Di sudut kota Surabaya, Caroline terbangun dari koma tanpa ingatan. Jiwanya yang tenang dan analitis merasa asing dalam tubuhnya, dan ia terkejut saat mengetahui bahwa ia adalah istri dari Pratama, seorang pengusaha farmasi yang tidak ia kenal.
Pernikahannya berlangsung lima tahun, hanya itu yang diketahui. Pram ingin memperbaiki semuanya. Hanya saja Caroline merasa ia hanyalah "aset" dalam pernikahan ini. Ia menuntut kebenaran, terlebih saat tahu dirinya adalah seorang bangsawan yang dihukum mati di kehidupan sebelumnya, sebuah bayangan yang menghantuinya
Apakah mereka akan maju bersama atau justru menyerah dengan keadaan?
p.s : setiap nama judul adalah lagu yang mendukung suasana bab
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Carolline Fenita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Both Sides Now
Diana mematung. Keramahannya sedikit pudar, digantikan ekspresi bingung. "Kontak saya? Untuk apa, kalau saya boleh tahu?"
Caroline menatap lurus mata Diana.
"Aku sedang ingin mencari tahu sesuatu. Dan aku merasa tidak bisa bertanya begitu saja pada Pram tentang itu. Aku butuh bantuanmu."
Diana ragu. Matanya sekilas tertuju ke Pram yang masih membelakangi mereka, lalu kembali ke Caroline. Ada campuran ketakutan dan kebingungan di wajahnya.
"Maaf, Kak Ine. Tuan Pratama mungkin tidak suka."
"Ini bukan tentang Tuan Pratama," potong Caroline pelan namun tegas. "Aku janji tidak akan menanyakan hal yang di luar batasmu."
Caroline mencondongkan tubuh sedikit, suaranya nyaris berbisik.
"Tolong. Hanya nomor ponsel. Aku janji tidak akan memberitahu Pram."
Diana masih enggan memberikannya, “Maaf, ini cukup privasi bagiku.” Dia mau mundur sebelum lengan kirinya agak ditarik pelan, lalu ia menoleh terakhir kalinya ke perempuan di depannya.”
Diana masih tampak bimbang, mengamati raut wajah serius Caroline. Perlahan, ia menghela napas, seolah mengambil keputusan berat.
"Maafkan aku," ucap Diana, suaranya sangat pelan. Diana menoleh ke samping kiri saat ada yang berteriak di belakang, memanggil namanya. Dia melepas genggaman tangan di lengan kirinya dan matanya memancarkan sorotan penuh permohonan. “Pelanggan cukup ramai, saya harus bertugas."
“Oh.” Caroline langsung menarik genggamannya. “Maafkan aku yang menginterupsimu.”
Diana balas tersenyum dan mengangguk kecil, saat sudah berjalan tiga langkah menjauhi Caroline, ia membalikkan badannya.
“Juga untuk aku dan suamimu tenang saja, tidak ada apa-apa di antara kami. Sebenarnya jika mau, kamu juga bisa bertanya pada Andreas atau Frans, mereka lumayan banyak tahu dibandingkan aku.”
Caroline menerima sarannya. "Oke, Diana. Banyak terima kasih. Sepulangnya, aku akan memberi rating yang baik di tempat kerjamu." Ia tersenyum, senyum tulus yang jarang terlihat belakangan ini. "Kamar mandinya di mana?"
Diana menunjuk ke arah lorong di samping dapur. "Lurus saja, Kak. Di paling ujung."
***
Caroline berjalan menuju kamar mandi, pikirannya berkecamuk. Sebelum mual melandanya lagi, ia segera menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya.
Pikirannya sudah lebih jelas, Diana tidak memberinya kontak, tapi justru memberikan petunjuk lain. Andreas dan Frans. Sepertinya sedikit sulit untuk membujuk dua orang kepercayaan Pram.
Di dalam kamar mandi, Caroline membasuh wajahnya dengan air dingin, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berdegup kencang. Ia menatap pantulannya di cermin. Ia akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia harus mengisi ingatannya.
Setelah keluar dari kamar mandi, Caroline kembali ke meja. Pram sudah menghabiskan makanannya dan kini menyesap teh tawar hangatnya.
"Sudah lebih baik, Lin?" tanya Pram, kedua alisnya menyatu dan telapaknya menyentuh kening istrinya.
Caroline mengangguk. "Ya. Aku hanya buang air kecil dan merapikan riasan. Oh ya, Pram, tadi aku sempat berbicara sedikit dengan Diana."
Pram sedikit kaget. "Oh? Dia bilang apa?"
"Tidak banyak," Caroline menjawab santai, mengamati reaksi Pram. "Hanya menanyakan kamar mandi dan sedikit basa-basi. Dia bilang...” Sengaja menjedanya dan melihat ekspresi lelaki sedikit pecah, dia tetap tersenyum sambil melanjutkannya dengan sedikit penekanan. “…juga mengenalmu sejak lama."
“En. Dulu kami memang satu sekolah,” ungkap Pram.
“Hanya satu sekolah?” Tanya Caroline. Lelaki itu justru tertawa kecil dan mengacak rambutnya balik. Ia mencandainya, “Iya, apakah Nyonya Dananjaya sedang cemburu?”
