakan makin menggila. Andre menelan ludah, kedua tangannya mengepal di depan wajah, mencoba memompa keberaniannya sendiri.
Lu bisa, Dre… setidaknya tahan dulu sampai ronde dua. Jangan kalah konyol.
***
Bel berbunyi.
Dodi langsung maju, langkahnya ringan tapi penuh tekanan. Andre sempat kaget dengan kecepatan tubuh besar itu. Sebelum sempat menyerang, pukulan jab Dodi sudah meluncur tepat ke pipinya.
Bug!
Andre terhuyung. Belum sempat menyeimbangkan diri, satu hook lagi menghantam tubuhnya.
“Ughh—!” Andre meringis, tapi tetap bertahan. Ia mencoba membalas dengan straight keras, namun Dodi menunduk, menghindar begitu gampang seakan membaca gerakan Andre sebelum benar-benar terjadi.
Counter cepat melayang—jab ke perut, lalu uppercut ke dagu.
Penonton langsung berdiri, bersorak keras.
“Gila, Dodi rapi banget serangannya!” teriak salah satu anak kelas 2.
Andre mencoba kembali menyerang dengan kombinasi pukulan, tapi semua gerakannya seolah dipatahkan sebelum sempat menyentuh. Setiap pukulan diblok, ditangkis, atau malah dibalas dengan counter telak.
Bima yang menatap dari bangku mulai terdiam. Dia beda... cara dia gerak, cara dia baca lawan... persis kayak atlet MMA profesional.
***
Ronde baru berjalan dua menit, Andre sudah kehabisan napas. Nafasnya ngos-ngosan, sementara Dodi bahkan belum tampak berkeringat.
“Lu hebat, Dre,” suara Dodi rendah tapi jelas terdengar di telinga Andre, “tapi di ring ini… gua ga bakal nahan diri.”
Tanpa menunggu balasan, Dodi melakukan takedown cepat. Tubuh Andre terbanting keras ke matras.
Bugh!
Sebelum Andre sempat bangkit, Dodi sudah berada di atasnya, mengunci tubuhnya rapat. Ground and pound pun dimulai—pukulan bertubi-tubi menghujam, tapi tetap terukur, tidak brutal, seakan menunjukkan kendali penuh.
Andre berusaha melawan, tapi semakin meronta, semakin dalam kuncian Dodi menekan.
Sampai akhirnya, wasit mengangkat tangan.
“Stop! Pertandingan selesai!”
Sorakan kembali mengguncang aula. “DODI! DODI!”
***
Dodi bangkit, berdiri dengan tubuh tegak, sorot matanya tajam tapi tenang. Sorakan cewek-cewek makin histeris, beberapa bahkan menyebut namanya dengan nada genit. Tapi Dodi tidak menoleh sedikit pun.
Ia hanya mengedarkan pandangan, lalu berhenti tepat ke arah tribun kelas 2B.
Matanya bertemu dengan Bima.
Senyum tipis muncul di wajah Dodi—senyum yang dingin tapi penuh arti.
Setelah itu, ia turun dari ring, meninggalkan Andre yang masih terbaring lelah dan harus dibantu medis.
Bima terdiam. Hatinya bergemuruh, bukan karena takut, tapi kagum. Ini… Dodi yang asli. Lawan kayak gini… suatu saat gua pasti bakal berhadapan juga.
Aula mulai mereda setelah pertandingan selesai. Nama Dodi kembali jadi sorotan, cewek-cewek masih heboh ngebahas tubuhnya yang kekar, sementara cowok-cowok cuma bisa manggut—ngakui kalau gaya bertarungnya emang kelas lain.
Di tribun, Raka nyeletuk sambil ngakak kecil, “Waduh, kasian Andre. Baru ronde satu udah diacak-acak. Itu mah bukan bertanding, namanya dibantai halus.”
Bima nggak menanggapi. Matanya tajam, menatap kosong ke arah ring yang baru saja ditinggalkan Dodi. Gerakan, timing, cara Dodi melakukan takedown, sampai ground and pound yang presisi—semua terekam jelas di kepalanya.
Dia selalu tenang. Nggak keburu-buru. Setiap serangan efektif, setiap gerakan punya tujuan. Bahkan pas nyerang, dia tetap ngontrol, nggak asal mukul.
Pikirannya sibuk membedah detail itu satu per satu. Sampai Raka nepuk pundaknya.
“Bim? Lu mikir apaan? Jangan bilang lu mau coba gayanya Dodi juga?”
Bima cuma nyengir tipis. “Belajar nggak ada salahnya, Rak. Tekniknya terlalu rapi buat dilewatin.”
***
Tak lama kemudian, bel tanda istirahat pertandingan berbunyi. Semua peserta kembali ke kelas masing-masing, termasuk Bima dan Raka. Aula berganti dengan hiruk pikuk siswa yang ngobrolin hasil pertandingan tadi.
Di kelas 2B, Bima duduk di bangkunya, kedua tangannya mengepal lalu dilepaskan berulang, seolah membayangkan skenario di ring.
Kalau gua lawan orang kayak Dodi… gua harus bisa sabar, harus bisa nunggu timing. Serangan buru-buru percuma. Timing… sama presisi.
Dia mengulang-ulang gerakan shadow boxing kecil di udara.
Jab—hindar—counter.
Hook ke tubuh—undur—uppercut.
Tangannya berhenti sejenak. Ini semua harus gua gabung sama jurus pamungkas gua. One Punch. Timing-nya… itu kuncinya.
***
Sementara Bima larut dalam pikirannya, suara pengeras aula kembali terdengar:
“Pertandingan berikutnya, Nando (1C) vs Fahri (3B)! Para peserta diharapkan menuju ring.”
Sorakan kembali bergemuruh. Dari bangku kelasnya, Bima dan Raka langsung menoleh ke luar jendela, mendengar nama yang disebut.
“Wah, ini bakal menarik,” gumam Raka. “Nando kan masih kelas satu, tapi gua denger dia lincah banget. Lawannya Fahri, orang keras kepala dari kelas tiga. Berat sebelah sih, tapi… siapa tau?”
Bima menutup tangannya, berdiri dari bangku. “Ayo ke aula. Pertandingan ini bisa banyak ngajarin gua juga.”
***
Di aula, suasana udah ramai lagi. Ring dikelilingi penonton yang tak sabar. Nando dengan tubuh rampingnya naik ke ring, wajahnya agak tegang tapi matanya menyala. Sementara Fahri, posturnya lebih besar, gaya jalannya penuh percaya diri, seperti singa yang masuk kandang berburu.
Wasit memberi aba-aba.
“Siap? Mulai!”
Sorakan langsung meledak. Nando melompat-lompat ringan, menjaga jarak, mengandalkan kecepatannya. Fahri maju dengan langkah berat, tangannya sudah siap melepaskan pukulan.
Pertandingan pun dimulai—dan seisi aula menahan napas, menunggu siapa yang akan menguasai ronde pertama.