Kelahiran bayi hasil pengkhianatan tunangan dan adiknya, membuat Nara merasakan puncak kehancuran. Rasa frustrasi dan kecewa yang dalam membuat Nara tanpa sengaja menghabiskan malam dengan seorang pria asing.
“Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu.” -Daniel Devandra Salim
“Menikah dengan pria asing? Apakah aku bisa bahagia?”
“Seluruh kekayaanku, akan kugunakan untuk membahagiakanmu.”
Dalam pernikahan yang dikira menjadi jalan bahagia, Nara justru menemukan sebuah fakta yang mengejutkan tentang Devan yang tidak pernah dia sangka. Di saat yang sama, ipar alias mantan tunangannya mencoba meyakinkan Nara bahwa dia hanya mencintai wanita itu dan menyesal telah mengkhianatinya.
Akankah Nara berhasil mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahannya dengan Devan?
Ataukah dia mengalami kegagalan dan kembali pada mantannya?
*
*
Follow IG @ittaharuka untuk informasi update novel ini ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itta Haruka07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Devan terdiam, lehernya terasa seperti tercekik. Keraguan Nara menusuknya lebih dalam daripada pukulan Endra. Ia menurunkan Nara dengan hati-hati, jari-jarinya masih menyentuh kulit Nara sejenak sebelum melepaskannya.
Di kamar mandi yang luas dan mewah itu, lantai marmer berkilau di bawah cahaya lampu. Devan menyalakan keran air hangat untuk mengisi bathtub marmer yang besar.
Suara gemericik air yang pelan dan merdu membaur dengan aroma sabun yang lembut. Uap air hangat perlahan mulai memenuhi ruangan, menghilangkan hawa dingin.
Dia lalu meraih tangan Nara lagi, kali ini dengan lebih lembut, jari-jarinya membelai punggung tangan Nara. “Apa yang membuatmu ragu, Sayang?” suara Devan bergetar.
Nara menarik napas dalam-dalam, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. Air mata mulai menggenang di matanya. “Aku … aku merasa bersalah, Dev. Aku menikahimu ketika aku masih terluka, masih belum sepenuhnya pulih dari semuanya. Aku takut … takut ini hanya karena terpaksa dan atas dasar tanggung jawab, bukan perasaan cinta yang sebenarnya. Aku takut aku tidak bisa mencintaimu seperti yang kamu harapkan.” Suaranya terputus-putus, mengungkapkan keraguannya yang mendalam.
Devan mendengarkan dengan baik, matanya menatap Nara dengan penuh pengertian. Ia lalu memeluk Nara erat-erat, menariknya ke dadanya. “Aku mengerti perasaanmu, Nara. Kamu tidak perlu memaksa dirimu. Cukup nikmati dan rasakan cintaku. Aku yakin, cintaku saja cukup untuk hubungan kita berdua. Jangan takut untuk membuka hatimu, biarkan aku menjagamu, menyayangimu. Asal, jangan pernah meninggalkanku,” kata Devan dengan suara lembut, tetapi penuh keyakinan.
Nara membalas pelukan Devan, merasakan kehangatan tubuh suami yang menenangkan hatinya yang gelisah. Bau parfum Devan yang familier membuatnya merasa tenang. “Makasih, Dev,” bisiknya, suaranya masih bergetar, tetapi ada secercah harapan yang mulai muncul di hatinya.
Devan melepaskan pelukannya perlahan, menatap mata Nara dengan penuh kasih sayang. Ia memeriksa suhu air dengan tangannya, kemudian menoleh ke Nara, menunggu Nara siap untuk masuk ke dalam bathtub yang sudah siap.
Pria itu segera mengulurkan tangannya, “Ayo, kita berendam.”
Dengan malu-malu, Nara melepaskan seluruh pakaiannya, menyisakan dua lembar terakhir yang membalut bagian rahasianya. Sementara Devan, tanpa ragu melepas semua yang melekat dalam dirinya.
Pria itu membantunya Nara dan membimbingnya menuju bathtub marmer yang telah terisi air hangat. Uap air hangat mengepul, mengharumkan ruangan dengan aroma sabun yang lembut. Mereka masuk ke dalam bathtub bersama, merasakan kehangatan air yang membasuh lelah dan ketegangan yang mereka rasakan.
**
**
Setelah makan siang yang tak berselera, ponsel Devan berdering, menampilkan nama Dio. Devan mengangkatnya dan suara Dio yang lirih terdengar, “Kita berhasil, Pak Devan. Dua puluh persen saham Antariksa Hotel sudah di tangan kita. Plus, kita dapat dukungan sekitar sepuluh persen dari pemilik saham lainnya.”
Sejenak, sebuah senyum tipis terukir di wajah Devan. Akan tetapi senyum itu sirna begitu Dio melanjutkan, “Tapi … Rendra juga sudah mendapatkan 10% dukungan dari pemegang saham lain. Totalnya mereka sekarang punya 45%. Kita harus mendapatkan lebih dari 20% lagi, Pak. Apa yang harus kita lakukan?”
Devan menatap jam tangannya, jarum detik berputar dengan kecepatan yang terasa semakin cepat. Waktunya semakin menipis. Ia harus mengambil langkah drastis.
