Aku pernah percaya bahwa cinta itu cukup.
Bahwa selama kita mencintai seseorang dengan sepenuh hati, ia akan tinggal. Bahwa kesetiaan akan dibalas dengan kesetiaan. Bahwa pengorbanan akan membuka jalan menuju kebahagiaan. Aku percaya, sampai kenyataan memaksaku membuka mata: tidak semua cinta menemukan jalannya, dan tidak semua istri benar-benar menjadi pilihan.
Namaku Nayla. Seorang istri di atas kertas. Di kehidupan nyata? Aku lebih sering merasa seperti tamu dalam rumahku sendiri. Aku memasak, mencuci, merapikan rumah, menyiapkan segala kebutuhan suamiku. Tapi tak sekalipun aku merasa dipandang sebagai seseorang yang ia banggakan. Tak pernah aku lihat binar di matanya ketika menatapku. Tidak seperti saat ia menatap layar ponselnya, tersenyum kecil, membalas pesan yang tak pernah kutahu isinya.
Aku dan Raka menikah karena keadaan. Aku menyukainya sejak lama, dan saat kami dipertemukan dalam sebuah kesempatan yang kelihatannya takdir, aku langsung mengiyakan tanpa banyak berpikir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yullia Widi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Aku, Istrinya yang Tak Pernah Ia Lihat
Hujan turun sejak siang tadi. Rintiknya menyapu jendela ruang tamu, menciptakan harmoni sendu yang biasanya kunikmati dengan segelas teh dan buku favorit. Tapi tidak malam ini. Malam ini aku duduk terpaku di ruang tamu, mengenakan jaket tipis, menatap kosong pada pintu yang belum juga terbuka sejak sore.
Ponselku sunyi. Tak ada pesan masuk. Tak ada notifikasi. Arvan belum pulang, lagi.
Sudah hampir sebulan ini ia pulang larut, bahkan kadang tidak pulang sama sekali. Dan aku tak pernah tahu di mana ia berada, dengan siapa ia menghabiskan malamnya. Aku hanya bisa menduga, dan mencoba menahan amarah agar tidak berubah menjadi luka baru.
Aku bukan perempuan cemburuan, tapi aku istri. Bahkan istri yang tidak pernah diberi ruang untuk sekadar menanyakan: "Kamu di mana?"
Ketika aku memberanikan diri mengirim pesan minggu lalu, jawabannya hanya:
"Jangan seperti anak kecil, Nayla. Aku sedang kerja."
Aku tertawa miris. Kerja? Jam satu pagi?
Tapi aku tidak melawan. Karena aku tahu, dalam hubungan ini, aku bukan siapa-siapa.
Malam ini, aku kembali menunggu. Seperti perempuan bodoh yang menggantungkan harapan pada seseorang yang bahkan tak pernah melihat keberadaannya.
Setiap jam yang berlalu terasa seperti tamparan.
Jam delapan.
Jam sembilan.
Jam sepuluh.
Akhirnya, pukul sebelas lewat lima belas, pintu depan terbuka. Arvan masuk, basah kuyup, jaketnya setengah terbuka, dan matanya mata itu tidak menunjukkan sedikit pun bahwa dia merindukan rumah ini.
Dia melihatku sekilas lalu melepas sepatunya.
"Aku sudah siapkan makan malam," kataku pelan. Kalimat itu keluar seperti gumaman. Aku tahu ia mendengar, tapi ia tidak menjawab.
Ia hanya berjalan menuju kamar, mengeringkan rambutnya dengan handuk, dan menghindari kontak mata denganku seolah aku adalah hantu masa lalu yang tak layak disentuh.
Aku menyusulnya ke kamar. Entah setan apa yang membisikiku malam ini, membuatku memberanikan diri bertanya.
"Kamu kenapa, Van? Kenapa akhir-akhir ini selalu pulang malam?"
Ia menoleh sekilas, menatapku dengan mata yang dingin, lalu menghela napas panjang.
“Nayla, tolong. Jangan mulai lagi. Aku lelah.”
Kalimat itu mematikan semangatku.
Aku tidak sedang menuduh, aku hanya bertanya.
Tapi begitulah Arvan. Selalu menghindar. Selalu menuduhku menyalahkan. Padahal aku hanya ingin bicara hanya ingin merasa sedikit penting.
"Aku bukan orang asing, Van," bisikku lirih, berharap ia masih mau mendengarkan.
Namun ia malah duduk di tepi ranjang, membuka laptopnya, dan memfokuskan pandangannya pada layar. Membiarkanku berdiri sendiri, menahan tangis yang menggantung di pelupuk mata.
“Aku tahu kamu nggak cinta aku,” lanjutku, masih dengan suara pelan. “Tapi apa salahnya mencoba saling terbuka? Aku juga manusia... aku istrimu.”
Kali ini ia menutup laptopnya, menatapku lurus. Tapi tatapan itu tak hangat. Justru membuat dadaku sesak.
“Dari awal aku sudah bilang, Nayla. Ini bukan pernikahan yang kuinginkan. Kamu terlalu berharap. Aku menjalani ini karena kewajiban, bukan cinta.”
Kalimatnya seperti bilah pisau. Mengiris dalam, perlahan, tapi mematikan. Aku tidak kuat menahan air mata.
