Hannah, seorang perempuan yang tuli, bisu dan lumpuh. Ketika melihat perut Hannah terus membesar, Baharudin—ayahnya—ketakutan putrinya mengidap penyakit kanker. Ketika dibawa ke dokter, baru diketahui kalau dia sedang hamil.
Bagaimana bisa Hannah hamil? Karena dia belum menikah dan setiap hari tinggal di rumah.
Siapakah yang sudah menghamili Hannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Arka melangkah pelan menuju warung makan SEDAP, tempat yang sudah seperti rumah kedua baginya. Aroma nasi goreng, tempe goreng, dan sambal khas warung itu biasanya menyambutnya hangat. Namun, pagi ini terasa berbeda, suasana warung tampak sepi dan kurang bersemangat, walau ada beberapa pelanggan yang sedang makan.
Arka menyapu ruangan dengan pandangan penuh tanya. Tak tampak sosok Hannah yang biasanya tersenyum ramah dari balik etalase kaca atau Pak Baharuddin yang biasa menyapa sambil mengaduk kopi tubruk pesanan pelanggan. Warung bertanya-tanya dan mulai gelisah.
"Mbak Hannah ke mana? Tumben nggak kelihatan," tanyanya kepada Mutiara, karyawan warung yang sedang membereskan piring-piring kotor bekas pelanggan
Mutiara menoleh, wajahnya agak cemas. "Mbak Hannah lagi sakit, Pak."
Jantung Arka seolah tertarik ke perut. "Sakit apa?" tanyanya cepat, nada suaranya lebih tinggi dari biasanya.
"Katanya sih demam tinggi. Semalam sempat menggigil," jelas Mutiara sambil mengelap tangan di celemeknya.
Dada Arka bergemuruh. Rasa panik dan cemas campur aduk dalam benaknya. Ingin rasanya ia berlari ke rumah belakang dan memastikan sendiri kondisi Hannah. Tapi akal sehat menahannya—ia tak mau mengganggu waktu istirahat perempuan itu.
"Sudah dibawa ke dokter?" tanyanya, mencoba tetap tenang meski wajahnya tak bisa menyembunyikan kekhawatiran.
"Sudah, Pak. Semalam ada dokter yang datang ke rumah. Alhamdulillah, sekarang suhunya sudah turun. Tapi masih lemas, jadi diminta banyak istirahat."
Belum sempat Arka menghela napas, terdengar suara ceria dari arah pintu.
"Om Arka!" Yasmin, dengan rambut dikepang dua dan wajah ceria, langsung memeluknya tanpa ragu.
Arka membalas pelukan itu dengan senyum lega. "Yasmin sudah cantik hari ini. Tumben sudah rapi, mau berangkat sekolah?"
"Aku belum sarapan, Om. Tapi nanti tetap berangkat jam setengah delapan," kata Yasmin sambil memegang perutnya yang kosong.
"Katanya mamamu sedang sakit?" tanya Arka sambil mengelus kepala gadia kecil itu dengan lembut.
"Iya, Om. Semalam mama demam tinggi banget. Tapi, sekarang udah nggak panas lagi," jawab Yasmin polos.
Arka mengangguk pelan. Penjelasan Yasmin cukup membuatnya lega, meski bayangan Hannah terbaring lemas masih menari-nari di benaknya.
Mereka pun duduk di salah satu meja warung. Nasi goreng hangat tersaji di hadapan mereka, tetapi lidah Arka seolah kehilangan rasa. Ke aku mereka menggunakan bahan dan resepnya sama, tetap saja rasanya berbeda tanpa sentuhan tangan Hannah. Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
"Bagaimana kalau Om yang antar kamu ke sekolah hari ini?" tawar Arka tiba-tiba, mencoba menghibur dirinya dan Yasmin.
"Emangnya boleh, Om? Nggak merepotkan?" Yasmin menatap penuh harap, matanya berbinar-binar.
"Tentu saja boleh. Om malah senang bisa anter kamu."
Wajah Yasmin langsung sumringah. "Kalau gitu aku bilang sama kakek dulu, ya!" Seraya berlari kecil, dia meninggalkan warung menuju rumahnya untuk mengambil tas dan izin pada kakek.
Beberapa menit kemudian, Arka dan Yasmin melangkah menuju sekolah. Di sepanjang jalan, Yasmin tak berhenti bercerita—tentang temannya yang suka meniru bekal dirinya yang sudah dibuat oleh sang mama. Lalu, tentang guru yang suaranya cempreng, tetapi baik sekali.
Arka mendengarkan dengan saksama, kadang tertawa kecil, kadang hanya tersenyum simpul. Ada perasaan hangat yang perlahan tumbuh dalam dadanya. Yasmin bukan hanya anak Hannah—dia juga anak yang mulai mengisi kekosongan dalam hatinya.
Setibanya di sekolah, beberapa murid sudah berdatangan. Seorang anak perempuan dengan bando pita warna pink menghampiri mereka.
"Yasmin, itu papamu? Ternyata tampan sekali!" tanya anak kecil itu polos sambil menunjuk Arka.
Yasmin menoleh ke Arka, wajahnya ragu. Ia tak tahu harus menjawab apa. Namun, sebelum sempat berkata apa-apa, Arka sudah mendekati gadis kecil itu.
"Hai, kamu temannya Yasmin, ya?" sapa Arka ramah.
"Iya, Om," jawab si gadis sambil tersenyum malu.
"Kalian harus berteman dengan baik, ya. Jangan suka bertengkar atau berkelahi."
"Tentu saja, Om!"
Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya dengan seragam guru menghampiri mereka.
