Cinta bertepuk sebelah tangan sungguh menyakitkan hati Nadila Putri. Nyatanya Abdullah cinta pertamanya justru mencintai wanita lain yaitu Silfia Anwar.
Nadila pun memilih pergi meninggalkan mereka demi persahabatan.
Nadila memilih bekerja di UEA menjadi tkw, tetapi belum ada satu tahun kedua orang tuanya menyuruhnya pulang. Namun, tidak Nadila sangka ketika tiba di Indonesia justru dijodohkan dengan Abdullah.
Apakah Abdullah akan menerima Nadila? Lalu bagaimana nasib Silfia. Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Suasana meja makan berselimut malu karena Maimunah mengucapkan kata-kata tabu. Namun, tidak berlangsung lama, karena Ahmad kembali membahas tentang mata Dila yang bengkak.
Mulut Dila terbuka hendak mengucap sesuatu, tapi kaki Abdullah di bawah meja menginjak kaki Dila. Dila merasakan sakit, tetapi mencoba untuk tidak mengaduh.
"Emmm... tidak apa-apa Pah, saya hanya mengkhawatirkan Bapak," jawab Dila cepat, tapi tidak juga berbohong. Dia memikirkan pak Umar yang belum sehat, biasanya setiap malam sebelum tidur memijat kaki bapak.
Ahmad mengangguk, karena jawaban Dila masuk akal, kemudian menyeruput kopi buatan Ghina. Ghina pun minta semua agar sarapan.
Sudah dua kali Dila makan di keluarga baru, suasana baru, dan kehidupan baru yang tidak pernah ia bayangkan.
Selesai sarapan, Abdul kembali ke kamar, sementara Dila mendengarkan obrolan Ahmad bersama Ghina yang akan ke perkebunan. Dila sebenarnya ingin ikut, tapi terlalu lancang jika berkata kepada mertuanya.
Dila pun menyusul Abdullah ke kamar, ia yakin jika suami yang tidak punya akhlak baik itu pagi ini juga akan ke perkebunan. "Kak, aku ikut ya" Dila mendekati Abdullah yang sudah berpakaian rapi.
"Ikut kemana?" Mata Abdullah mengeryit.
"Kakak bukanya mau ke perkebunan..." Dila hendak melihat perkebunan yang hanya ia dengar dari bapak. Menurut cerita pak Umar, kebun tersebut luasnya berhektar-hektar dan membuat mertuanya kaya raya.
"Tidak usah" Abdullah menjawab datar, sembari memasang kaos kaki di sofa kamar.
"Kenapa Kak? Aku hanya ingin lihat-lihat saja" Dila menyesal lalu berdiri di depan Abdullah.
"Kamu pikir saya mau pergi ke sana?!" Abdullah menatap Dila sekilas lalu kembali berpaling mengikat tali sepatu.
Melihat reaksi Abdullah, Dila tidak lagi memaksa. Jika bapak sudah sembuh nanti, toh ia bisa ikut kesana.
Suara handphone di atas meja bergetar tepat di depan Dila. Secepatnya Abdullah ambil handphone tersebut. Ia melirik Dila lalu menjauh. Namun, nama si penelpon sudah tertangkap oleh mata Dila.
Dila membiarkan Abdullah mendorong pintu balkon. Namun, Dila justru menempelkan telinga di balik pintu. Bukan ingin tahu urusan orang, tapi Dila penasaran seperti apa kedekatan Abdullah dengan Silfia saat ini.
"Iya, sayang... aku mau berangkat sekarang" terdengar jawaban Abdullah sangat lembut. Rupanya pria itu hendak pergi ke Jakarta.
"Tidak ada apa-apa kok, aku lama di tempat ini karena sedang ada urusan keluarga."
Begitulah perbincangan di telepon. Dila yang mendengarkan pembicaraan Abdullah dengan Silfia, menyimpulkan. Bahwa Silfia menanyakan kenapa lama sekali di bogor.
Dila segera menjauh dari pintu balkon ketika pembicaraan di telepon selesai. Ia segera membereskan tempat tidur Abdullah, cuek saja ketika pria itu melewati dirinya begitu saja, lalu keluar kamar. Melihat gelagat Abdullah yang akan menemui Silfia, Dila tinggalkan sapu lidi di atas kasur, kemudian mengikuti Abdullah. Terdengar suara motor di halaman, Abdullah rupanya sudah tancap gas.
Hari itu Dila bingung entah mau melakukan apa, sebab ia sudah biasa bekerja. Jika tahu begini, pagi tadi ia memilih ikut mertuanya ke perkebunan. Hingga sore harinya, Dila menjalankan peran barunya yaitu memasak.
Suara motor di halaman masuk garasi, Dila segera menyambut kedatangan Abdullah. Ia mengulurkan tangan hendak mencium punggung tangan Abdullah, tetapi tidak mau menyambut.
Dila menarik tangannya kembali, maksudnya begitu hanya karena ingin menunjukkan rasa hormat kepada suami. Jika tidak mendapat respon, ia juga tidak akan rugi.
Malam harinya di meja makan, Dila terharu karena mertuanya selalu tersenyum hangat kepadanya. Sementara mertua laki-laki walaupun wajahnya serius tetapi ramah juga.
"Kenapa kamu tadi tidak ke perkebunan Dul?" Ahmad membuka percakapan.