"Apa salahku?" tanyaku hampir tak terdengar.
Arvan tak menjawab. Ia hanya berdiri, mengambil bantal, dan berjalan keluar kamar. Malam itu, ia tidur di ruang tamu. Lagi.
Dan aku?
Aku kembali tidur sendiri. Di ranjang yang besar tapi terasa sempit karena tidak ada kehangatan. Di kamar yang tenang tapi begitu bising karena luka-luka yang tak bisa dibicarakan.
Kadang aku bertanya, jika cinta bukan alasan kami menikah, lalu untuk apa semua ini dipertahankan?
Tapi aku tak punya jawaban. Karena aku tahu, aku sudah terlalu jauh melangkah dalam hubungan yang tak pernah memberi ruang untuk pulang.
Tapi menyerah bukan berarti aku tak ingin dicintai. Aku hanya mulai mengerti, bahwa tidak semua yang kita perjuangkan akan kembali pada kita dalam bentuk yang kita harapkan.
Dan malam itu, sebelum mataku benar-benar terpejam, aku berjanji dalam diam. Jika esok masih sama, jika tak ada perubahan, maka aku akan memulai langkah. Mungkin bukan pergi. Tapi mulai mencintai diriku sendiri lebih dulu.
Pagi datang dengan sisa gerimis. Langit masih kelabu. Aku menyeduh teh, bukan kopi seperti biasa. Aroma melatinya menenangkan, meski hatiku belum sepenuhnya damai.
Arvan masih tidur di sofa, tubuhnya terbungkus selimut tipis. Aku memandangi wajahnya yang tertidur. Lelaki yang dulu kukira akan jadi pelabuhan. Tapi ternyata hanya persinggahan yang tak pernah benar-benar membuka pintu.
Dia tampak tenang saat tidur. Tapi ketenangan itu bukan untukku. Ia milik dunianya sendiri dunia yang tak pernah mengikutsertakan aku di dalamnya.
Kupersiapkan sarapan seadanya. Sepiring telur dadar, nasi hangat, dan sambal favoritnya yang dulu pernah membuatnya tersenyum pada awal pernikahan kami. Tapi aku tahu, senyum itu tak akan muncul hari ini.
Dan memang benar. Saat Arvan bangun dan melihat meja makan, ia hanya menghela napas. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia mengambil gelas, menuang air sendiri, lalu duduk tanpa menatapku.
“Pagi,” ucapku pelan.
“Hm,” hanya itu yang ia balas.
Aku tahu, pagi ini akan sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Tapi aku tidak marah. Tidak juga kecewa. Aku hanya merasa kosong. Perasaan yang lebih mengerikan dari luka.
“Aku mau keluar nanti siang,” ucapku, berusaha terdengar ringan.
Dia tidak bertanya ke mana. Tidak juga menanggapi.
“Ada janji dengan teman lama,” tambahku, mencoba memancing reaksi. Tapi lagi-lagi, hanya diam.
Dan diam itu... menyedihkan. Seolah aku tidak pernah penting. Seolah kepergianku tak perlu diketahui karena tak ada bedanya apakah aku ada atau tidak.
Setelah makan, aku masuk kamar. Menatap pantulan wajahku di cermin. Mata sembab karena kurang tidur. Bibir kering karena terlalu lama diam. Tapi dari dalam pantulan itu, aku melihat sesuatu yang berbeda. Aku melihat Nayla yang mulai berani menatap dirinya sendiri tanpa rasa bersalah.
Kupilih baju terbaik yang kupunya. Sederhana, tapi rapi. Kumasukkan buku harian itu ke dalam tas kecil, entah kenapa. Mungkin aku akan membacanya di luar. Atau membakarnya, kalau aku sudah cukup kuat.
Sebelum keluar kamar, aku menoleh sejenak. Melihat tempat tidur yang rapi tapi hampa. Kamar yang jadi saksi begitu banyak kebisuan. Aku tak tahu apa yang akan terjadi besok, tapi hari ini, aku memilih melangkah.
Aku berjalan ke ruang tamu. Arvan masih di meja makan, memandangi ponselnya.
“Aku pergi dulu,” ucapku datar.
Kali ini, dia menoleh. Sekilas. Tapi cukup untuk membuat hatiku berdesir aneh. Bukan karena harap. Tapi karena aku sadar, itu bukan tatapan seseorang yang takut kehilangan.
“Jangan lama,” katanya.
Dan itu saja. Tak ada tanya ke mana, dengan siapa, atau kenapa. Ia tidak peduli. Dan mungkin dari situlah aku tahu: waktunya benar-benar datang.
Aku membuka pintu rumah pelan, membiarkan udara dingin menyambut wajahku. Hujan sudah reda. Tapi bau tanah basah masih menggantung di udara, seperti sisa luka yang belum sempat dikeringkan.
Aku melangkah.
Bukan untuk pergi meninggalkan semuanya, tapi untuk menemukan kembali siapa diriku sebelum semua ini mengaburkan siapa aku sebenarnya.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, aku tidak menunggu suara di belakangku memanggil. Karena aku tahu, suara itu tak akan datang.
Dan bahkan jika datang pun mungkin aku tak akan lagi menoleh.