Putri Rosella Lysandrel Aetherielle, anak bungsu Kerajaan Vermont, diserahkan sebagai tawanan perang demi menyelamatkan tahta dan harga diri keluarganya.
Namun yang ia terima bukan kehormatan, melainkan siksaan—baik dari musuh, maupun dari darah dagingnya sendiri.
Di bawah bayang-bayang sang Duke penakluk, Rosella hidup bukan sebagai tawanan… melainkan sebagai alat pelampiasan kemenangan.
Dan ketika pengkhianatan terakhir merenggut nyawanya, Rosella mengira segalanya telah usai.
Tapi takdir memberinya satu kesempatan lagi.
Ia terbangun di hari pertama penawanannya—dengan luka yang sama, ingatan penuh darah, dan tekad yang membara:
“Jika aku harus mati lagi,
maka kau lebih dulu, Tuan Duke.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luo Aige, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Intrik mawar dan gagak
Pagi di Dreadholt beranjak lambat, kabut tipis yang tadi menggantung di pekarangan perlahan pecah diterpa cahaya matahari pucat. Dinding batu yang dingin mulai memantulkan sedikit kehangatan, walau hawa yang menusuk tetap sulit diabaikan. Para pelayan bergerak cepat di aula samping, menunduk tanpa suara, meninggalkan jejak langkah yang tak lebih dari bisikan di lantai marmer.
Rosella berdiri agak jauh dari hiruk itu. Tangan mungilnya sibuk merapikan kain meja yang sebenarnya sudah tersusun rapi, tapi ia sengaja berlama-lama di sana. Pandangannya tak benar-benar tertuju pada pekerjaannya—ia menunggu sesuatu, seseorang, yang ia tahu pada akhirnya akan datang.
Dan langkah itu tiba, berirama pelan, mantap, serta penuh keyakinan. Gaun lembut berwarna pucat bergerak ringan mengikuti setiap hentakan. Aroma mawar samar-samar mendahului pemiliknya, membuat Rosella tahu bahkan sebelum ia menoleh—Lady Evelyn.
Evelyn berhenti tidak jauh darinya, berdiri tegak dengan aura anggun yang biasa menyelimutinya. Namun kali ini, tatapannya sedikit berbeda. Ada rasa ingin tahu yang tertahan di balik dinginnya mata seorang bangsawan. Rosella menunduk sebentar sebagai bentuk sopan, lalu menatap kembali dengan senyum yang tipis dan penuh arti.
“Benarkah apa yang kau ucapkan kemarin?” Suara Evelyn tenang, namun jelas sekali menyimpan kewaspadaan.
Rosella menghela napas sejenak, lalu menjawab dengan senyum yang tidak bergeming.
“Saya bisa memenuhi keinginan Lady,” ujarnya, suaranya halus tapi mantap.
Alis Evelyn terangkat sedikit. Ia melangkah mendekat, jarak di antara mereka mengecil, gaunnya berdesir pelan. “Dan bagaimana caramu melakukannya?” tanyanya, nadanya tak sepenuhnya sabar—ada desakan, ada rasa penasaran yang tak bisa ia sembunyikan.
Rosella tidak terburu-buru. Ia membiarkan hening menggantung, membuat Evelyn menunggu. Baru kemudian ia mengangkat wajah, menatap lurus, dan berkata pelan, “Boleh saja saya membantu Lady mendekatkan diri kepada Duke Orion. Tetapi .…” Suaranya sedikit merendah. “Saya ingin sebuah kesepakatan. Jika saya melakukannya, Lady Evelyn harus berjanji membantu saya keluar dari Dreadholt.”
Tatapan Evelyn menajam. Wajah cantiknya seketika mengeras, sorot matanya menyipit seolah hendak menembus isi kepala Rosella. Ia menarik napas, lalu menjawab dengan nada yang menekan.
“Berani sekali kau. Apa kau pikir aku ini mainanmu? Kata-katamu lebih terdengar seperti ancaman daripada permintaan.”
Rosella tidak tergerak. Ia merapatkan tangannya di depan dada, bibirnya melengkung dengan tenang, seakan kata-kata itu tidak berarti.
