Melati dan Kemuning tak pernah melakukan kesalahan, tapi kenapa mereka yang harus menanggung karma perbuatan dari orang tuanya?
Sampai kapan dan bagaimana cara mereka lepas dari kutukan yang pernah Kin ucapkan?
Assalamualaikum, cerita ini murni karangan author, nama, tempat dan kejadian semua hanya kebetulan semata. Selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsaniova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fakta Mengejutkan Tentang Masalalu Kin-Ddajat-Surya
Sekarang, Melati berjalan ke tepi jembatan, menatap ke bawah, berpikir kalau mati akan membuat semua penderitaannya selesai.
"Dek, kamu mau ikut kemana pun mbak pergi, kan?" tanya Melati tanpa menoleh dan Kemuning hanya diam.
Gadis itu masih menunggu apa yang akan dikatakan oleh kakaknya.
Lalu, Melati menoleh, menatap kosong pada adiknya yang terlihat kebingungan. "Ada apa, Mbak?"
"Kita akhiri semua sampai di sini?!"
"Maksudnya, Mbak?" Kemuning masih tidak mengerti.
Melati mendekat ke arah adiknya lagi, dia memeluknya dan berbisik. "Kita mati sama-sama, mbak udah nggak kuat lagi!" ucapnya dengan bergetar.
"Mbak," jawab Kemuning dengan lirih, dia melepaskan pelukan itu, menatap lekat sang kakak.
"Apa mbak putus asa?" tanya Kemuning dan Melati menggeleng, dia pun jatuh berlutut di depan adiknya.
Melati menunduk, merasa malu pada Kemuning dan sebenarnya apa yang Melati pikirkan sekarang sudah lama ada di benaknya dan Melati merasa kalau ini adalah waktu yang tepat.
Melati kembali mendongak, menatap sang adik meyakinkan kalau kematian adalah yang terbaik dan ini persis dengan apa yang Kin ucapkan dulu.
Melati mulai menggandeng tangan adiknya, membawanya ke tepi jembatan, belum sempat mengelak atau mengatakan sepatah katapun, Melati sudah menarik tangan Kemuning, mengajaknya terjun ke sungai.
"Aaaaaaa!" teriak keduanya bersamaan dan apa yang terjadi?
Mereka tenggelam, jatuh ke dasar dan kepalanya sempat membentur bebatuan di bawah sana membuat kepala mereka terluka.
Lalu, apakah semua sudah selesai? Tentu saja belum, justru ini adalah awal bagi Melati dan Kemuning.
Iya kah? Memangnya apa yang terjadi setelah ini?
Simak terus kisah Melati dan Kemuning, terimakasih banyak bagi yang masih setia membaca cerita ini.
_____________
Raga keduanya mulai hanyut terbawa arus sungai yang deras membawa mereka ke desa tetangga.
Di alam bawah sadarnya, mereka mengira kalau dirinya sudah mati, seperti apa yang diinginkan.
Namun, Melati justru kembali ke masalalu, dia berdiri di tengah desa dan di sana dia melihat Kin yang sedang menumbuk padi bersama ibunya di belakang rumah.
Mereka nampak bahagia, kehidupan di desa juga terlihat tentram. Tidak seperti sekarang ini yang dihebohkan dengan kutukan Melati dan Kemuning.
Lalu, Kin yang mengusap peluh itu mendongak, dia menatap ke arah Melati berdiri, lalu tersenyum ke arahnya membuat Melati mematung, hatinya seolah berhenti berdetak.
Kalau sebelumnya dia selalu melihat Kin menangis atau marah, ternyata Kin sangat cantik saat sedang tersenyum seperti ini.
Tanpa sadar, Melati membalas senyum itu dan mulai melangkah, ingin mendekat ke arah Kin berada dan saat itu, Melati menyadari sesuatu kalau dirinya bisa menggerakkan dua kakinya, tentu saja ini sangat membahagiakan baginya.
"Andai ini nyata, tapi ini semua cuma mimpi!" batin Melati, dia pun kembali fokus pada Kin yang ternyata tersenyum untuk orang lain.
Ya, seorang pria berpakaian rapih baru saja berjalan melewatinya, pria itu menggendong tas di punggungnya, sepertinya akan pergi jauh.
"Kang, jadi berangkat?" tanya Kin seraya menyambut lelaki itu.
"Iya, kita jauhan dulu buat satu tahun ini, nanti setelah pulang, akang akan langsung melamarmu!" jawab pria itu.
"Kenapa nggak sekarang saja? Niat baik nggak boleh ditunda," timpal Mirah seraya memperhatikan pemuda itu.
"Belum bisa, Mbok. Surya takut nggak berhasil, nanti malah bikin Kin dan si mbok sedih," jawab pria itu.
