Hannah, seorang perempuan yang tuli, bisu dan lumpuh. Ketika melihat perut Hannah terus membesar, Baharudin—ayahnya—ketakutan putrinya mengidap penyakit kanker. Ketika dibawa ke dokter, baru diketahui kalau dia sedang hamil.
Bagaimana bisa Hannah hamil? Karena dia belum menikah dan setiap hari tinggal di rumah.
Siapakah yang sudah menghamili Hannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
[Jangan kau beri tahu kepada siapa pun atau lapor polisi. Jika hal itu terjadi, maka mereka semua akan mati.]
Pesan terakhir itu seperti duri tajam yang menghujam batin Arman. Tangannya gemetar saat memasukkan ponsel kembali ke saku. Napasnya berat, seperti membawa beban yang tak terlihat, tetapi menekan dada membuatnya terasa sesak.
Dia memejamkan mata sejenak. Suara-suara di sekelilingnya seolah hilang, tenggelam dalam riuh pikirannya sendiri. Wajah Karin terbayang jelas di benaknya—wajah yang selalu membuatnya tenang, kini justru terlihat jelas kegelisahan. Tak hanya Karin, tapi juga kedua orang tuanya dan adik-adiknya yang terikat dan ketakutan dalam video yang dia lihat sebelumnya.
"Maafkan aku," batinnya lirih, sambil menuliskan satu nama di atas kertas suara yang terasa lebih berat dari selembar logam.
Keputusan itu terasa seperti mengkhianati segalanya—persaudaraan, harga diri, bahkan prinsip hidupnya. Di titik ini, Arman lebih memilih menanggung beban dosa daripada kehilangan orang-orang yang dia sayangi.
Satu per satu orang mulai memasukkan kertas suara mereka ke dalam kotak transparan yang dibawa oleh sekretaris Pak Surya. Kotak itu berdiri di depan ruangan seperti saksi bisu atas drama kekuasaan yang penuh intrik ini. Sang sekretaris berdiri kaku di samping Mario, wajahnya tegang tapi tetap berusaha terlihat netral.
"Baiklah, kita akan mengumumkan hasil vote Anda semua," ucap Mario, suaranya tenang namun membawa ketegangan yang langsung menyebar ke seluruh ruangan. Dia mengambil selembar kertas dari dalam kotak, lalu membacanya lantang.
"Saham sebanyak 30% milik Pak Surya yang dipercayakan kepada Bu Soraya dan Nona Citra memilih Bu Soraya sebagai pemimpin perusahaan selanjutnya."
Tepuk tangan segera terdengar dari beberapa sudut ruangan. Mereka yang pro-Soraya tersenyum puas, seakan kemenangan sudah di depan mata. Di sisi lain, wajah-wajah lain mulai menunjukkan ketegangan yang lebih tajam.
Arka hanya mendengus pelan, rahangnya mengeras. Matanya menatap kosong ke depan, tapi dalam pikirannya penuh dengan beban.
"Sudah kuduga," batinnya getir. "Dasar laki-laki tua bangka. Otaknya sudah tak narasi. Tak bisa membedakan mana musuh dan mana darah daging sendiri."
Tanpa banyak bicara, Arka merogoh ponsel dari dalam jasnya dan segera mengirim sebuah pesan singkat. Tidak ada emosi di wajahnya, tapi gerak jarinya cepat dan tegas—tanda dia sedang menyiapkan langkah lain yang lebih besar.
Sementara itu, suasana rapat kian menegang. Dua kubu besar telah terbentuk dengan sangat jelas: mereka yang berdiri di belakang Arka, dan mereka yang mendukung Soraya.
"Hasil sementara, Bu Soraya 40% dan Pak Arka 45%," ucap Mario, dengan ekspresi sulit ditebak. "Tinggal satu kertas lagi yang ada di dalam kotak."
Seisi ruangan menahan napas. Semua tahu betul kertas siapa yang belum disebut.
"Sudah jelas siapa yang akan menang," gumam Pak Agung, mencoba menyembunyikan rasa senang.
"Benar," sahut salah satu pemegang saham lain. "Semoga saja, Pak Arka bisa memimpin perusahaan ini lebih baik dari Pak Surya."
"Kecerdasan Pak Arka tidak diragukan. Dia mirip mendiang ibunya, Bu Anita—memiliki insting bisnis yang luar biasa," tambah pria tua lain yang dulu menjadi mitra kerja keluarga Abimana.
Mario membuka kertas terakhir. Tangannya terlihat sedikit gemetar, namun dia mencoba tetap tenang. Sebelum membaca, dia melirik sekilas ke arah Arman—yang saat ini menunduk, seperti sedang menahan beban dunia di pundaknya.
"Baiklah. Pemegang saham terakhir sebanyak 15% atas nama Arman Mahendra Abimana, diberikan kepada ... Bu Soraya!"