“Jika Lady tidak berkenan, itu tidak masalah,” ujarnya dengan nada setengah berbisik. “Tapi jangan lupa, perjodohan di kalangan bangsawan tidak selalu berjalan mulus. Terlebih dengan sikap Tuan Duke. Dingin, keras, seperti batu yang tak bisa retak.”
Kata-kata itu menancap, membuat Evelyn mendengus kecil. Ia tersenyum miring, kali ini dengan sindiran halus yang penuh penghinaan.
“Jangan kira setelah berbicara begitu, aku akan tunduk pada pelayan rendahan sepertimu. Jangan harap.”
Sorot matanya menajam, menusuk dengan jelas. Ia berbalik cepat, langkahnya terdengar jelas menggema di lorong batu, gaunnya berayun anggun namun tegas—meninggalkan udara dingin yang lebih berat daripada sebelumnya.
Rosella tetap berdiri di tempat, tanpa rasa kalah. Justru senyum kecil muncul kembali di wajahnya. Tangannya yang terlipat di depan dada semakin erat, dan matanya menatap ke arah pintu tempat Evelyn menghilang.
Pelan, ia bergumam, hanya untuk dirinya sendiri.
“Bahkan meskipun kau menolak. Aku akan tetap memasukkanmu ke dalam rencana itu, Lady.”
Senyum puas itu bertahan lama, seolah menandai satu langkah baru dalam permainan berbahaya yang hanya Rosella sendiri tahu ujungnya.
~oo0oo~
Balai Hitam Kekaisaran selalu menyimpan dingin yang berbeda dengan ruangan lain di Dreadholt. Dinding-dindingnya tinggi, menjulang dengan warna gelap, dihiasi lambang-lambang tua yang tak pernah dibersihkan dari debu dan bayangan. Lentera yang tergantung di sudut hanya memberi cahaya samar, sehingga sebagian besar ruangan dikuasai oleh kelam.
Di tengahnya, sebuah meja besar terbuat dari kayu hitam pekat penuh dengan gulungan dokumen, laporan, dan surat-surat perang yang bertumpuk tidak teratur. Di belakang meja itu duduk Duke Orion. Tubuhnya tegak, mantel panjangnya jatuh menutupi sandaran kursi yang kokoh. Jemari kokohnya bergerak dengan ritme pasti di atas pena bulu, menorehkan tanda tangan, catatan, dan perintah singkat yang menentukan nasib banyak orang.
Seekor burung gagak bertengger di atas sandaran kursi, bulu-bulunya hitam berkilat terkena pantulan cahaya lentera. Sesekali ia mengeluarkan suara serak ‘krakk!’ yang terdengar seolah menjadi bagian dari ruangan itu sendiri. Benar! Burung itu, Tenebris, menoleh ke kanan dan kiri dengan mata merah menyala, seperti sedang mengawasi siapa saja yang berani mengganggu.
Orion menatap sekilas burung itu, lalu kembali menunduk pada dokumen. Hanya suara pena, kertas yang tergerus, dan sesekali bunyi gagak yang memecah keheningan.
Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu besar Balai Hitam. Dug, dug, dug. Suaranya bergema, berat, seolah memantul di setiap sudut.
Orion menghentikan gerakannya sebentar, kepalanya terangkat sedikit. “Siapa?” suaranya rendah, berat, menggema seperti petir yang tertahan.
Dari balik pintu terdengar jawaban. “Saya, Yang Mulia.” Suara yang dalam, penuh hormat. Itu adalah Varron, tangan kanan yang selalu berada di sisinya.
“Masuk.”
Pintu berderit perlahan, menyingkap sosok tinggi berbalut mantel gelap. Varron melangkah masuk, wajahnya teduh tapi sorot matanya waspada. Ia membungkuk singkat sebelum mendekat ke meja.
“Yang mulia,” ucapnya, “saya melihat sesuatu yang barangkali penting.”
Orion kembali menunduk pada dokumen, penanya masih bergerak. “Apa itu?”
