NovelToon NovelToon
Menculik Pengantin Wanita Adik Tiri

Menculik Pengantin Wanita Adik Tiri

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Balas Dendam / Konflik etika
Popularitas:28.2k
Nilai: 5
Nama Author: iraurah

Andreas Wilton sudah terlahir dingin karena kejamnya kehidupan yang membuatnya tidak mengerti soal kasih sayang.

Ketika Andreas mendengar berita jika adik tirinya akan menikah, Andreas diam-diam menculik mempelai wanita dan membawa perempuan tersebut ke dalam mansion -nya.

Andreas berniat menyiksa wanita yang paling disayang oleh anak dari istri kedua ayahnya itu, Andreas ingin melihat penderitaan yang akan dirasakan oleh orang-orang yang sudah merenggut kebahagiaannya dan mendiang sang ibu.

Namun, wanita yang dia culik justru memberikan kehangatan dan cinta yang selama ini tidak pernah dia rasakan.

“Kenapa kau peduli padaku? Kenapa kau menangis saat aku sakit? Padahal aku sudah membuat hidupmu seperti neraka yang mengerikan”

Akankah Andreas melanjutkan niat buruknya dan melepas wanita tersebut suatu saat nanti?

Follow instagramm : @iraurah

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Suapan Pertama

Mistiza membeku. Kata-kata asing yang baru saja diucapkan Andreas masih menggema di telinganya, membuatnya bertanya-tanya apakah ia mendengarnya dengan benar.

"Apa… kau baru saja memintaku untuk… menyuapimu?" tanyanya pelan, hampir seperti bisikan, seakan ia takut pertanyaan itu akan memancing ledakan baru dari lelaki yang terbaring lemah di ranjang.

Andreas berdecak, terdengar kesal, tetapi tak mengangkat suaranya. "Telingamu tidak tuli, kan?" ujarnya tajam. "Ya, aku bilang suapi aku. Atau kau butuh aku menuliskannya juga?"

Mistiza menggigit bibir bawahnya, mencoba menenangkan denyut di pelipisnya yang mendadak berdegup lebih cepat. Ia tidak menyangka permintaan itu akan datang, apalagi dari Andreas—pria yang selama ini dikenal sebagai seseorang yang tak segan menindas demi kekuasaan.

"Kenapa… tidak meminta Richard saja?" tanyanya ragu, suaranya masih bergetar, namun tetap terdengar.

Andreas mendengus kasar, pandangannya menusuk. "Apa kau pikir aku sebodoh itu menyuruh laki-laki lain menyuapi aku? Itu menjijikkan."

Mistiza menahan napas. Ia tahu betul betapa tinggi harga diri Andreas. Namun tetap saja, permintaan ini membuatnya heran. Masih banyak pelayan di mansion ini, semuanya sigap dan terlatih.

"Bagaimana dengan salah satu pelayan wanita?" tanyanya lagi, mencoba mencari jalan keluar.

"Tak ada dari mereka yang cukup bisa dipercaya untuk dekat denganku dalam keadaan seperti ini," jawab Andreas cepat. "Aku tidak suka dekat-dekat dengan bawahan. Mereka tak terlalu penting untuk ada dalam ruangan ini. Aku juga tak sudi berinteraksi lama dengan pelayan"

Nada suaranya berubah dingin. Mistiza tahu bahwa itu adalah penegasan, bukan undangan untuk berdiskusi lebih lanjut. Jelas sudah bahwa Andreas memilih dirinya, entah karena alasan pribadi atau sekadar karena ia bukan ‘bawahan biasa’.

Ia menarik napas pelan. Ragu-ragu, ia melangkah kembali mendekati ranjang. Nampan perak yang tadi diletakkan di meja kini kembali ia jinjing. Tangannya bergetar ringan saat memindahkan piring bubur gandum ke atas pangkuannya, namun lelaki itu hanya mengalihkan tatapannya ke jendela, seakan tak mau melihat kegugupan Mistiza.

Dengan perlahan, Mistiza duduk di tepi ranjang, jaga jarak cukup untuk tidak menyentuh Andreas, namun cukup dekat agar ia bisa menyuapinya. Matanya menatap wajah lelaki itu sekilas, mencoba membaca apakah ada tanda-tanda kemarahan, rasa sakit, atau bahkan rasa jijik yang biasa menghiasi ekspresinya. Namun yang ia lihat justru wajah lelah, kulit pucat, dan sorot mata yang suram—berbeda dari Andreas yang ia kenal.

Ia mengambil sendok kecil dari samping piring, menyendokkan bubur dengan hati-hati. Tangannya masih gemetar saat ia mengangkat sendok itu ke depan wajah Andreas.

"Tolong buka mulutmu…" ucapnya, nyaris berbisik.

