Nael, seorang notaris kondang, tenggelam dalam kesedihan mendalam setelah kepergian istrinya, Felicia. Bermodalkan pesan terakhir yang berisi harapan Felicia untuknya, Nael berusaha bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik. Meski kehidupannya terasa berat, ia tidak pernah menyerah untuk membenahi diri seperti yang diinginkan oleh mendiang istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 32: Kepala Desa
Setelan jas rapi yang terkesan formal ini langsung membuatku menjadi pusat perhatian para warga yang hanya mengenakan kaos dan celana sederhana. Setiap pasang mata dari berbagai insan yang ada menatapku dengan mata yang tampak terheran-heran. Baik itu orang tua, remaja, bahkan anak-anak yang sedang berlarian di atas pasir, semuanya memandang seolah aku adalah alien dari eksoplanet yang jauh di sana.
“Siapa orang itu?”
“Dari pemerintahan, kah?”
“Nggak tau. Yang jelas dia bukan warga kita.”
Demikianlah desas-desus yang kudengar selama menyusuri perkampungan para nelayan ini.
Langkahku kemudian terhenti di antara rumah warga yang lantainya menyatu dengan pasir putih. Hanya sedikit dari keramik yang nampak di permukaan karena saking tebalnya pasir yang menguburnya.
Dinding dari sebagian besar rumah-rumah itu terbuat dari kayu yang nampak sudah tua, namun tetap kokoh. Sebagiannya lagi tersusun atas batu bata yang sudah keropos dan termakan oleh lumut. Atap mereka pun terdiri dari campuran genteng serta seng yang sudah karatan.
Dari penampakan rumah warga di sekelilingku, jelas desa ini layak disebut sebagai desa yang miskin. Aku yakin bahwa hampir seluruh warga yang ada di sini tidak memiliki sertifikat tanah atas rumah yang mereka tinggali.
Aku kemudian berjalan lagi menyusuri desa nelayan yang lumayan kumuh ini. Aroma amis tangkapan laut yang sangat menyengat terasa menusuk hidung kemanapun aku melangkah. Namun, aku mencoba untuk tidak menutup hidung dengan saputangan, agar para warga desa tidak merasa tersinggung.
“Permisi, ada yang bisa saya bantu?” Demikianlah suara lelaki tua yang sudah serak menyapaku dari arah kanan. Aku bisa melihat perawakannya sudah cukup ringkih dengan tubuh membungkuk, serta kulit yang coklat legam terbakar oleh terik matahari. Dengan mata yang sudah sayup-sayup, ia melangkah perlahan mendekat ke arahku.
“Ah, iya, pak. Saya datang ke sini untuk bertemu dengan kepala desa untuk mendiskusikan suatu hal. Bisakah saya bertemu dengan beliau?” Tanyaku pada pria tua tersebut.
“Tentu saja. Anda sudah bertemu dengannya sekarang.” Ah, jadi kakek ini adalah pemimpin dari Desa Uyah Gesing, ya. Harusnya aku sudah bisa menebaknya dengan melihat perawakan beliau yang jauh lebih tua daripada warga desa lainnya. “Baju anda sangat rapi kayak orang dari pemerintahan. Saya rasa, akan lebih bijaksana kalau kita berdiskusi di rumah saya saja.” Tawarnya dengan mata yang sedang berusaha menatap ke arah wajahku.
“Tentu saja. Dengan senang hati, Pak.” Aku membalas dengan sedikit membungkuk untuk menunjukkan sebuah penghormatan padanya.
Beliau kemudian berjalan menuntunku menuju rumahnya. Sepanjang perjalanan dengan tempo yang pelan itu—karena beliau sudah tidak mampu lagi untuk berjalan dengan lincah—Pak Kepala Desa memperkenalkan dirinya dengan nama Nautilus. Hanya Nautilus tok, tanpa nama depan atau belakang. Nama beliau terdengar sangat menyatu dengan laut yang menjadi tempat warga desa mencari nafkah.
Begitu sampai di kediaman Nautilus yang terlihat persis dengan rumah honai di Papua, aku langsung menjelaskan mengenai perkara yang sedang mengancam kelangsungan tanah desa ini. Beliau mendengarkan penuturanku yang memaparkan bahwa Michael Huang sedang mencoba mengambil alih tanah desa yang tidak memiliki sertifikat ini. Dalam diam, Nautilus hanya sesekali mengangguk seolah mengerti segala hal yang sedang aku jelaskan.
“Jadi gitu, ya, hahaha. Orang kaya emang nggak bakal pernah puas.” Ucapnya sambil menyeruput air hangat yang disajikan oleh cucu perempuannya tadi. Dia juga memberikan isyarat untuk segera meminum teh yang telah disuguhkan di hadapanku itu. “Mohon maaf, nama anda siapa tadi? Emanuel, ya?”
“Nael saja, Pak, biar lebih gampang. Itu panggilan saya juga.”
“Baiklah, begini nak Nael,” suara serak Kakek Nautilus yang semula hangat, tiba-tiba berubah menjadi lebih serius. “Kami para warga desa sudah memiliki pipil yang menjadi dokumen sah kepemilikan tanah ini. Tapi, dari penuturan nak Nael, sepertinya dokumen itu masih belum cukup untuk mengusir si orang kaya jahat itu, ya?”
Jadi begitu, ya. Ternyata para warga desa masih menggunakan pipil sebagai dokumen kepemilikan tanah mereka. Asal kalian tahu, dokumen itu sudah lama sekali tidak berlaku dalam sistem pertanahan di negeri ini.
