Btari harus menjalani pernikahan kontrak setelah ia menyetujui kerja sama dengan Albarra Raditya Nugraha, musuhnya semasa SMA. Albarra membutuhkan perempuan untuk menjadi istru sewaan sementara Btari membutuhkan seseorang untuk menjadi donatur tetap di panti asuhan tempatnya mengajar.
Sebenarnya Btari ragu menerima, karena hal ini sangat bertolak belakang dengan prinsip hidupnya. Apalagi Btari menikah hanya untuk menutupi skandal Barra dengan model papan atas, Nadea Vanessa yang juga adalah perempuan bersuami.
Perdebatan selalu menghiasi Btari dan Barra, dari mulai persiapan pernikahan hingga kehidupan mereka menjadi suami-istri. Lantas, bagaimanakah kelanjutan hubungan kedua manusia ini?
Bagaimana jika keduanya merasa nyaman dengan kehadiran masing-masing?
Hingga peran Nadea yang sangat penting dalam hubungan mereka.
Ini kisah tentang dua anak manusia yang berusaha menyangkal perasaan masing
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SIAPA ADAM
Setelah menemani Btari makan malam, Barra duduk di kamar. Sedari tadi ia belum bisa tidur. Pikirannya tertuju pada Adam. Rekan SMA-nya yang Barra duga pasti mempunyai hubungan khusus dengan Btari. Matanya menatap kosong ke langit-langit kamarnya. Tangannya dengan erat menggenggam ponsel, sementara pikirannya penuh dengan berbagai pertanyaan tentang Adam.
Ia akhirnya menekan tombol panggilan. Bian.
Tak butuh waktu lama sebelum suara berat Bian terdengar dari seberang. "Hallo, Assalamu'alaykum. Ada apa, Bar?"
Barra menghela napas, nada suaranya terdengar lebih dalam dari biasanya. "Wa'alaikumussalam. Halo Bang. Apa kabar?"
Terdengar tawa dari seberang. "Baik. Tapi saya tahu kamu menelpon pasti karena sesuatu, kan?"
"Iya, Bang. Sebenarnya aku ingin bertanya sesuatu. Ini tentang seseorang." Jawab Barra.
Barra duduk di dalam mobil, matanya menatap kosong ke arah jalanan. Tangannya dengan erat menggenggam ponsel, sementara pikirannya penuh dengan berbagai pertanyaan tentang Adam.
Ia akhirnya menekan tombol panggilan. Bian.
Tak butuh waktu lama sebelum suara berat Bian terdengar dari seberang. "Ada apa, Barra?"
Barra menghela napas, nada suaranya terdengar lebih dalam dari biasanya. "Aku ingin bertanya sesuatu. Tentang seseorang."
"Siapa?"
"Adam."
Di seberang, Bian terdiam cukup lama. Barra bisa merasakan keraguan di sana. Barra mengetatkan rahangnya.
"Abang mengenalnya, kan?"
Bian akhirnya menghela napas. "Ya, saya mengenalnya. Tapi saya hanya pernah sekali bertemu dengannya. Itupun sekitar 1 tahun yang lalu."
Barra segera bangkit dari tidurnya. Ia memilih menuju meja kerjanya, jari-jarinya mengetuk meja kerja dengan tidak sabar sabar.
"Siapa dia?"
Bian terdiam lagi. Mencoba mengingat. Mencoba memilah apa yang bisa ia katakan.
Hingga akhirnya sebuah memori lama muncul. Bian teringat seorang lelaki berwajah khas Indonesia pernah datang menemuinya di Turki. Dengan wajah penuh tekad, ia meminta izin untuk menikahi Btari.
Adam.
Namun, pernikahan itu tidak pernah terjadi. Bukan karena Btari menolak. Tapi karena orang tua Adam yang tidak merestui. Itulah yang Btari sampaikan padanya dulu.
Bian menelan ludah. Bagian ini, tentu saja, tidak akan ia ceritakan pada Barra. Biar saja itu menjadi rahasia keluarga mereka. Kecuali jika nanti Btari yang akan menceritakannya sendiri.
"Adam… dia seseorang dari masa lalu Btari," akhirnya Bian menjawab, suaranya terdengar hati-hati.
Barra menyipitkan mata. "Seseorang dari masa lalu? Maksudmu, mereka pernah bersama?" Pikiran Barra tertuju pada hubungannya dan Nadea.
Bian mengusap wajahnya. "Seingat saya mereka tidak pernah benar-benar bersama, Barra. Tapi Adam pernah menginginkan Btari menjadi istrinya."