Tanpa membalas, Andreas menoleh, membuka mulutnya sedikit, dan menerima suapan pertama. Mistiza mengamati reaksinya—tidak ada ekspresi puas atau tidak puas. Ia mengunyah pelan, menelan perlahan.

"Jangan terlalu banyak," katanya setelah menelan. Suaranya parau. "Tenggorokanku terasa seperti tergores setiap kali menelan terlalu besar."

Mistiza mengangguk. Ia menyesuaikan takaran pada sendokan berikutnya, menyuapkan bubur dengan gerakan lebih tenang, meskipun dalam hati masih bergolak. Ia tak pernah membayangkan dirinya berada dalam situasi seperti ini—menyuapi lelaki yang selama ini ia takuti, yang sampai saat ini masih menyusun skenario untuk mencelakainya.

Namun entah bagaimana, suasana yang tadinya menegangkan perlahan berubah menjadi senyap. Tidak ada lagi kalimat pedas dari Andreas, juga tak ada protes tentang rasa makanan. Mistiza terus menyuapkan bubur dalam diam, hanya sesekali mencelupkan sendok ke dalam piring.

Ia menyodorkan cangkir teh chamomile saat melihat Andreas terbatuk kecil.

"Minum dulu," katanya lembut.

Andreas menatap cangkir yang disodorkan Mistiza, lalu menerimanya. Ia menyesap pelan. Uap teh masih mengepul, menciptakan kehangatan di sekitar wajah pucatnya. Ia mengembalikan cangkir itu tanpa sepatah kata pun.

Mistiza kembali menyuapkan bubur, lalu potongan buah pir, satu demi satu. Andreas tidak menolak, dan dalam keheningan itu, hanya bunyi sendok yang menyentuh piring dan detik jam yang terdengar samar di kejauhan.

Saat piring hampir kosong, Mistiza menoleh ke arah Andreas. "Sudah cukup?" tanyanya perlahan.

Andreas mengangguk pelan. “Cukup.”

Ia menyeka sudut bibir Andreas dengan serbet bersulam huruf A emas, lalu bangkit berdiri. Ia menata kembali nampan dengan gerakan hati-hati, menyusun piring, cangkir, dan sendok seperti semula.

Mistiza baru saja hendak melangkah keluar dari kamar ketika suara berat Andreas kembali memanggilnya, kali ini lebih tenang namun tak kehilangan nada perintahnya.

"Obatku."

Langkah Mistiza terhenti lagi. Ia memutar tubuhnya perlahan, menatap Andreas dengan sedikit kebingungan. “Obat?” ulangnya, memastikan.

Andreas menggerakkan bola matanya, menunjuk ke arah nakas kayu di sebelah kanan ranjangnya—sebuah meja kecil berukir elegan yang tampak lebih tua dari usia rumah itu sendiri.

“Di dalam laci paling atas,” katanya singkat.

Mistiza melangkah mendekat dan berdiri di depan nakas tersebut. Ia menarik laci perlahan dan mendapati beberapa botol obat tergeletak rapi, semuanya berlabel dan tertutup rapat. Ada satu kotak kecil berisi blister tablet berwarna putih, satu botol pil berwarna hijau tua, dan sebuah botol kaca bening berisi kapsul berwarna merah-oranye. Di sampingnya terdapat secarik kertas kecil yang berisi takaran pemakaian dari dokter.

Ia mengambil semuanya dengan hati-hati, lalu duduk kembali di tepi ranjang, menaruh obat-obatan itu di atas nampan kosong yang tadi digunakan untuk sarapan. Matanya menyapu kertas petunjuk dan mulutnya komat-kamit membacanya perlahan.

"Satu kapsul sebelum makan siang, dua tablet ini sekarang, lalu yang ini setelah teh sore…” gumamnya, mencoba menghafal takaran dengan tepat.

“Yang dua sekarang,” ulang Andreas, sedikit tidak sabar.

Mistiza mengangguk. Ia membuka tutup botol tablet putih terlebih dahulu, mengambil dua butir seperti yang tertulis. Tangannya masih sedikit gemetar, tapi ia berhasil menakar jumlahnya tanpa menjatuhkan apa pun.

Ia lalu menuangkan air dari gelas sarapan tadi ke dalam cangkir kecil. Setelah itu, ia mengulurkan tangan, menyodorkan kedua tablet ke telapak tangan Andreas, namun lelaki itu hanya menatapnya dengan ekspresi datar.

“Kau kira aku bisa mengangkat tangan sendiri untuk mengambilnya?” ucapnya dingin.

Mistiza menarik kembali tangannya, merasa sedikit bodoh. Ia lalu menggenggam kedua tablet itu di tangan kirinya, dan dengan tangan kanan, ia menyodorkan cangkir kecil berisi air. Dengan hati-hati, ia mendekatkan tablet ke bibir Andreas.