Caroline gelagapan ditembak seperti itu. Ia segera menggelengkan kepalanya dengan cepat. Seberapa meyakinkan alasannya, Pram tetap terkekeh dan meraih telapaknya. “Iya Nyonya kecil, masuklah ke mobil lebih dahulu. Aku bayar ke kasir dulu.”
Caroline merasakan telapak tangannya terisi sesuatu, dan saat membukanya, ia melihat kunci mobil. Mau membantah, dia justru membuat Pram semakin tertawa kencang. Dia urung menanyakannya lebih lanjut dan keluar dari kafe.
Lampu mobil menyala beberapa kali diikuti bunyi dari kunci yang dibuka. Caroline masuk, menekan kunci beberapa kali sebelum berhasil masuk dan memutarnya sesuai arah panah disana. Dengan bantuan flashlight, akhirnya mobil menyala. Perempuan itu segera duduk di kursi penumpang depan, menyalakan AC dan menunggu.
Sambil menunggu Pram kembali, Caroline merenung. Diana tidak memberikan kontak, dan menyebut Andreas serta Frans tahu banyak. Namun..
“Meminta informasi langsung dari mereka, terutama mengenai kecelakaan atau hal-hal sensitif tentang Pram, akan sulit. Pram pasti sudah memberi tahu mereka untuk tidak membahas hal-hal itu secara detail.” Ia bergumam kecil dan konsentrasinya tersita oleh buku kecil yang diselipkan di kaca depan.
Caroline menghela napas. Ada cara lain.
Dr. Karina memberinya jurnal, tempat ia bisa menuangkan apa saja. Mungkin ia harus mulai dari sana. Menuliskan setiap kilasan ingatan, setiap perasaan yang muncul, sekecil apa pun. Mungkin dari sana ia bisa menemukan pola, atau pemicu yang bisa membuka lebih banyak ingatan.
“Tapi ini belum cukup.”
Dulu seingatnya, Pram pernah membawa segudang album namun ia abaikan karena terlalu cemas. Ia bisa meminta Pram untuk menunjukkan foto-foto mereka, album keluarga, atau video. Tetapi.. jika memintanya, apakah dia mau begitu saja memberikannya?
“Seharusnya mau,” pikirnya. Selama ini Pram bersikap cukup baik, hanya saja kalau ditanya seperti tadi, wajahnya terlihat sekali gugup.
Rasanya apa yang melatarbelakangi overdosisnya itu, memang bukan hal biasa.
Dan Pram pasti memilih menghilangkan kenangan buruk itu.
Terserahlah. Yang terpenting, ia harus melakukannya tanpa terlalu mencurigakan.
Jika ia terlalu aktif mencari tahu, ia yakin bahwa suaminya dari koala lembut berubah drastis menjadi protektif. Menolak batas teritorialnya diinjak.
Ketika Pram akhirnya masuk ke mobil, Caroline sudah memasang senyum tipis.
"Sudah selesai, Pram?"
"En. Ayo kita pulang," jawab Pram. Matanya melirik kunci mobil yang tergantung dan mesin yang menyala, “Kau juga cepat belajar, pertama kali memasukkan kunci dan menyalakan mesin, terbilang lumayan.”
Caroline menggaruk kulit kepalanya yang tidak gatal, jika Pram tahu bahwa dia tadi hampir mematahkan kuncinya, dia pasti akan menarik ucapannya.
Pram yang tidak tahu apa-apa, menjalankan mobil dan menyalakan radio lagi. Kini sudah tidak ada yang diberitakan dan sudah kembali ke lagu biasa. Satu tetes demi tetes, hujan mulai turun dan membasahi luar jalan.
Di dalam mobil, Caroline mendengarkan sepenggal lirik. Punggungnya sedikit demi sedikit rileks. Petir yang menggelegar dan menyambar, berhasil tertutupi dengan ini.
Entah mengapa ia ingin memutar ulang lagu ini terus menerus, seolah dulu ia begitu menyukai lagu ini.
Payung berwarna-warni, tidak ada. Hanya ada payung kelabu dimana-mana. Orang berlarian menjauhi hujan, beberapanya masih dalam pakaian kantor. Ada yang menerobos lampu. Ada juga yang berteduh di bawah kanopi. Caroline memperhatikannya sambil menelengkan kepalanya miring.
from up and down, and still somehow
it’s cloud illusions i recall
i really don’t know clouds at all
moons and junes and ferris wheels
Saat ia memejamkan matanya lagi, lagu tetap berjalan. Pratama meliriknya dari samping, sedikit memperkecil volume radio. Tetapi pria itu tetap menggenangnya tanpa suara. Bibirnya melengkung sedih, saat Mindy Gledhill sudah mencapai lirik yang dulu sering didengarkannya di rumah sakit.
i’ve looked at love from both sides now
from give and take, and still somehow
it’s love’s illusions i recall
i really don’t know love
really don’t know love at all
tears and fears and feeling proud
to say “i love you” right out loud
Pram menunggu lampu merah menjadi hijau di jalanan. Pandangannya sedikit kabur, tetapi ia mengusapnya secepat mungkin.
Tangannya membeku di setir tetapi tetap terkoordinasi membelokkannya pulang.
Pulang ke rumah mereka.
i really don’t know life at all
both sides now
both sides now