Devan Arenra Michael adalah Laki-laki berumur 21 tahun yang menyukai sahabatnya sejak tiga tahun yang lalu. Takut ditolak yang berujung hubungan persahabatan mereka hancur, ia memilih memendamnya.
Vanya Allessia Lewis, perempuan dengan sejuta pesona, yang sedang berusaha mencari seorang pacar. Setiap ada yang dekat dengannya tidak sampai satu minggu cowok itu akan menghilang.
Vanya tidak tahu saja, dibalik pencarian dirinya mencari pacar, Devan dibalik rencana itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Citveyy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 34 Bertemu Senja
Sepanjang masuk ke jalan pasar malam Vanya terus mengomelinya didalam mobil. Vanya pikir Devan akan membawanya ke pantai tapi cowok itu tega sekali membawa dirinya ke pasar malam yang mana cowok itu tahu sekali kalau dirinya sangat takut melihat bianglala dan permainan lainnya.
Devan tersenyum jenaka, lihat saja akan ia buat Vanya ketakutan jadi dirinya bisa modus dan memeluk cewek itu.
"Dev gue gak mau ya naik bianglala." Peringat Vanya untuk kesekian kalinya pada Devan yang hanya memasang tampang santai saja. "Dengar gak sih lo!" Gerutu Vanya menghentakkan kakinya kesal.
"Kan gue yang ngajak lo jadinya itu terserah gue lah."
Bola mata Vanya hampir keluar, ia menyugar rambutnya kebelakang frustasi melihat situasi di pasar malam yang sudah ramai dikunjungi.
"Gak bisa gitu dong Dev, ini tuh namanya pemaksaan."
Devan membalas dengan tampang jahilnya yang dibuat-buat. "Bodo amat, intinya lo harus ikutin kemauan gue. Let's go!"
Devan menarik Vanya ke stan-stan makanan terlebih dahulu, mengisi perut cewek itu supaya punya tenaga berteriak. Devan memastikan kalau Vanya mengira dirinya tidak jadi membawa cewek itu menaiki wahana di pasar malam ini karena dirinya yang terus memberi jajan pada cewek itu. Tidak tahu saja kalau ini baru permulaan saja.
"Dev, kita pulang aja yuk, gue ngantuk nih."
"Lah ini baru jam sembilan loh, kita kan belum cobain wahana disini, jadi karena perut lo sudah kenyang yuk kita cobain."
"Dev, please, Lo kan tahu banget gue takut."
"Ada gue, ayo."
Vanya mendesah berat melangkah mengikuti tarikan Devan menuju wahana yang dituju Devan. Vanya dulu pernah naik bianglala bersama papa dan mamanya, tapi ditengah jalan bianglalanya berhenti bergerak jadi Vanya nangis minta diturunin dan saat itu juga Vanya sudah tak mau naik bianglala atau wahana yang lain.
"Dev serius kita naik ini, rata-rata yang naik cuman anak-anak loh," Vanya berbisik ditelinga Devan supaya cowok itu bisa dengan jelas mendengar suaranya.
"Ya gak papa, toh mas-mas yang punya juga gak larang."
"Oh oke." pasrahnya sudah tidak punya tenaga lagi melawan.
Sebenarnya Devan dilarang naik oleh mas-mas yang punya wahana kuda memutar itu karena wahana ini dikhususkan untuk anak-anak saja. Kalau saja wahana kuda memutar agak sedikit besar mungkin mas-masnya membolehkan wahana tersebut dinaiki semua orang. Tapi Devan dengan cerdiknya memberikan beberapa uang pada mas-mas itu supaya mengizinkannya, dan hasilnya ia diizinkan walau terpaksa, tapi Devan mana peduli.
Vanya menunduk malu saat ia sudah menaiki wahana itu dengan Devan. Banyak yang menonton mereka dan tertawa karena anak sebesar mereka naik kewahana khusus anak-anak. Cowok itu apa kabar? tentu saja tidak malu bahkan dengan pedenya mengeluarkan hpnya untuk memvideo ibu-ibu yang mendominasi yang terlihat tertawa. Por Vanya, hari ini adalah hari buruk untukmu.
Banyak wahana yang dinaiki Vanya dan Devan dan puncaknya saatnya Vanya akan menaiki bianglala. Vanya mengeratkan genggamannya pada Devan dan menggeleng pelan tanda ia tidak mau menaiki wahana tersebut.
"Lo harus yakin sama gue, gak ada apa-apa kok."
Vanya menarik nafas pelan-pelan dan mulai menaiki wahana tersebut dengan Devan. Jantungnya berdetak tak karuan saat ini, ia tak berani sama sekali memandang kebawah. Matanya terpejam Takut sekali dengan suasana saat ini. Devan yang melihat itu lantas bergerak dekat pada gadisnya yang ketakutan. Ia menggenggam tangan Vanya menyalurkan rasa kehangatan.
