Sebuah perjodohan tanpa cinta, membuat Rosalina harus menelan pil pahit, karena ia sama sekali tidak dihargai oleh suaminya.
Belum lagi ia harus mendapat desakan dari Ibu mertuanya, yang menginginkan agar dirinya cepat hamil.
Disaat itu pula, ia malah menemukan sebuah fakta, jika suaminya itu memiliki wanita idaman lain.
Yang membuat suaminya tidak pernah menyentuhnya sekalipun, bahkan diusia pernikahan mereka yang sudah berjalan satu tahun.
Akankah Rosalina sanggup mempertahankan rumah tangganya dengan sang suami, atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hilma Naura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berdebat dengan mertua.
Suara pecahan cangkir dan nampan yang jatuh menghantam lantai, seketika membuat dua orang yang ada diruang tamu itu terdiam.
Rosalina berdiri kaku di dekat pintu dapur dengan wajah yang pucat. Tangannya masih gemetar hebat karena tidak sanggup lagi menahan beban emosional, dari ucapan Ibu mertuanya.
Air matanya kembali mengalir deras, namun kali ini ia tidak berusaha lagi untuk menyembunyikannya.
"Lina!" Handrian segera berdiri dan berlari kearah istrinya. Tanpa memperdulikan tatapan tajam sang ibu.
Ia langsung meraih kedua tangan Rosalina, lalu memeriksa apakah ada luka akibat pecahan cangkir, yang berserakan di lantai tersebut.
"Kamu tidak apa-apa, Lina? Tanganmu tidak terkena pecahan cangkirnya, kan?" tanya Handrian dengan suara yang terdengar panik, dan juga penuh kekhawatiran.
Ia berusaha memperhatikan Rosalina, meskipun saat itu wajahnya masih menyimpan rasa bersalah yang mendalam.
Rosalina menatapnya dengan sorot mata yang sudah dipenuhi oleh air mata. Nafasnya terengah-rengah, dan dadanya naik turun karena menahan perasaan yang tidak bisa lagi ia bendung.
Ia pun menundukkan kepalanya, lalu berbisik lirih dengan nada suara yang penuh luka.
"Kamu tidak perlu pura-pura perhatian padaku di depan ibumu, Mas… Karena walau bagaimanapun, kamu itu bukanlah sosok suami yang baik selama ini."
Perkataan itu membuat jantung Handrian seakan diremas. Ia terdiam dengan bibirnya yang terasa kaku. Kemudian bola matanya langsung menatap kosong ke arah lantai.
Tangannya yang masih menggenggam jemari Rosalina sedikit melemah, seolah semua tenaga yang ada didalam dirinya sirna begitu saja.
Sementara itu, Bu Norma yang menyaksikan adegan tersebut justru mendengus kasar. Dan dengan nada yang setengah mencibir, ia pun melipat tangannya di dada serta berkata dengan perkataan yang tajam, dan menusuk hati.
"Astaga, Handrian! Kamu itu lebay sekali! Cuma cangkir jatuh saja, sudah panik seperti orang ketakutan. Kalau memang Rosalina sampai terluka sedikit pun, toh bukan masalah besar. Lagi pula, dia itu memang terlalu rapuh untuk bisa menjadi istri yang baik. Apalagi menjadi seorang ibu."
Rosalina menutup mulutnya dengan kedua tangannya, dan mencoba untuk menahan isak tangisnya yang semakin keras.
Air mata jatuh membasahi pipinya yang sudah memerah. Dan rasanya ia juga tidak kuat lagi untuk berdiri, sehingga akhirnya tubuhnya pun terlihat limbung, membuat Rosalina harus bersandar pada kusen pintu.
Handrian yang melihat keadaan istrinya itu semakin kalut. Dan ia pun langsung menoleh cepat pada ibunya, dengan bola matanya yang kini berkilat penuh amarah.
"Bu, cukup! Jangan sakiti hatinya lagi! Apa Ibu tidak melihat kalau dia sudah hancur mendengar semua perkataan Ibu?!"
Meskipun Handrian telah menegurnya seperti itu, namun Bu Norma tidak mundur sedikit pun. Ia malah semakin keras berkata, dengan nada yang tinggi dan juga menusuk.
"Kalau dia memang gampang hancur begitu, berarti dia memang bukan perempuan yang pantas ada di sisimu, Handrian! Ibu hanya ingin yang terbaik untuk masa depanmu. Dan Ibu tidak akan diam saja melihat kamu terus membuang waktumu dengan perempuan ini!"
Rosalina semakin menunduk. Hatinya kini terasa semakin remuk, dan juga seperti diiris-iris oleh pisau yang begitu tajam.
Ia merasa tidak punya tempat lagi di rumah itu, bahkan mungkin di hati suaminya sendiri.