“Kita harus bergerak cepat,” katanya, suaranya dingin dan penuh perhitungan. “Naikkan berita tentang Danu sekarang juga! Pastikan wanita itu mau bekerjasama. Minggu depan, aku akan menghadiri acara penghargaan di Singapura. Itu akan menjadi momen yang tepat untuk membuat berita tentangku dan sekaligus berita tentang Danu menjadi viral. Kesempatan ini tidak boleh disia-siakan.”
Acara penghargaan One Best Young Entrepreneur di Singapura minggu depan menjadi kesempatan emas untuk Devan. Ia akan memanfaatkan momentum tersebut untuk meningkatkan popularitasnya dan memastikan berita tentang Danu sampai ke telinga banyak orang. Devan mengepalkan tangannya, tekad yang kuat terlihat berkobar di matanya.
“Tapi ada satu hal lagi, Pak Devan,” suara Dio terdengar ragu-ragu di seberang telepon. “Rendra tampaknya sudah mengetahui rencana kita. Dia bergerak lebih cepat dari yang kita perkirakan. Saya mendapat informasi bahwa dia sudah menghubungi beberapa pemegang saham kunci, menawarkan kesepakatan yang lebih menguntungkan.”
Keheningan singkat menggantung di udara. Devan mengusap wajahnya, keraguan mulai muncul di benaknya.
“Kita bahas lagi itu nanti. Sekarang, fokus dengan berita-berita ini. Apakah setelah ini mereka masih bisa bertahan!” seru Devan yang kemudian mematikan teleponnya.
Setelah menutup telepon dengan Dio, Devan membaca berkas audit eksternal yang ada di meja. Ketidaksesuaian dalam laporan keuangan perusahaan tercetak jelas di atas kertas, mengingatkannya pada waktu yang semakin menipis.
Dengan langkah cepat dan tujuan yang pasti, Devan menuju departemen keuangan. Ia melirik jam tangannya; jarum detik berputar dengan kecepatan yang terasa semakin cepat. Suasana di koridor terasa sunyi, hanya deru AC yang terdengar.
Nara, sedang memeriksa data di komputernya, merasakan kehadiran Devan dan aura tegang yang terpancar darinya. Jantungnya berdebar kencang, firasat buruk menyergapnya.
Devan hanya meliriknya sekilas, tatapannya dingin dan penuh perhitungan, sebelum memasuki ruangan kepala departemen keuangan. Ruangan itu setengah kaca, memberikan pandangan jelas ke seluruh departemen.
Keheningan tiba-tiba menyelimuti ruangan. Devan meletakkan berkas audit di meja. “Ada beberapa ketidaksesuaian yang cukup signifikan,” katanya, suaranya tenang tetapi tetap tegas. “Kita harus selesaikan revisi ini dalam dua hari. Pak Herman, siapa yang menurut Anda paling tepat untuk menangani ini?”
Pak Herman, kepala departemen keuangan, seorang pria tua dengan kacamata tebal, memeriksa berkas tersebut dengan seksama. Ia menghela napas berat.
“Sebagian besar staf senior sedang mengerjakan laporan triwulan, Pak Devan,” jawabnya, suaranya sedikit ragu. “Untuk revisi ini, saya rasa staf baru bisa membantu. Mereka lebih fleksibel.”
Devan mengangguk pelan, matanya mengamati Nara dari balik kaca. Ia pura-pura berpikir keras. “Siapa yang Anda sarankan? Saya ingin memastikan orang yang tepat, karena saya akan mengawasi langsung prosesnya.”
Pak Herman menyebutkan beberapa nama. Devan pura-pura mempertimbangkannya. Layar monitor menampilkan profil beberapa karyawan, termasuk Nara.
Devan menunjuk ke profil Nara. “Dia siapa? Sepertinya dia punya pengalaman lebih lama di perusahaan sebelumnya, dan proyek ini juga berkaitan dengan keahliannya di bidang analisis risiko keuangan,” katanya, suaranya terdengar acuh tak acuh, tetapi matanya berkilat tajam.
Pak Herman mengangguk. “Ini Nara, Pak. Dia memang baru, tapi kerjanya sangat teliti dan cepat. Dia juga pernah menangani kasus serupa di perusahaan sebelumnya.”
Devan pura-pura mempertimbangkan lagi. Ia menunjuk ke profil karyawan lain. “Bagaimana dengan Deswita? Dia sudah lebih dari enam bulan di sini, kan?”
“Deswita cukup teliti, Pak,” jawab Pak Herman, “tapi sedikit kurang cepat.”
Devan tersenyum tipis, rencananya berjalan sempurna. “Baiklah, panggil Nara saja!” katanya, keputusannya sudah final.
Pak Herman menelepon Nara dan wanita itu dengan cepat menjawab. “Kamu ke sini sekarang!”
Devan memperhatikan Nara di balik kaca. Wajah Nara pucat pasi saat menerima panggilan tersebut. Namun, Nara akhirnya menerima perintah itu dengan suara gemetar.
Sebelum Nara sempat menutup telepon, Devan melihat seorang karyawan lain, Deswita, menatap Nara dengan tatapan curiga. Deswita tampak menyadari sesuatu.
Perintah atasannya itu membuat jantung Nara berdegup dengan kencang. Dia melirik ke arah Devan yang terlihat serius di balik kaca.
‘Apa yang dia inginkan? Kenapa mengganggu pekerjaanku?’
***
betul yg dibilang Nara ttg Endra dulu dia berselingkuh dgn Renata jadi kedepannya kalo Renata diselingkuhi ya...