“Saya melihat Lady Evelyn dan gadis itu … Rosella, bertemu di suatu tempat.”
Gerakan pena Orion seketika berhenti. Hening beberapa saat, lalu ia kembali menulis seolah tidak ada yang berubah. Namun, urat di tangannya tampak menegang. Suara gagak kembali terdengar, ‘krak!’ seakan menambah berat suasana.
“Dan ....” Orion berkata tanpa menoleh, suaranya tenang tapi dingin. “Apa yang mereka bicarakan?”
Varron menunduk dalam. “Maaf, Yang Mulia. Jarak saya cukup jauh. Saya tidak mendengar isi percakapan mereka.”
Hening lagi. Orion mengangkat wajahnya, kali ini menatap lurus. Sorot matanya tajam, seperti mata bilah pedang yang diarahkan langsung pada Varron. Tatapan itu cukup untuk membuat dada Varron terasa berat, kepalanya kian menunduk, hampir menyentuh lantai.
Orion tidak berkata banyak. Hanya satu kalimat yang keluar, dingin dan singkat.
“Kau boleh pergi.”
Varron segera mengangguk. “Baik, Yang Mulia.” Ia berbalik, melangkah keluar perlahan, membiarkan pintu kembali tertutup dengan suara berat.
Kesunyian kembali menguasai ruangan. Orion meletakkan pena, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi besar. Napasnya dalam, matanya menatap kosong ke arah dinding. Burung gagak itu masih bertengger di atas kursi, sayapnya sesekali bergerak, matanya berkilat.
“Menurutmu …,” gumam Orion pelan, nyaris hanya untuk dirinya sendiri. “Apa yang sedang direncanakan oleh wanita itu?”
Kepala Tenebris bergerak ke kanan dan kiri, mengeluarkan suara serak lagi. ’Krakk… krakk!’ Seolah burung itu benar-benar sedang memikirkan jawaban, atau mungkin sedang menertawakan betapa liciknya permainan manusia.
Orion memejamkan mata sejenak, lalu membuka kembali, sorotnya dingin seperti semula. Roda di dalam pikirannya jelas sedang berputar—tentang Rosella, tentang Evelyn, dan tentang sesuatu yang ia sendiri mungkin belum mau akui.
.
Pintu Balai Hitam yang berat itu kembali terbuka, kali ini tidak pelan seperti sebelumnya. Engselnya berderit kasar, bahkan hentakannya sampai membuat angin dingin masuk, mengibaskan lembaran kertas di meja. Orion mengangkat kepala dengan kesal, rahangnya mengeras. Ia mendesis rendah, jelas terganggu.
Dan ternyata, yang muncul bukan sembarang orang. Dua pria berjalan seenaknya seolah ruangan itu bukan tempat serius. Prince Albrecht Veymar dengan senyum sok tenang khasnya, dan Lucien Kaedor yang lebih dulu terkekeh bahkan sebelum mengucap sepatah kata. Di belakang mereka, dengan langkah jauh lebih anggun, seorang wanita muda masuk—bergaun panjang berwarna biru gelap, rambutnya ditata sederhana tapi anggun. Princess Selena Zaraphine. Satu-satunya putri tunggal yang selalu dihormati di istana, dan bagi Orion, sosoknya lebih dekat dari sekadar sepupu, ia menganggap Selena seperti adiknya sendiri.
Albrecht menggeleng pelan melihat Orion yang masih tekun menulis. “Demi para dewa,” katanya sambil melangkah lebih dekat. “Kau bahkan belum berhenti? Apa kau sama sekali tidak pernah bosan?”
Lucien ikut menimpali, kali ini lebih keras. “Aku bersumpah, kau pasti lahir dengan tangan terbuat dari baja. Karena hanya orang gila yang bisa menulis sepanjang hari tanpa mengeluh.”
Albrecht mengangguk dramatis, menambahkan dengan nada pura-pura prihatin. “Ya, dan lihatlah. Wajahmu dingin, ruangan ini dingin, dan pekerjaannya juga dingin. Tidak heran kau belum menikah. Siapa yang tahan hidup begini?”