Sehingga ia pun menghapus air matanya yang kian mengalir, kemudian menghembuskan nafasnya, yang terasa semakin sesak.
Lalu ia mencoba untuk menatap pada Ibu mertuanya itu dengan tatapan yang tajam, meskipun bola matanya terlihat sayu karena sehabis menangis. Kemudian ia pun berkata...
"Maaf Bu, selama ini aku diam... Itu karena aku masih menghargai Ibu sebagai orang tua suamiku. Tapi apakah diamku itu harus selalu dianggap sebagai kelemahan? Apakah aku juga harus terus menerima semua luka hanya karena aku menantu?"
Bu Norma terdiam, matanya melotot penuh dengan kejengkelan. Namun sebelum ia sempat menimpali, Rosalina melanjutkan perkataannya dengan suara yang terdengar semakin dalam, dan juga sarat dengan perasaan yang menekan.
"Ibu tahu… Apa bila sebuah kendi air yang isinya selalu kosong… meskipun kendi itu dipandang indah, namun tetap saja kendi itu tidak akan pernah bisa mengalirkan setetes air pun untuk menghilangkan dahaga."
Kata-kata itu meluncur pelan, namun seperti palu yang menghantam dinding hati semua orang yang mendengarnya. Rosalina mengucapkannya dengan penuh makna, bahkan bola matanya juga beberapa kali sempat melirik ke arah Handrian, yang kini terlihat pucat pasi.
Rosalina menunduk sesaat, dan kemudian dengan suaranya yang lirih, tapi jelas terdengar di antara keheningan yang mencekam, ia pun kembali berkata...
"Begitulah hidupku selama ini di rumah ini, Bu. Bagaimana mungkin kendi yang kosong itu bisa mengalirkan air? Begitu pula, bagaimana mungkin seorang istri bisa memberikan seorang cucu... kalau kenyataannya wadah itu tidak pernah diisi."
Handrian sontak terhenyak dengan jantungnya yang berdegup kencang. Wajahnya seketika memucat, seakan darah yang mengalir turun hingga keujung kakinya. Tangannya yang tadi menggenggam erat, kini juga terlepas begitu saja karena ia mengalami kegemetaran yang hebat.
Bu Norma segera mengerutkan kening dengan bola matanya yang berputar, seakan ia sedang mencoba merangkai arti, dari perkataan yang diucapkan oleh menantunya itu.
Tatapan Bu Norma kini berpindah dari wajah Rosalina yang basah, dan kemudian menatap kearah anaknya yang justru terlihat semakin merasa bersalah.
"Kosong...? Tidak diisi...?" gumam Bu Norma pelan, seakan ia sedang berbicara pada dirinya sendiri.
Rosalina pun menatapnya dalam-dalam, lalu menambahkan kalimat yang lebih menusuk lagi.
"Bagaimana bisa Ibu terus-menerus menuntut cucu dariku… sementara kendi yang seharusnya mengalirkan kehidupan… bahkan tidak pernah disentuh oleh sumbernya sendiri?"
Suasana didalam ruangan itu seketika membeku.
Bu Norma terdiam dengan tatapan yang dipenuhi oleh rasa kebingungan, dan juga bercampur dengan sebuah kemarahan.
Namun pada saat itu, justru Handrianlah yang terlihat semakin pucat pasi. Pria itu merasakan tubuhnya seakan kehilangan tenaga untuk berdiri.
Bola matanya terbelalak lebar, dan nafasnya juga tersengal, karena ia tahu jika ibunya dengan perlahan mulai memahami, maksud dari perkataan Rosalina.
Sementara itu, Rosalina sendiri masih berdiri dengan tubuh yang sedikit limbung, namun ia tetap berusaha untuk menegakkan kepalanya, dan menatap lurus pada Bu Norma.
Air mata masih jatuh, tapi kali ini bersama dengan keberanian yang tidak pernah ia keluarkan sebelumnya.
Namun saat itu juga, Bu Norma segera mengangkat dagunya, dan menatap Rosalina dengan tatapan sinis.
"Maksudmu apa, Lina? kamu sengaja ingin membuat Ibu kebingungan dengan perkataanmu itu, ya? Pakek ngomong kendi-kendi segala! Kamu fikir Ibu ini orang yang suka bermain tebak-tebakan dengan perkataan murahan kamu itu? Kalau memang kamu mandul ya mandul aja! Nggak usah berbelit-belit dengan berbicara seolah-olah kamu itu ingin memutar balikkan fakta tentang keadaanmu saat ini."
"Dheg."
Jantung Rosalina berdegup kencang mendengar perkataan Bu Norma kali ini. dan ia pun segera mengalihkan pandangannya kearah lain, sambil mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan.
"Astaghfirullahal'adzim..." desisnya dengan bibirnya yang terlihat bergetar.
Bersambung...