Riris Ayumi Putri seorang gadis yang haus akan kasih sayang dan cinta dari keluarganya. Dan sialnya ia malah jatuh cinta pada kakak temannya sendiri yang umurnya terpaut jauh dengannya. Bukanya balasan cinta, justru malah luka yang selalu ia dapat.
Alkantara Adinata, malah mencintai wanita lain dan akan menikah. Ketika Riris ingin menyerah mengejarnya tiba-tiba Aira, adik dari Alkan menyuruhnya untuk menjadi pengantin pengganti kakaknya karena suatu hal. Riris pun akhirnya menikah dengan pria yang di cintainya dengan terpaksa. Ia pikir pernikahannya akan membawa kebahagiaan dengan saling mencintai. Nyatanya malah luka yang kembali ia dapat.
Orang selalu bilang cinta itu membuat bahagia. Namun, mengapa ia tidak bisa merasakannya? Apa sebenarnya cinta itu? Apakah cinta memiliki bentuk, aroma, atau warna? Ataukah cinta hanya perasaan yang sulit di jelaskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon risma ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33
Cahaya rembulan menerang dengan samar. Hembusan angin malam di sertai rintikan hujan yang membuat cuaca semakin dingin. Suasana malam ini sangat hening, hanya terdengar suara jangkrik yang saling bersahutan.
Di sebuah balkon, terlihat tiga orang yang sedang berkumpul. Suasana terlihat sangat tegang, dinginnya angin malam ini tak berasa bagi mereka.
"Buru tandatangan! Atau aku akan melaporkan kalian ke polisi atas kasus tabrak lari! Orang tuaku meninggal gara-gara kalian!"
"Caca tenang dulu, sayang. Kenapa kamu jadi seperti ini?"
"Kalian tanya kenapa?! Gue susah payah baik-baikin kalian, tapi tiba-tiba malah mau ngasih semuanya ke anak pembawa sial itu!" bentaknya dengan mata yang sudah memerah.
"Kalian pikir gue bakal maafin gitu saja, setelah kalian bunuh orang tua gue!"
Tiba-tiba gadis itu mengeluarkan sebuah pisau di arahkan pada mereka. Membuat kedua orang tua angkatnya itu membulatkan matanya sempurna.
"Ca-ca, apa yang kamu lakukan?"
"Jika kalian tidak ingin melakukannya, lebih baik gue bunuh kalian! Gue hidup juga udah gak berguna, udah gak punya siapa-siapa lagi! Dan nyawa harus di bayar nyawa!" teriaknya histeris.
"Caca sadar! Kita juga sangat menyayangimu!" bujuk Randi.
"Bohong! Kalian ngurus gue juga karena merasa bersalah dan tidak ingin di penjara!"
"Jika kalian tidak melakukan apa yang gue suruh! Mending kalian mati saja!"
Cantika maju sambil menyodorkan pisau di tangannya. Gadis itu benar-benar menyeramkan seperti kerasukan. Randi dan Rania semakin mundur dengan ketakutan. Mereka menoleh ke belakang, jika mereka terus mundur akan terjatuh ke bawah.
"Argh!" Gadis itu berteriak dengan tangan yang sudah ancang-ancang ingin menusuk mereka satu persatu dengan sadis.
Bug!
Gadis itu tiba-tiba terjatuh dan pisau yang di pegangnya terpental ke bawah. Randi dan Rania perlahan membuka matanya. Begitupun dengan Cantika yang mulai mendongakkan kepalanya.
"Riris? Kamu ngapain di sini, Nak?"
Terlihat Riris yang berdiri di hadapannya dengan terengah. Ya, Riris tak sengaja mendengar percakapan mereka. Dan melihat orang tuanya dalam bahaya dengan susah payah ia berlari dengan perutnya yang sudah berat. Dan langsung mendorong Cantika dengan sekuat tenaga.
"Mama, Papa gapapa?" tanyanya khawatir.
"Kita baik-baik saja, mending kamu pergi dari sini!" pintanya karena takut Cantika akan melukainya.
Dan benar saja, terlihat raut wajah gadis itu yang semakin marah. Ia beranjak dari posisinya dan langsung menghampirinya.
"Berani Lo dorong gue!" bentaknya sambil mendorong Riris dengan kencang.
Bug!
"Ahk!"
"Riris!"
Riris terjatuh sangat keras hingga terbentur tembok. Darah segar mengalir di pelipisnya dan juga dari bawah kakinya. Wanita itu terlihat meringis kesakitan memegangi perutnya.
"Ah Ma, Pa sakit ..." lirihnya menatap orang tuanya dengan mata berkaca-kaca.
"Jangan mendekat! Atau gue akan menyakitinya lagi!" teriak Cantika melihat orang tuanya yang akan mendekati Riris.
Gadis itu terlihat mengambil sebuah vas bunga. Tidak ingin putrinya semakin terluka, sontak keduanya hanya terdiam. Hatinya sangat sakit melihat putrinya yang terus meringis kesakitan.