"Kami juga masih terlalu muda buat menikah, Mbok. Kalau Surya nggak punya uang, gimana ngasih makan Kin dan anak-anak kami?" sambungnya dengan sebuah pertanyaan.
Si mbok mengangguk mengerti dan sekarang Surya pamit pada Mirah dan Kin, dia meminta kesetiaan pada wanita itu dan Kin mengiyakannya.
Dengan langkah pelan tapi pasti, Surya mulai meninggalkan Kin, dia berniat merantau ke kota, baru saja melewati Melati yang masih memperhatikan.
Anehnya, Melati justru mengikuti langkah pria itu.
Namun, apa yang sudah direncanakan Surya tak berjalan dengan mulus, di perbatasan desa yang sepi sudah ada Drajat yang sedang menunggunya. Pria itu berdiri dengan menyenderkan punggung ke tiang jembatan kayu, menatap datar ke arah Surya yang menghentikan langkah.
"Kang Drajat, sedang apa di sini?" tanya Surya dengan ramah.
"Nunggu kamu, nunggu siapa lagi!" jawab Drajat seraya mendekat, dia langsung merangkul Surya dan saat itu perasaan Surya tiba-tiba berubah menjadi perasaan yang tidak enak.
"Ada apa ini, Kang?" tanya Surya seraya berusaha melepaskan rangkulan Drajat, tapi pria itu semakin erat merangkulnya.
"Begini saja, karena kita sama-sama menyukai Kin, bagaimana kita tentukan sekarang!" kata Drajat.
"Maksudnya, Kang?" Surya bingung, bagaimana mungkin sebuah perasaan bisa dinegosiasi?
"Satu lawan satu, yang mati harus dikubur, yang menang mendapatkan Kin!" Lalu, Drajat pun mendorong Surya sampai pria itu terjungkal.
"Perasaan nggak bisa dipaksa, Kang. Aku dan Kin saling mencintai, kalau aku nggak ada pun dia akan tetap setia sama aku!" jawab Surya dan jawaban itu membuat Drajat semakin tak menyukai rivalnya ini.
"Banyak omong kamu!" sahut Drajat seraya mendekat untuk menarik kerah jaket Surya lalu meninjunya.
Perkelahian pun tak terelakkan, mereka berdua saling baku hantam hingga akhirnya, Drajat yang tak mau dikalahkan itu mengambil pisau dari balik bajunya.
Melati yang masih memperhatikan itu semakin panik, dia memanggil bapaknya berulang kali, tapi Drajat sama sekali tak melihatnya.
"Kang, semua dapat dibicarakan!" kata Surya dengan tatapan yang tetap awas.
"Aaaaaaa!" teriak Drajat saat menyerang Surya dengan membabibuta, hingga akhirnya Surya tewas di tangannya.
Melati menutup mulutnya, dia tak percaya kalau ayahnya adalah seorang pembunuh yang keji. Tubuhnya gemetar sampai lemas.
"Bapak!" Melati menangisi Drajat yang sekarang sedang menyeret tubuh Surya dan dari tempatnya berdiri, Melati dapat melihat kalau Drajat menggali kuburan di tanah kosong tepi sungai untuk menyembunyikan jasad Surya.
Bruk! Melati jatuh pingsan, dia tak sadarkan diri.
Semua terasa gelap, sempit menghimpit. Beberapa saat kemudian Melati membuka mata dan mendapati dirinya sudah berbaring di ranjang kamarnya. "Apa aku sedang mimpi?" tanyanya pada diri sendiri.
"Kenapa aku udah pulang, bukannya aku sama Muning udah di usir dari desa dan aku sama Kemuning loncat ke sungai?" Melati bertanya-tanya dalam hati.
Dia pun turun dari ranjang, perlahan berjalan ke arah pintu, di sanalah dia mulai mendengar suara Karsih, suara yang amat dia rindukan.
Melati bergegas membuka pintu dan langsung dapat melihat Karsih sedang mengusap lembut rambut Melati kecil, di sofa ruang tengah seraya bersenandung merdu.
Melati menangis melihat itu, rasa rindu kini semakin menusuk kalbu. "Bu," panggil Melati lirih, dia tau kalau ibunya tidak akan mendengar, sama halnya seperti Drajat tadi, dia tau kalau semua ini tidak nyata, tapi begitu di depan mata membuat Melati ingin merengkuhnya.
Tanpa diduga, Karsih dan Melati kecil menoleh ke arahnya berdiri, kini saling menatap membuat Melati terkejut.
Ya, hatinya berdegup kencang, tak mengerti dengan tatapan mereka pun membuat rasa takut kini menyelimuti hati.
Melati mundur satu langkah. "Bu...," panggilnya dengan lirih, apakah ada yang salah dengan Melati hingga ibunya terlihat marah seperti itu?
Kelanjutannya ada di bab selanjutnya. 😇
waduhh bnr kah melati hamil ?