Barra merasakan dadanya menghangat dengan rasa tidak nyaman. Tangannya mengepal tanpa sadar.
"Jadi dia bukan sekadar teman lama?" Tanyanya, suaranya kini lebih tajam.
Bian tersenyum tipis di seberang, meski Barra tidak bisa melihatnya. "Kalau dia hanya sekadar teman lama, kau tidak akan meneleponku malam-malam seperti ini, kan? Kenapa memangnya?"
"Dia muncul di hadapan Btari." Jawab Barra singkat.
Disana Bian terdiam. Lalu dengan pelan menenangkan Barra,"Btari bukanlah perempuan yang tidak tahu aturan agama, Bar. Saya yakin, adik saya mengerti batasannya dengan lelaki asing. Ia tidak akan mengotori ikatan suci pernikahan kalian."
Barra terdiam. Ia tidak membantah. Ia pun yakin Btari akan menjaga itu. Namun Adam? Entahlah, Barra bisa melihat jelas bagaimana tatapan Adam pada Btari.
"Baik, Bang. Terima kasih ya."
"Oke, Bar. Selama kamu bisa menjaga Btari dan pernikahan kalian, saya bisa jamin Btari tidak akan mengkhianati kamu." Setelah mengatakan itu, Bian mematikan telepon.
Sementara Barra masih termenung. Adam Firdaus si ketua OSIS yang juga menjadi idola para siswa karena kharisma dan sifat pemimpinnya semasa sekolah. Lelaki yang dulu ingin menikahi Btari.
Dan sekarang, lelaki itu kembali muncul dalam hidup mereka.
...****************...
Pagi mulai menyapa. Barra baru saja sedang bersiap-siap ke kantor saat melihat Btari berdiri di depan kamarnya. Masih dengan jilbab instannya dan gamis tidur sederhana, matanya masih terlihat lelah namun tampak lebih membaik daripada semalam. Barra lalu mempersilahkan Btari masuk ke kamarnya.
Biasanya Btari akan menolak mentah-mentah ide tersebut, namun sekarang tidak. Tampaknya ads sesuatu yang penting.
"Aku mau ke rumah sakit siang ini," Katanya pelan, menyentuh ujung jilbabnya.
Barra yang sedang merapikan dasinya berhenti sejenak. Ia menatap Btari melalui pantulan cermin.
"Kamu mau ke rumah sakit?" Tanyanya, berusaha terdengar biasa saja meskipun ada sesuatu yang mengganjal di dadanya.
Btari mengangguk. "Aku ingin menjenguk Adam. Dia sudah menyelamatkanku dan aku belum sempat benar-benar berterima kasih."
Barra menarik napas dalam. Ia tidak suka mendengar nama Adam disebut dengan nada seperti itu—seolah Btari masih peduli lebih dari sekadar rasa terima kasih.
Namun, ia juga tahu Btari keras kepala. Jika dilarang pun, gadis itu pasti tetap akan pergi.
"Baiklah," Katanya akhirnya, berusaha menekan rasa tidak sukanya. "Tapi aku yang antar."
Btari mengerutkan kening. "Kamu kan sibuk di kantor. Aku dengar dari Dika kalian sedang mempersiapkan untuk menang tender."
"Aku bisa menyempatkan diri," jawab Barra cepat. Terlalu cepat. Ia tidak mungkin membiarkan Btari menjenguk Adam sendirian. Apalagi dengan riwayat hubungan mereka yang ternyata lebih dari sekedar teman.
Btari masih ingin membantah, tapi sebelum sempat, ponsel Barra bergetar di atas meja. Nama Ryan tertera di layar.
Barra mengangkat telepon dan berjalan keluar kamar, meninggalkan Btari yang masih berdiri dengan ekspresi bingung.
Setelah beberapa menit, Barra kembali masuk dan menarik napas panjang.
"Aku bisa mengantarmu saat jam makan siang," Katanya, berusaha terdengar santai.
Btari mengangguk kecil, meskipun ada sedikit keheranan di wajahnya namun ia lega karena Barra mengizinkannya pergi.
Sementara itu, Barra hanya bisa menekan rahangnya, mencoba menyingkirkan bayangan yang tiba-tiba memenuhi kepalanya—bagaimana jika Btari memang masih menyukai Adam?
...****************...