Lucien tertawa, menepuk bahu Albrecht. “Ah, benar sekali. Perempuan pasti akan lari hanya melihat tumpukan dokumen itu. Aku sendiri sudah muak hanya dengan melihatnya dari jauh!”
Kedua pangeran itu cekikikan tanpa rasa bersalah, sementara Orion menatap mereka sekilas, lalu kembali menunduk, pura-pura tidak peduli. Tenebris di belakangnya berteriak krakk! seolah ikut menertawakan.
Namun Selena maju satu langkah, wajahnya dingin, matanya menatap kedua saudara kandungnya dengan tajam. “Jangan terlalu lancang. Kakak Orion jauh lebih cerdas daripada kalian berdua yang hanya pandai bicara kosong.”
Ucapan itu seperti cambuk. Lucien langsung terdiam, Albrecht menggaruk tengkuknya canggung, lalu keduanya saling melirik. Orion, yang jarang menunjukkan emosi, tiba-tiba menyunggingkan senyum tipis. Sangat singkat, hampir tidak terlihat, sebelum wajahnya kembali datar seperti semula.
Selena berdiri di sisi kursi Orion, menatapnya sebentar, lalu berbalik pada kedua pangeran yang masih bersikap kekanakan. “Lebih baik kalian belajar diam. Atau mulailah membaca, mungkin sedikit kecerdasan bisa menempel di kepala.”
Lucien mendengus, mencoba mengalihkan. “Baiklah, baiklah. Tapi ngomong-ngomong, kudengar ada sebuah rumor baru .…”
Albrecht langsung menangkap, matanya menyipit nakal. “Ya, aku juga mendengar. Katanya, Tenebris punya tuan baru.”
Orion menghentikan pena. Ia tidak menatap mereka, tapi jelas mendengarkan.
“Benarkah?” Lucien pura-pura kaget, suaranya dibuat dramatis.
Albrecht mengangguk serius, meski wajahnya nyaris tidak bisa menahan tawa. “Rumornya … seekor gagak hitam yang terkenal angkuh itu mendekati seorang wanita. Seorang wanita, kau dengar itu?”
Lucien mencondongkan tubuh, mendekat pada Albrecht sambil berbisik keras—cukup untuk semua orang dengar. “Stt t… bukankah selama ini burung gagak sombong itu tidak pernah sudi mendekati siapa pun?”
Albrecht menyahut cepat, “Benar! Dia tak pernah jinak. Tapi sekarang … oh, aku tahu alasannya. Ternyata si gagak hitam ini mata keranjang. Dia suka sesuatu yang cantik!”
Keduanya meledak tertawa, suara mereka memenuhi ruangan. Sesekali melirik ke arah Orion, seolah ingin melihat reaksinya. Dan benar, tatapan tajam Orion sempat terangkat. Dingin. Menusuk. Membuat tawa mereka sedikit goyah, meski tetap mencoba terlihat berani.
Selena akhirnya tidak tahan. “Cukup!” bentaknya, suaranya tegas, penuh wibawa. “Kalian berdua terlalu berisik dan tak tahu malu. Hentikan lelucon konyol itu.”
Ia lalu menoleh pada Orion, wajahnya berubah lembut. “Kakak, tinggalkan saja mereka. Mari ikut denganku, ada sesuatu yang ingin kutunjukkan.”
Tanpa banyak kata, Orion berdiri. Mantelnya bergeser, suaranya berat namun singkat. “Baiklah.” Ia melangkah bersama Selena menuju pintu.
Lucien dan Albrecht saling pandang, membuat keduanya panik mendadak. “Hei–hei! Tunggu dulu!” seru Albrecht.
Lucien menambahkan, setengah berlari kecil. “Kalian ini selalu saja meninggalkan kami! Jangan main-main, tunggu!”
Namun Selena sama sekali tidak menoleh, dan Orion pun tak peduli. Mereka keluar begitu saja, meninggalkan dua pangeran itu teriak-teriak di ruangan dingin bersama Tenebris yang kembali mengeluarkan suara serak ‘Krak!’ eolah menertawakan kebodohan keduanya.
.
.
.
Bersambung