Sudah empat tahun lamanya Aini menikah dengan suaminya Rendra. Namun dia tahun terkakhir Rendra tak bekerja. Sehingga kebutuhan sehari-hari di bantu bapak mertuanya. Terkadang Aini terpaksa memasak sebungkus mie instan untuk lauk makannya dirinya dan anaknya.
Disaat himpitan ekonomi, suaminya pun bertingkah dengan kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tika Despita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mantan Pacar
Sebungkus mie instan aku masak pagi itu, kucampur dengan sayur bayam yang kebetulan tumbuh di depan rumah. Meski cuma sedikit, setidaknya ada warna hijau di piring. Setelah matang, aku bagi tiga—untukku, Keenan, dan Bang Rendra.
Aku sibuk menyuapi anakku ketika suara langkah kaki terdengar dari luar. Bang Rendra datang dengan wajah yang berbeda dari biasanya—senyum sumringah menghiasi wajahnya. Entah kenapa, setiap kali dia pulang dengan senyum seperti itu, hatiku justru terasa tak tenang.
“Aini, ambilin Abang nasi,” suruhnya tanpa banyak basa-basi.
Aku menatapnya sekilas, malas rasanya menuruti perintah itu. Tapi aku masih istri yang tahu batas kewajiban. Dengan diam, aku ambilkan sepiring nasi, kutaruh sisa mie di atasnya, lalu kuletakkan di depannya.
“Ini aja?” alisnya naik sebelah, wajahnya terlihat tak puas.
“Iya,” jawabku singkat.
“Pergi mintakan sambal ke rumah bapak,” katanya lagi, santai seolah aku ini pembantunya.
“Aku nggak mau,” jawabku cepat, menatapnya tajam. Aku dan anakmu aja nggak masalah makan mie instan tanpa sambal, masa kamu keberatan?
“Dasar pemalas!” gerutunya. Tapi meski begitu, mie di piring tetap juga dia lahap.
Aku memilih diam. Sudah tak terhitung berapa kali kata kasar keluar dari mulutnya. Rasanya percuma melawan. Setelah makan, aku kembali duduk di lantai, bermain dengan Keenan yang sedang mengacak-acak mainan botol bekas. Dari sudut mata, kulihat Bang Rendra tersenyum-senyum sendiri sambil menatap layar ponselnya.
“Chat sama siapa, Bang?” tanyaku pelan.
“Teman lama,” jawabnya cepat, tanpa menatapku.
“Oh ya, Aini,” katanya tiba-tiba, “sebentar lagi Abang bakal ada uang. Kamu sama Keenan bisa beli apa aja yang kalian mau.”
Dia kemudian menghampiri Keenan dan mencium keningnya.
Meski sering bikin aku naik darah, aku tahu dia sayang anaknya. Kalau Keenan nangis, sekeras apa pun hatinya, dia pasti luluh juga.
“Oh ya, tadi Abang lihat Dela udah di rumah. Katanya dia cerai sama suaminya,” ucap Bang Rendra tiba-tiba.
Aku menoleh cepat. Jujur, aku agak kaget. Bukan karena kabar cerainya Dela, tapi karena yang ngomong justru suamiku sendiri. Biasanya dia ogah ngomongin orang, apalagi mantannya.
“Owh,” jawabku datar. Aku bukan tipe yang suka ikut gosip. Hidupku aja udah ribet, buat apa ditambah mikirin urusan orang lain.
“Lho, kok responnya gitu doang? Cemburu, ya?” godanya sambil terkekeh.
Aku ikut terkekeh kecil. “Lantas Abang maunya aku berekspresi kayak apa? Dela yang cerai, kok aku yang harus heboh. Lagian, hidupnya dia nggak ada urusannya sama hidup aku, Bang.”
Wajah Bang Rendra langsung berubah datar. Tapi aku belum selesai bicara.
“Kita udah nikah hampir empat tahun, Bang. Jangan selalu bahas masa lalu, apalagi soal Dela. Sekarang yang harus Abang pikirin tuh gimana caranya kita bisa hidup lebih baik ke depan. Abang juga tahu kan, biaya hidup makin mahal, tapi Abang masih aja nggak ada niat cari kerja!”
“Kenapa jadi bahas itu sih? Kamu tuh suka banget mancing-mancing emosi Abang!” suaranya meninggi.
Aku menarik napas panjang, mencoba menahan diri. “Aku nggak akan marah kalau Abang mau dengar. Abang nggak kasihan sama aku sama Keenan? Udah berhari-hari ini kita makan cuma mie instan!”