Waktu berjalan dengan cepat. Sesuai janjinya pada Btari. Barra pun segera menemani Btari menjenguk Adam. Rumah sakit itu masih dipenuhi aroma khas antiseptik dan udara sejuk dari pendingin ruangan. Btari berjalan di samping Barra, menyesuaikan langkahnya. Barra menelisik penampilan Btari. Sebenarnya tidak ada yang aneh ataupun berbeda dari penampilan Btari.
Gadis itu hanya memakai pashmina putih, dengan tunik pink dan rok plisket putih. Btari pun tidak tampil dengan make-up yang berlebihan, bisa Barra ketahui bahwa Btari hanya memakai lipstik dan bedak saja. Terkesan sangat natural. Namun tetap saja, mengingat hubungan gadis itu dengan Adam tetap membuat Barra jadi sensitif.
"Tumben dandan. Di rumah nggak pernah tuh."
Btari yang membawa beberapa buah tangan menoleh. Dahinya berkerut seolah mencerna perkataan ketus Barra.
"Cuma pake lipstik sama cushion aja. Biar gak lusuh. Nanti kamu malu lagi." Jawab Btari pelan.
"Bukan karena mau bertemu Adam? Makanya jadi tampil beda."
Btari menghela napasnya. Barra dalam kondisi aneh saat ini. "Nggak ada yang beda, Bar. Kita aja yang jarang keluar bareng."
"Bilang aja biar tampil cantik di hadapan teman lama."
"Terserah deh, Bar. Lagian sensitif banget kayak perempuan mens." Sahut Btari berjalan cepat mendahului Barra.
Saat mereka tiba di kamar rawat, Btari melihat Adam sedang berbincang dengan seseorang. Seorang pria berpenampilan rapi dengan jas hitam dan kemeja putih, wajahnya tajam, dan sorot matanya penuh perhitungan.
Btari terdiam sejenak sebelum akhirnya mengenali pria itu. Satria.
"Lama tidak bertemu, Btari," Satria menyapa dengan nada hangat, namun tetap sopan.
Btari tersenyum tipis. "Iya, sudah lama sekali. Betah juga kerja sama Adam."
Satria hanya tersenyum tipis tanpa menjelaskan lebih lanjut. Sementara itu, Adam yang sejak tadi diam akhirnya membuka suara.
"Terima kasih sudah datang, Btari," katanya, suara seraknya terdengar lebih dalam dari biasanya.
Btari menatap Adam, lalu menghela napas pelan. "Aku yang seharusnya berterima kasih. Kalau bukan karena kamu, mungkin aku yang terluka saat itu."
Adam tersenyum samar, tetapi Barra, yang berdiri di belakang Btari, menatapnya dengan geram.
"Aku cuma melakukan apa yang harus kulakukan," Adam menjawab singkat. Namun, matanya terus saja mencuri pandang ke arah Btari, sesuatu yang tidak luput dari perhatian Barra.
Barra mengetatkan rahangnya. Hatinya mulai terasa panas melihat cara Adam memandang istrinya.
"Kamu sudah lebih baik?" tanya Btari lagi.
Adam mengangguk. "Aku baik-baik saja. Luka ini tidak seberapa."
Barra akhirnya melangkah lebih dekat dan berdiri di samping Btari, memberikan sinyal kuat bahwa ia ada di sana.
"Saya mengucapkan terima kasih karena kamu sudah menyelamatkan Btari. Semoga lekas membaik." Kata Barra tersenyum hangat. Berusaha tenang.
"Iya, Bar. Sama-sama." Jawab Adam. Matanya lumayan mengantuk sekarang. Mungkin karena pengaruh obat.
Satria yang mengerti kondisi Adam, akhirnya bersuara. "Maaf Btari, Pak, sepertinya Pak Adam butuh istirahat. Kami berterima kasih atas kunjungan kalian."
Btari mengangguk dan mengambil langkah mundur. Barra segera menggenggam pergelangan tangannya, seolah menegaskan bahwa mereka harus segera pergi.
Namun sebelum mereka keluar dari ruangan, Adam memanggil nama Btari sekali lagi.
"Btari."
Btari berhenti, menoleh perlahan. Barra ikut menoleh, jelas tak suka.
Adam menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada sesuatu dalam sorot matanya—sesuatu yang mungkin sudah lama ingin ia katakan.
Namun, yang keluar dari mulutnya hanyalah: "Hati-hati di jalan."
Btari tersenyum tipis. "Terima kasih. Kamu juga, cepat sembuh."
Lalu mereka pergi, meninggalkan Adam yang masih duduk di tempat tidurnya, sementara Satria menatap atasannya dengan sorot mata penuh arti.
"Dia masih Btari-ku yang lama, Sat." Lirih Adam.