"Mengerjakan tugas perkebunan tidak harus ke lokasi kan Pa?" Abdullah tetap akan menjalankan tugas dengan baik, tanpa harus meninggalkan pekerjaan di kantor Barra.
Dila hanya diam mendengarkan, tapi di kepalanya berpikir. Mana mungkin Abdullah mau berhenti bekerja di kantor Barra, tentu saja hendak menemui Silfia, karena jarak dari kantor ke rumah Barra tidak jauh.
"Berarti kamu tidak mau berhenti dari kantor Barra? Tunggu dulu, ada apa sebenarnya. Kenapa kamu betah sekali bekerja di sana?" Cecar Ahmad, merasa ada yang ganjil di hatinya.
"Tidak apa-apa, Papa bukanya sudah tahu alasan aku tidak mau meninggalkan kantor Abang, karena pekerjaan itu seseuai bidang aku. Sudahlah Pa, biarkan aku bekerja disana" Abdullah memohon, ia juga berjanji akan menjalankan perkebunan dengan sebaik-baiknya.
"Sekarang Mama mau tanya Dul, apa kamu kira-kira kuat bolak balik Jakarta Bogor setiap hari? Ingat Dul, kamu sekarang sudah punya istri," Ghina menyela perdebatan suami dan anaknya.
"Aku sudah membeli rumah di Jakarta Ma, besok akan mengajak Dila pindah rumah" jawabnya tanpa kompromi.
Dila menoleh Abdullah cepat, kaget jelas iya, tidak ada pembicaraan tiba-tiba mengajaknya pindah.
"Sejak kapan kamu mempunyai rumah, kenapa kamu tidak berbicara dengan Papa?" Ahmad tak kalah kaget, selama ini ia tidak berpikir jika Abdullah membeli rumah.
"Sudah satu tahun Pa, saya cuma ingin mandiri." Pungkas Abdullah. Pembicaraan selesai mereka pun lanjut makan malam.
Jam sembilan malam, di dalam kamar begitu sepi, walaupun ada dua insan yang berstatus suami istri, tapi saling diam. Abdullah sibuk dengan handphone, padahal Dila ingin berbicara sesuatu, tapi bingung untuk memulai.
"Kak..." ucapnya lembut, ketika ia memberanikan diri mendekati tempat tidur.
"Emmm..." hanya itu jawaban Abdullah, tapi tidak menatap wajah lawan bicara.
"Kata kamu mau pindah tadi beneran?"
"Benarlah, mana ada saya bercanda dengan orang tua saya sendiri" Abdullah mengangkat kelopak mata menatap Dila di samping tempat tidur.
"Berarti aku jauh dengan Bapak dong Kak" Dila bingung memikirkan ini. Pindah ke Jakarta berarti jauh dengan keluarga, padahal ia ingin bolak balik menjenguk bapaknya setiap hari.
"Jika kamu tidak mau ikut, itu hak kamu, tapi apa kamu mau menanggung resiko jika sakit Pak Umar tambah parah, karena tahu anaknya tidak mau menurut suami." Abdullah memberi pilihan yang berat.
"Oh... Jadi Kakak mengakui, kalau sekarang sudah menjadi sumi..." Dila ingin tertawa, tapi takut handphone di tangan Abdullah melayang ke tubuhnya. Abdullah terjebak dalam kata-katanya sendiri.
Abdullah hanya melotot tajam, mungkin saja dia masih punya rasa malu.
"Terus, kapan rencana kita pindah?" Dila akhirnya tidak punya pilihan, ia khawatir juga bapaknya akan tahu jika ia tidak diperlakukan Abdullah dengan baik.
"Besok pagi-pagi."
"Kalau gitu, sekarang saya mau pulang dulu pamit Bapak sama Ibu" Dila segera beranjak ambil baju hangat ke dalam koper.
"Pulang saja, jalan kaki sana" Abdullah kesal, kenapa malam-malam gini Dila nekat mau pulang.
"Saya ini tidak sebodoh itu Kak" Dila lebih kesal, jaman sekarang jasa ojek di mana-mana, mana mungkin juga jalan kaki. "Takut amat disuruh mengantar" gumam Dila, sembari berjalan keluar.
Dia pesan ojek lebih dulu, lalu memanggil Munah agar mengunci pintu.
"Non, kok nggak diantar Den Abdul?" Munah kaget, kenapa Abdullah membiarkan Dila pergi sendiri, ia khawatir karena sekarang sudah jam sembilan malam.
"Nggak apa-apa, Mbak" Dila segera keluar pagar, karena ojek sudah menunggu. Dia ambil helm yang diberikan ojek, memasang di kepala.
Ojek pun menjalankan motornya dengan kecepatan sedang menuju kediaman pak Umar.
"Berapa Bang?" Tanya Dila mengeluarkan uang dari tas kecil.
"Apanya?" Tanya ojek tanpa membuka helm.
"Ongkos nya, Bang, memangnya apa?" Dila balik bertanya. Namun, ketika ojek tidak juga menyebut tarif, Dila curiga. Ia memperhatikan jaket mahal yang melekat di tubuh ojek, mengangkat alis.
"Oh... ternyata kamu pantas juga menjadi ojek" ucap Dila meninggalkan pria itu sembari berlalu mendorong pagar.
...~Bersambung~...
pokoknya ditunggu banget kelanjutannya author
semngattttt
Faiz, sementara ajak Dila ke rumah orang tuamu agar Dila menemukan kebahagiaan & kedamaian dirinya & keluarganya