"Sekarang giliran kalian yang gue bunuh!" Cantika membalikkan badannya dan berjalan mendekati mereka dengan membawa sebuah vas kaca.
Keduanya kembali mundur ke belakang dengan panik. Sebenarnya mereka tidak memperdulikan nyawanya. Namun, pikiran keduanya tidak tenang takut terjadi sesuatu dengan anak dan cucunya.
"Berani banget Lo nyakitin mereka!" teriak seorang pria yang baru saja datang.
Siapa lagi kalau bukan Alkantara. Alkan baru saja pulang, dirinya tidak sendiri terlihat bersama teman-temannya. Hari ini ia bekerja menggunakan motor sportnya. Saat dalam perjalanan pulang malah turun hujan, kebetulan tidak jauh dari tempat biasa mereka nongkrong.
Sudah lama juga Alkan tidak ikut nongkrong dengan mereka. Akhirnya ia memilih mampir sekalian meneduh. Namun, tiba-tiba istrinya mengirimnya pesan meminta pertolongan. Memang saat Riris mengintip dan melihat Cantika mengeluarkan pisau, ia langsung menghubungi suaminya.
"Mas ..." panggil Riris dengan lirih.
Alkan menoleh, matanya membulat sempurna melihat darah segar terus mengalir di kaki istrinya. Wajah wanita itu sudah sangat pucat.
"Sayang!" Alkan langsung menghampirinya dan menggendongnya ala bridal style.
"Bim, ikut gue ke rumah sakit. Kalian urus dia!" pintanya yang langsung di angguki oleh ke empat temannya.
Alkan pun bergegas membawa istrinya ke rumah sakit. Dengan di temani Bima yang menyetir mobilnya. Perasaannya sangat berkecamuk, cemas dan takut terus menghantuinya. Ia sangat takut terjadi sesuatu dengan istri dan anaknya.
"Mas, sa-kit ..." ringisnya sambil memegangi perutnya yang sangat sakit karena benturan yang keras.
"Bertahan, sayang. Mas yakin kamu kuat," ucapnya menenangkan.
Alkan mengelap keringat di kening istrinya, sesekali ia menciuminya dengan perasaan takut kehilangan. Tangannya masih setia mengelus perutnya lembut. Dan yang satunya menggenggam tangan istrinya dengan erat.
Tak lama mereka telah sampai di rumah sakit. Alkan langsung berlari membawa istrinya ke ugd. Ia berteriak meminta bantuan untuk segera menanganinya. Dan untung saja para perawat di sana siaga langsung menanganinya.
"Pendarahannya sangat hebat, dan bayinya belum mau memberi reaksi untuk keluar. Terpaksa kita harus melakukan operasi caesar," jelas Dokter pada Alkan.
Lelaki itu sontak terdiam dengan tubuh sedikit bergetar. Istrinya sudah mau melahirkan? Padahal usia kandungannya baru menginjak delapan bulan, belum waktunya lahir.
Ia menoleh menatap istrinya yang sedang menatapnya dengan wajah kesakitan. Wanita itu menggeleng pelan, menandakan tidak ingin melahirkan dengan cara di operasi.
"Aku g-gak mau Caesar, Mas," lirihnya sangat pelan.
Alkan merasa tidak tega, istrinya selalu mengatakan ingin melahirkan normal. Ia ingin melahirkan anaknya dengan tenaga sendiri, tanpa melakukan operasi.
"Apa tidak bisa melahirkan normal, Dok?" tanya Alkan pada dokter.
"Tidak bisa, jika melahirkan normal taruhannya nyawa salah satunya. Antara anak dan ibunya. Saya sarankan untuk segera melakukan operasi Caesar. Saya akan menyiapkan berkas persetujuannya dulu dan secepatnya di tandatangani," ujarnya.
Dokter dan suster pun mulai menyiapkan berkas dan juga persiapan untuk operasi.
"Mas," Riris menatapnya dengan berkaca-kaca.
Alkan menggenggam tangan istrinya. Ia menciumi lembut lalu berkata, "Mas tidak ingin terjadi sesuatu dengan kalian. Ikuti apa kata dokter ya?"
Riris hanya terdiam sambil menahan rasa sakit yang luar biasa. Alkan benar-benar tidak tega melihat wajah kesakitan istrinya. Ia beralih mengelus lembut perutnya.
"Haana waladat maryam, wa maryam waladat ‘iisaa. ukhruj ayyuhal mauluudu bi qudratil malikil ma’buud."
"Haana waladat maryam, wa maryam waladat ‘iisaa. ukhruj ayyuhal mauluudu bi qudratil malikil ma’buud."
"Allahumma shaali ‘alaa sayyidinna muhammaddin sahhil wa yassir maa ta’assar. Bantu Bunda ya, sayang. Jika kamu ingin lahir sekarang, pelancar jalan keluarnya. Lahirlah dengan selamat," Alkan mengecup perut istrinya sambil membacakan doa.
"Argh, Mas!"
"Kenapa, sayang?" tanya Alkan panik.