“Tadi Abang udah bilang, sebentar lagi Abang bakal ada uang,” ujarnya lirih, tapi entah kenapa suaranya terdengar seperti kalimat seribu kali ulangan yang udah basi.
Aku memilih diam. Ucapan itu udah terlalu sering keluar dari mulutnya. Kadang aku mikir, dia kira uang bakal jatuh dari langit kali, atau mungkin dia berharap keajaiban datang tanpa usaha.
-
-
Entah kenapa malam itu aku gelisah. Dari tadi Bang Rendra mondar-mandir di rumah, lalu pergi lagi dengan alasan “ada urusan.” Belakangan ini dia juga sering pakai baju rapi, wangi parfumnya kuat, dan tiap buka HP, senyumnya nggak lepas. Ada yang beda, dan aku bisa merasakannya.
Begitu dia tertidur, aku pelan-pelan mendekati ponselnya yang sedang di-charge di ruang tamu. Tapi kali ini, ponselnya terkunci password. Padahal biasanya nggak pernah.
Deg.
Ada yang aneh.
Aku coba masukkan tanggal lahirnya—salah. Tanggal lahirku—salah juga. Ulang tahun Keenan—masih salah. Setelah beberapa kali gagal, aku coba gabungkan tiga tanggal itu… dan ponselnya terbuka.
Tangan ku mulai gemetar. Entah kenapa perasaan ini nggak enak. Aku buka aplikasi chatnya. Nama pertama yang muncul langsung bikin jantungku berhenti sejenak.
Dela.
Aku membeku. Bukan cuma karena namanya, tapi karena isi chat yang kulihat setelahnya.
Pesan mereka... akrab. Penuh tanya, penuh perhatian.
Dela:“Aku udah di kampung, Ren.”
Rendra: “Serius? Kapan ketemu?”
Dela :“Kapan aja, asal kamu mau.”
Rendra :“Nanti sore aku ke rumah lama kamu, ya.”
Hatiku serasa diremas.
Jadi selama ini dia keluar rumah... buat ketemu Dela?
Air mata menetes tanpa bisa kutahan.
Beberapa hari ini dia memang jarang di rumah, jarang bicara, bahkan jarang menyentuhku. Sekarang aku tahu alasannya.
Segera kutaruh kembali ponselnya ke tempat semula sebelum dia bangun. Aku buru-buru menyeka air mata. Tak lama kemudian, suaranya terdengar dari kamar.
“Aini, bikinin Abang kopi,” katanya datar sambil duduk di depan televisi.
“Gula sama kopi abis, Bang,” jawabku pelan, mencoba menahan getaran suaraku.
“Ngutang aja dulu ke warung. Nanti sore dibayar,” katanya santai seolah aku nggak punya rasa malu.
Aku menggigit bibir. Tapi tetap menuruti. Keenan kutinggal bersama dia.
Begitu sampai di warung, langkahku terhenti. Dela sedang berdiri di depan rak jajanan, tersenyum ke arahku.
“Eh, Aini… apa kabar?” sapa Dela ramah. Suaranya lembut, tapi entah kenapa membuat darahku naik.
“Baik, Mbak,” jawabku dingin.
“Rendra apa kabar?” tanyanya lagi. Aku bisa rasakan dadaku mengencang. Bukankah mereka sudah berhubungan lewat chat? Masih juga dia pura-pura tanya?
“Baik. Dan aku rasa dia sangat baik sekarang,” jawabku, menahan senyum penuh arti.
Dela hanya tersenyum tipis. Ada tatapan aneh di matanya.
“Buk, kata Bang Rendra, hutang gula sama kopi dulu. Nanti sore dibayar,” kataku agak keras, sengaja supaya Dela dengar.
Dela menatapku kaget, ekspresinya berubah kikuk. Mungkin baru sadar bahwa mantan kekasihnya sekarang hidup pas-pasan, bahkan ngutang cuma buat gula dan kopi.
Aku tersenyum dalam hati. Biar dia tahu, kalau laki-laki yang dulu dia tinggalkan itu sekarang bukan siapa-siapa lagi.
Dela itu cinta pertama Bang Rendra—anak orang kaya di kampung ini. Sawah, kebun, bisnis di kota, semua dia punya. Dulu mereka gagal menikah karena orang tua Dela nggak merestui. Aku nggak tahu gimana hidupnya setelah itu, yang aku tahu, dia menikah dengan orang kota dan akhirnya cerai. Dan entah kenapa, Tuhan seolah mempertemukan mereka lagi sekarang... tepat ketika hidupku sedang di titik terendah.
Aku menatap punggung Dela yang menjauh dengan tatapan dingin.