Seolah petir menyambar di siang bolong, ruangan rapat yang semula dipenuhi ketegangan kini berubah menjadi lautan keheningan yang mencekam. Semua mata—terbelalak, tercengang, bahkan meragukan apa yang mereka dengar barusan—langsung tertuju pada satu orang: Arman. Pria muda itu duduk terpaku di kursinya, menunduk tanpa ekspresi, seolah tengah menahan badai yang mengamuk di dalam dadanya.
Beberapa orang bahkan terhenyak hingga berdiri dari kursi, seperti Pak Agung yang langsung menggerutu penuh ketidakpercayaan.
"Mungkin ada kesalahan. Bagaimana bisa dia memilih musuhnya dibandingkan dengan kakak kandungnya sendiri?"
Bisik-bisik langsung merambat seperti api membakar ilalang kering. Wajah-wajah bingung, marah, dan kecewa mulai terlihat di sekeliling meja bundar itu. Sebagian bahkan mulai menuduh dalam hati, menduga ada permainan kotor di balik keputusan itu.
Mario menoleh pada Arman, ragu dan khawatir, lalu memberanikan diri bertanya,
"Pak Arman, apa ada kesalahan dalam pemilihan ini?"
Arman mengangkat wajahnya perlahan. Wajah yang tadi tenang, kini berubah jadi ladang perang emosi. Pandangannya kosong, namun dalam matanya tampak perasaan bersalah yang menumpuk seperti kabut tebal di pagi hari.
Dengan tarikan napas panjang Arman menjawab mantap namun nyaris lirih, "Tidak. Aku memberikan suara kepada Soraya."
"Apa?!" seru beberapa orang bersamaan.
Sorotan mata yang tadi menuduh kini berubah menjadi kecaman yang terbuka. Sebagian berdiri, sebagian lagi menggeleng tak percaya.
Soraya duduk tenang, tetapi sorot matanya menyiratkan kemenangan. Di sisi lain, Citra hanya menyunggingkan senyum tipis seolah sudah tahu arah akhir permainan ini.
"Kau!" Arka berdiri dari kursinya. Tubuhnya gemetar menahan amarah, matanya menatap tajam ke arah adiknya. Urat di lehernya menegang, ekspresinya dipenuhi pengkhianatan yang membakar dada.
"Aku tidak tahu apa yang membuatmu berubah pikiran, tapi ini ... penghianatan!" Suara Arka bergetar menahan luka.
Arman menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan emosi yang hendak tumpah. Dia tidak sanggup menatap mata kakaknya.
"Maaf. Aku ambil keputusan di saat-saat terakhir," katanya pelan, seolah kalimat itu pun terlalu berat untuk diucapkan.
"Maaf?" suara Arka meninggi. "Kau sudah mengkhianati kepercayaan yang kita bangun sejak kecil. Kau melanggar janji yang kau buat sendiri!"
Arman menunduk, hatinya dilanda penyesalan. Namun, dalam benaknya, bayangan Karin yang terikat dan ketakutan terus menghantui. Kilasan wajah kedua orang tua dan adik-adik Karin yang juga disandera menjadi luka yang terus menancap di jiwanya.
Tak lama, sebuah notifikasi video masuk ke ponselnya. Tangannya bergetar saat menekan layar. Video itu memperlihatkan Karin dan keluarganya yang kini sudah dilepaskan. Mereka menangis, saling berpelukan dalam pelukan kebebasan. Dan kemudian satu pesan teks menyusul:
[Kami sudah melepaskan mereka semua]
Arman memejamkan mata, mengembuskan napas lega. Setidaknya, pengkhianatannya telah menyelamatkan nyawa. Tapi harga yang harus dibayar begitu mahal: kehilangan kepercayaan dari satu-satunya kakak yang dia miliki.
"Dengan begini, maka Bu Soraya yang akan—" ucap Mario, mencoba menyelesaikan pengumuman.
"Tunggu dulu!"
Suara Arka menggema tegas memotong kalimat itu. Semua kepala menoleh, suasana kembali menegang.
***
krna harta yg digunakan soraya utk membantu pak surya dulu adalah harta pak baharuddin berarti pak surya harusnya balikin lg ke pak bahruddin kan 🤔
Haloo Pak Surya bagaimana hasil kerja keras anakmu Arka..?? mantap kannn
seorang ayah yg seharusnya melindungi & menyayangi anaknya ini malah menyia nyiakan.. 🤦🏼♀🤦🏼♀
Soraya mulai menuai apa yg udah di tanam selama ini .. se.pandai² tupai melompat pasti ada waktunya terjun bebas juga dari ketinggian.. selamat ya kalian duo ulet bulu & antek²nya.. masuk kandang kerangkeng istimewa.. 👋👋👋
Lanjut Thor sehat semangat terus 😘😘😘💪💪💪