"Buka mulutmu," ujarnya pelan, berusaha menghilangkan canggung di suaranya.

Andreas menatapnya sejenak, lalu menurut. Ia membuka mulut perlahan, membiarkan Mistiza meletakkan kedua tablet itu ke dalamnya, kemudian menerima cangkir kecil yang disodorkan. Ia menyesap air sedikit demi sedikit, lalu menelan dengan wajah meringis tipis, seperti menahan nyeri di tenggorokan.

Mistiza memperhatikan dengan saksama. Ia menunggu sejenak, memastikan bahwa Andreas benar-benar sudah menelan semuanya sebelum akhirnya membereskan kembali botol obat yang terbuka.

Setelah semua tertutup rapat, ia menyusun obat-obatan tersebut di atas nampan, meletakkannya dengan hati-hati agar tidak ada yang jatuh. Ia tidak langsung berdiri. Sebaliknya, ia menoleh ke arah Andreas sekali lagi.

"Sudah cukup untuk pagi ini?" tanyanya, kali ini suaranya terdengar sedikit lebih kuat, meskipun masih berhati-hati.

"Datang lagi nanti siang"

Langkah Mistiza terhenti. Ia menoleh pelan, menatap Andreas dengan alis terangkat. "Apa maksudmu?"

"Makan siang. Kau juga yang akan menyuapiku."

Nada suara Andreas tak meninggi, tetapi perintahnya jelas. Mistiza membuka mulut, ingin membantah, namun ia tahu, berdebat dengan Andreas dalam kondisi seperti ini hanya akan memperpanjang waktu yang ingin ia akhiri secepatnya.

Ia mengangguk singkat. "Baik."

Tanpa menunggu balasan, ia melangkah keluar dari kamar. Pintu kamar Andreas tertutup di belakangnya, dan Richard yang setia menunggu di ujung koridor segera menyambut dengan diam.

Mistiza tidak berkata apa-apa. Ia hanya menyerahkan nampan ke tangan pelayan muda yang lewat dan berjalan menyusuri lorong panjang kembali ke dapur. Langkah kakinya terasa lebih berat, bukan karena lelah fisik, melainkan karena beban pikiran yang menghimpit kepalanya.

Ia menutup mata sejenak, menarik napas dalam-dalam, lalu membuka kembali dengan pandangan yang lebih tenang. Kalau memang ia harus bertahan di dalam permainan ini, maka ia harus tetap waspada. Andreas bisa saja dalam keadaan sakit, tetapi pikirannya, tetap tajam dan berbahaya.

1
Jelo Muda
ini kok g up2..😭😭😭😭
partini
lama lama jg jadi cinta ,,kalian pasang yg cocok
partini
coba kamu di posisi Andreas blog
As Lamiah
terlalu kaku dan formal tuh mistiza dan Andres apa karna Andreas merasa kuat dan kaya berkuasa atas hidup mistiza
As Lamiah
kesabaran mistiza menghadapi Andreas mungkin lambat laun akan meluluhkan andreas
partini
👍👍👍👍👍
partini
👍👍👍👍👍👍
partini
retakan yg tidak lama akan menjadi kehancuran
Jelo Muda
nunggu bbrp hari cuma up 1? wah perlu di santet online ini... biar up nya langsung 5.. 🤣😍
sehat sehat Mak othor... maaf kan aku yg tamak ini .. crtmu bgs bingittt
partini
i give vote ,so lanjut Thor sangat menarik
partini
😁😁😁😁 banyakin interaksi mereka Thor
Jelo Muda
kok blm up date c....
Jelo Muda: jangan cuma lake like aja .. segera up . awas cuma up 2... 🤪🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
Jelo Muda: iya...sll buka...manatahu kuotanya habis. eeee. ternyata memang blm up .. yuhuuuu
total 3 replies
Jelo Muda
mantab ..
As Lamiah
jangan sampai menyesal ya Andreas setelah perlakuan mu yg buruk pada mistiza dan sekarang Andreas dapat perhatian juga perlakuan baik dari mistiza yg udah mulai menerima kehidupan baru yg mistiza dapat darimu andreas
partini
👍👍👍👍
Lovely Shihab
Lanjut say
Lovely Shihab
Lanjut dong say, karyamu luar biasa. The Best 👍👍👍👍
As Lamiah
dasar Andreas g sabaran dan g peka dengan keadaan mistiza yg udah tulus perhatian pada Andreas
partini
secangkir kopi untuk hari ini yang lagi mendung mau hujan
partini
Weh mulai dah lope lope,pantas alurnya tertata rapi dan sangat menjiwai karakter nya ternyata author lama
aku baca yg sudah tamat dan ingat cerita ini pernah ku baca dulu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!