“Iya, Pak Nautilus. Dokumen pipil yang telah kalian pegang itu sudah tidak berlaku lagi di negeri ini.” Meskipun mendapat kabar yang kurang mengenakkan, Pak Nautilus tetap tenang dengan ekspresi wajah datar dan sorot mata sayu namun tajam itu.
“Lalu, apa solusinya, nak Nael?” Tanyanya dengan suara serak yang kasar layaknya pasir putih yang menyelimuti desa.
“Saya akan membantu kalian untuk membuat sertifikat kepemilikan yang baru, sebelum Michael Huang berhasil merebut tanah desa ini!”
...***...
Setelah berdiskusi secara lebih mendalam bersama Pak Kepala Desa—Bapak Nautilus—akhirnya aku diberi kepercayaan oleh para warga untuk membuatkan mereka sertifikat kepemilikan tanah yang baru. Sebanyak 186 keluarga menyerahkan dokumen pipil yang sudah usang itu untuk diganti menjadi sertifikat tanah sesuai undang-undang yang berlaku.
Aku kemudian menyimpannya dengan aman di dalam tas, lalu berjalan menuju mobil yang terparkir di atas tebing dengan ditemani oleh seorang pemuda desa bernama Bayu. Menurut Pak Nautilus, Bayu adalah anak emas di desa karena kepintarannya dari segi intelektual, emosional, serta spiritual. Di usianya yang ke-18, dia sudah diberikan kewenangan sebagai pemimpin unit keamanan desa.
Saat sudah sampai di dekat mobil, aku segera menaruh tas itu di kursi penumpang bagian belakang. Aku kemudian mengeluarkan handphone yang berada di saku celana untuk menghubungi Felix.
“Aku lagi menelepon seorang ahli hukum di Universitas Andawana. Aku rasa dia bisa membantu kita dalam menyelesaikan permasalahan ini.” Ucapku pada Bayu untuk menjelaskan alasanku menelepon Felix.
Tiga puluh detik pun berlalu dan Felix akhirnya mengangkat panggilan teleponku. Suaranya sempat terdengar tidak jelas untuk beberapa saat karena lokasiku yang lumayan terpelosok. “Halo, halo, Nael, apa kau bisa mendengarku?” Akhirnya suara orang itu pun menjadi lebih jernih dari sebelumnya.
“Halo, Felix. Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu.” Kataku dengan nada yang tergesa-gesa.
“Ada apa? Kayaknya penting banget, nih.” Felix langsung menyadari bahwa aku sedang berada dalam keadaan yang lumayan genting sekarang. Memang terbaik lah kau ini!
“Selain itu, kau ini lagi ada di mana, sih? Kok suara anginnya kenceng banget?” Tanya Felix mempermasalahkan angin laut yang begitu kencang menerpa microphone hpku.
“Aku lagi di Desa Uyah Gesing yang terancam digusur oleh mafia tanah. Kau tahu pebisnis yang namanya Michael Huang?” Aku menjawab dengan diikuti pertanyaan di belakangnya.
“Ah, aku tahu orang itu. Dia sempat jadi sorotan publik gara-gara masang pagar laut di pesisir Tangerang. Apa yang mau dilakukan oleh si rakus itu?” Balas Felix dengan nada yang terdengar makin serius.
“Intinya, dia mau ngambil alih wilayah Desa Uyah Gesing karena masyarakat di sini belum memiliki sertifikat terbaru atas tanah yang mereka tinggali. Mereka masih makai pipil sebagai dokumen kepemilikannya.” Aku menjelaskan dengan singkat pada Felix.
“I see. Lalu, kenapa kau tumben-tumbenan peduli sama urusan masyarakat kecil seperti ini? Biasanya kau cuek-cuek aja, tuh.”
“Itu karena si Michael Huang meminta aku membuatkan sertifikat tanah desa ini dengan mengatasnamakan dirinya sendiri. Aku jelas nggak mau bikin masyarakat kecil ini menderita, dong.” Aku menjelaskan secara terus terang.
Di hadapanku, Bayu terlihat menatap dengan sorot mata yang serius. Namun, di balik itu semua, ada sebuah rasa hormat yang terpancarkan dari dalam dirinya. Aku rasa, ini masih terlalu awal untuk menghormatiku, Yu.
“Terus, kau sudah nemu solusinya?” Felix melontarkan sebuah pertanyaan lagi.
“Aku akan membuatkan sertifikat tanah yang baru untuk warga desa. Tapi, masalahnya, aku nggak mau hal ini sampai ketahuan sama Michael Huang. Kau punya ide untuk mengakali hal ini?” Aku meminta saran kepadanya. Kadang kala, Felix bisa memberikan sebuah ide yang brilian atas permasalahan yang sedang aku alami.
“Hmn… Aku punya saran, sih. Tapi, ini akan jadi bumerang bagimu jika ketahuan.”
“Katakan saja. Aku akan mempertimbangkannya.”
Felix terdengar menghela napas sejenak, seolah mengumpulkan niatnya untuk menyampaikan solusi yang sepertinya punya ganjaran tersendiri.
“Coba kau hubungi orang dalam di BPN, lalu sogok dia untuk membuatkan sertifikatnya secara diam-diam. Untuk masalah transaksi dan serah terima barangnya, aku serahkan sepenuhnya padamu. Aku yakin kau itu jauh lebih licin dari mafia ekonomi itu.”