"Eh, Yasmin hari ini diantar papanya, ya?" ucapnya sambil tersenyum ramah kepada Arka.
"Selamat pagi, Bu," sapa Arka sopan. "Titip Yasmin, ya."
"Tentu saja, Pak. Kita semua di sini berusaha memberikan yang terbaik untuk semua murid," jawab sang guru tulus.
Arka mengangguk. Hatinya terasa tenteram. Yasmin berada di lingkungan yang baik. Entah kenapa, pagi ini terasa berbeda. Seperti ada sesuatu yang baru tumbuh dalam dirinya—perasaan hangat yang perlahan-lahan mengakar.
***
Arman mondar-mandir di depan rumah tua dengan pagar besi yang mulai berkarat. Pandangannya tajam menyisir setiap sudut jalan kecil itu, mencari petunjuk—sekecil apa pun—yang bisa membawanya ke jejak keluarga Karin. Suasana di lingkungan itu terasa biasa-biasa saja, tetapi bagi Arman, ada sesuatu yang ganjil. Terlalu sepi. Terlalu normal untuk sesuatu yang tidak normal.
Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang kalut. Karin dan keluarganya menghilang begitu saja, tanpa jejak. Tidak ada surat, tidak ada kabar, dan tidak satu pun tetangga yang tahu ke mana mereka pergi.
“Sebenarnya apa yang sedang terjadi?” batinnya. Wajah Arman tampak gelisah. “Orang tua Batin, ayahnya cuma guru SMA saja ibunya seorang bidan. Keluarga sederhana yang disukai tetangga. Mereka bukan orang kaya, bukan juga orang berpengaruh. Kenapa bisa tiba-tiba lenyap begitu saja?”
Arman sudah mencoba semua cara—bahkan melaporkan ke polisi. Namun hasilnya nihil. Para petugas itu hanya mencatat laporan tanpa ada tindak lanjut. Tak satu pun informasi berarti yang mereka berikan. Baginya, itu hanya prosedur basi yang tidak pernah menyentuh inti persoalan.
Dengan langkah cepat, Arman menyusuri kembali gang sempit di sekitar kompleks rumah Karin. Ia memperhatikan rumah-rumah di kiri-kanan, berharap ada yang memasang kamera CCTV. Namun, nihil. Tak satu pun rumah punya alat itu. Arman menghela napas, kecewa. Teknologi yang katanya canggih itu nyatanya tak berguna di tempat ini.
Saat sedang menatap sebuah tembok yang penuh coretan dan lumut, suara serak seorang pria tua memecah lamunannya.
“Kamu sedang cari siapa?”
Arman terkejut, tetapi cepat menenangkan diri. Pria tua itu mengenakan baju koko lusuh dan celana panjang yang sudah memudar warnanya. Tatapannya curiga, menelisik Arman dari kepala hingga kaki. Mungkin karena penampilannya yang urakan—jaket hitam, rambut gondrong diikat asal, brewaok tipis, dan rantai menghiasi celana jeans-nya.
“Saya sedang mencari rumah Pak Rangga … ayahnya Karin. Bapak tahu?” tanya Arman dengan nada hati-hati.
Pria tua itu menyipitkan mata. “Kamu siapa-nya Karin?”
“Saya Arman. Kekasihnya.”
“Oh ....” Pria itu mengangguk pelan. Wajahnya tak lagi sekeras tadi, tapi kerut di dahinya tetap bertahan. “Keluarga mereka sudah pergi. Sudah cukup lama. Sekitar dua bulan yang lalu, kalau tidak salah.”
“Pergi?” alis Arman terangkat. “Ke mana?”
“Entahlah. Tengah malam, tiba-tiba ada mobil hitam datang. Beberapa orang turun dan masuk ke rumah. Lalu, tidak lama kemudian Pak Rangga dan Bu Kartika ikut naik mobil. Sejak itu, rumahnya kosong.”
Jantung Arman berdegup makin cepat. Hatinya bertanya-tanya, "Ada yang tidak beres. Kenapa tengah malam? Kenapa tanpa kabar? Kenapa semua berjalan cepat?"
“Bapak yakin melihatnya sendiri?”
“Sangat yakin,” jawab pria itu mantap. “Aku duduk di kursi depan rumah, susah tidur malam itu karena pinggang encok. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Mereka enggak bawa banyak barang, hanya tas kecil. Enggak pamit ke siapa-siapa.”
Arman tercekat. Matanya menatap rumah kosong itu dengan sorot penuh kecurigaan. Rumput liar mulai menjalar ke teras. Jendela-jendelanya ditutup rapat, tirainya tertutup seperti menyembunyikan sesuatu.
"Apa Karin sempat datang ke rumah ini, Pak?"
"Karin sudah lama tidak kelihatan. Dulu, aku sempat menghilang kalau yang bertamu ke rumah Pak Rangga itu suruhan Karin."
“Jangan-jangan mereka diculik?” bisiknya, nyaris tak terdengar. Gelombang kekhawatiran itu sudah menghantam dadanya. Apakah keluarga Karin dalam bahaya? Atau … apakah mereka menyembunyikan sesuatu dari semua orang, bahkan dari Karin sendiri?
Arman menoleh ke arah pria tua itu lagi, seolah berharap mendapatkan jawaban tambahan. Tapi orang itu hanya mengangkat bahu dan berjalan pergi perlahan, meninggalkan Arman sendiri dengan segudang tanya yang belum terjawab.
Arman bersumpah tidak akan menyerah—dia akan mencari tahu kebenaran sampai ke akar-akarnya.
***
❤❤❤❤❤
❤❤❤❤❤