"Buka mata lo, gak ada apa-apa kok."
Vanya menggeleng cepat. "Gue takut."
"Yakin sama perkataan gue, gak ada apa-apa kok."
"Tapi bianglalanya berhenti Dev, takut."
"Emang gini, tapi kan ada gue. Coba deh lo buka mata terus lihat gue."
Perlahan mata Vanya terbuka dan langsung memandang mata Devan yang berwarna cokelat terang. Jantungnya berkali-kali lipat berdetak entah mengapa.
"Boleh cium?"
"Ha?"
Tanpa persetujuan cewek itu Devan langsung mencium Vanya dengan lembut yang mana cewek itu terpekik kaget sejenak namun karena Devan yang terus menggodanya dengan manarik tengkuknya, memperdalam ciuman Meraka akhirnya Vanya terbuai juga dan membalas ciuman Devan.
"Eh,"
Keduanya kaget saat bianglalanya sudah bergerak kembali memutar. Vanya tak lagi ketakutan malahan ia salah tingkah dengan apa yang terjadi barusan.
"Kok merah pipinya?" Tanya Devan nadanya terselip nada menggoda pada cewek itu.
"Dev ih,"
"Ciumannya lanjut dimobil aja."
•••
Devan senang sekali malam ini, menghabiskan waktu dengan Vanya membuat tenaganya bukan semakin habis tapi malah bertambah berkali-kali lipat. Omongan Devan soal ia akan melanjutkan ciumannya dengan Vanya dimobil benar saja itu terjadi. Untung saja Devan bisa mengontrol dirinya bisa-bisa ia sudah jadi bapak tahun depan.
"Kita makan dulu ya."
"Oke."
Devan tahu kalau Vanya masih malu dengan kejadian malam ini. Devan heran kenapa Vanya masih malu-malu padahal mereka sering ciuman. Malahan cewek itu semakin agresif saja, pintar juga cewek itu.
Sampai ditempat makan yang ditujukan Devan mereka langsung duduk dilantai dua karena kafe ini lumayan ramai malam ini.
"Devan."
"Kak Vegas."
Devan memutar bola matanya malas, kenapa juga ia harus ke kafe ini, ia sampai lupa kalau Vegas bekerja dikafe ini.
"Mau pesan apa?" Tanya Vegas to the point.
Devan memandang Vanya gemas karena cewek itu masih saja memandang Vegas. Hei dia cemburu, tidak bisakah satu hari ini saja ia menikmati hidup bersama Vanya. Vegas juga kenapa malah ia yang melayaninya, karyawan disini bukan cuma satu atau dua tiga orang, tapi banyak.
"Vanya," Panggil Devan dengan suara tertahan.
"Gue mau pesan nasi goreng aja."
"Samain gue juga mau, terus minum?"
"Gue mau jus alpukat aja."
"Samain juga, sudah kan pesanannya, loh boleh pergi."
Vanya memandang tajam pada Devan, bisa-bisanya ia mengatakan itu pada orang yang sedang bekerja. Vanya jadinya tidak enak pada Vegas kalau begini. Seharusnya Devan menyapa atau paling tidak mengobrol dengan teman seangkatannya, walaupun beda kelas tidak seharusnya Devan bersikap sinis seperti itu pada Vegas.
Vegas langsung pergi begitu saja tanpa membalas. Setelah Vegas pergi barulah Vanya langsung mencubit Devan dengan kerasa.
"Sakit ih."
"Lo kenapa juga ngomong gitu sama Vegas, dia itu kan teman lo."
"Dih bukan teman gue."
"Tapi paling tidak sapa kek, kalian kan satu angkatan. Kok judes banget ngomongnya."
Devan memutar bola matanya malas."Kan dia pelayan disini, jadi terserah gue dong, pelanggan itu kan raja."
"Keras kepala banget sumpah."
"Sudah tahu kenapa lawan."
Vanya tak menggubris lagi dan mereka berdua saling diam satu sama lain. Vanya tak menatap Devan karena begitu kesal pada cowok itu sedangkan Devan terus menatap Vanya yang memasang wajah kesal. Bukannya marah karena dicuekin Devan malah gemas sendiri bahkan senyum-senyum sendiri melihat raut Vanya yang lucu menurutnya.
"Devan."
Ah suara itu Devan sangat mengenalinya. Pantas saja angin malam terus melambai-lambai ternyata tornado mau datang.
"Cewek lo?"
Vanya memandang perempuan dengan pakaian kemeja kebesaran dan celana panjang robek-robek yang berdiri dimeja mereka.
"Lo kenapa sih kesini?"
"Ya kenapa? Ini tempat bukan punya lo."
Devan mengerang tertahan, belum selesai pengganggu satu, datang lagi yang satunya. Memang hidupnya tidak bisa ditakdirkan aman, damai, sehat, sentosa.
"Tapi gak kesini juga."
"Bodo amat. Eh bdw gue senja."